Tarik Ulur Bantuan Internasional di Tengah Bencana Sumatra

Pemerintah Indonesia klaim masih bisa menangani sendiri bencana yang terjadi di Sumatra dan Aceh (Foto: FB/@Donal Panggabean)

PARBOABOA, Jakarta - Empat pekan setelah banjir bandang dan tanah longsor berskala besar menghantam Pulau Sumatra, arah kebijakan penanganan bencana justru memperlihatkan jarak antara pemerintah pusat dan daerah. 

Di tingkat nasional, jajaran kabinet Presiden Prabowo Subianto menyatakan Indonesia masih mampu menghadapi krisis ini tanpa bantuan internasional. Sikap tersebut bahkan mendapat dukungan dari DPR. 

Namun di lapangan, Pemerintah Aceh mengambil langkah berbeda dengan membuka pintu bagi bantuan asing.

Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem mengonfirmasi bahwa bantuan dari Malaysia dan China telah masuk ke wilayahnya, mencakup tenaga medis, relawan, serta obat-obatan. 

Dalam rilis resmi yang diterima PARBOABOA, Rabu (17/12/2025), Pemerintah Aceh menegaskan harapan agar akses bantuan internasional dapat dipercepat, terutama untuk kebutuhan darurat yang mendesak.

“Minimal NGO-NGO khusus membantu kita dalam penanganan kedaruratan, sebagai support penanganan yang sedang sama-sama kita lakukan, baik Pemerintah daerah, BNPB, Basarnas, TNI, Polri, NGO Lokal dan pihak-pihak lainnya,” tulis rilis Pemda Aceh yang diterima, Kamis (11/12/2025).

Perbedaan sikap ini memicu sorotan dari kalangan pegiat kebencanaan. 

Ketua Umum Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI), Avianto Amri, menilai pemerintah belum sepenuhnya siap menghadapi besarnya skala bencana yang terjadi. 

Ia mengingatkan bahwa Indonesia memiliki pengalaman panjang menerima bantuan internasional dalam situasi krisis besar.

“Sebenarnya Indonesia sendiri kalau mulai dari Aceh kita sudah setidaknya 3 atau 4 kali kejadian bencana kita ada menerima bantuan asing ya,” ujar Avianto dalam siaran Ruang Publik KBR, Kamis (11/12/2025).

Menurut Avianto, praktik membuka ruang kolaborasi internasional pernah dilakukan pada berbagai bencana besar, mulai dari tsunami Aceh 2004, gempa Yogyakarta 2006, gempa Sumatra Barat 2009, hingga gempa Sulawesi Tengah 2018. 

Ia menegaskan, penanganan bencana berskala luas mustahil dilakukan pemerintah seorang diri.

“Perlu kolaborasi multipihak baik itu dari non-pemerintah, akademisi, LSM, swasta, termasuk juga media untuk memastikan bahwa upaya penanganan bencana ini bisa dikerjakan bersama dengan pemerintah,” lanjutnya.

Di sisi lain, pemerintah pusat tetap mempertahankan keyakinan bahwa kapasitas nasional masih mencukupi. Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar menyatakan pemerintah masih kuat menangani dampak bencana di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.

Ia menyebut proses evakuasi, distribusi bantuan, serta kerja relawan terus berjalan dan dipercepat di wilayah terdampak. 

Pernyataan senada disampaikan Menteri Luar Negeri RI Sugiono. Menurut dia, Indonesia masih mampu melakukan penanganan secara mandiri, meski berbagai negara sahabat telah menyampaikan tawaran bantuan.

“Kami sedang menyelesaikan semua yang dibutuhkan, tapi memang ada beberapa yang menawarkan. Kami juga mengucapkan terima kasih atas kepeduliannya, tapi kami yakin kami masih bisa mengatasinya,” kata Sugiono seusai serah terima bantuan Kemlu RI untuk korban banjir Sumatera di Gedung Pancasila, Jakarta, Jumat (5/12/2025), dikutip dari ANTARA.

Bantuan Internasional Menguat

Perhatian internasional terhadap bencana di Sumatra terus menguat. Pemerintah China menyatakan terus memantau perkembangan situasi di tiga provinsi terdampak dan meyakini Indonesia mampu mengatasi dampaknya. 

Selain China, sejumlah negara ASEAN seperti Malaysia dan Timor Leste juga menyatakan kesiapan membantu, disusul negara-negara lain seperti Uni Emirat Arab, Iran, Pakistan, Rusia, hingga organisasi internasional seperti Liga Muslim dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Pengamat hubungan internasional Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah, menilai sikap pemerintah yang terlalu prosedural berisiko mengabaikan realitas lapangan. 

Menurutnya, skala bencana saat ini sudah melampaui kemampuan tiga pemerintah provinsi sekaligus.

“Memang saya perhatikan pemerintah ini saat ini sangat prosedural. Sangat prosedural, sangat melihat hukum internasional dan sangat percaya diri. Tapi ternyata kalau kita perhatikan, ini kenyataan sudah sangat dahsyat di lapangan,” ujar Teuku dalam siaran Ruang Publik KBR, Kamis (11/12/2025).

Ia menambahkan, meski pemerintah belum menetapkan status bencana nasional, dampak yang meluas seharusnya menjadi pertimbangan utama untuk membuka kanal bantuan internasional.

“Jadi untuk itu kita harus akui bahwa ini walaupun pemerintah belum secara resmi mengatakan ini bencana nasional, tapi kalau kita perhatikan skala dan dampak sudah sangat luas, bahkan melampaui kemampuan pemerintah daerah, yakni tiga provinsi sekaligus untuk mengatasi bencana ini,” lanjutnya.

Teuku juga mengingatkan bahwa di era teknologi remote sensing, kondisi lapangan dapat dipantau dunia internasional secara real time. Keterlambatan pengambilan keputusan, menurutnya, justru berisiko mencoreng reputasi Indonesia.

“Dengan teknologi remote sensing. Kita bisa saja mendapatkan data-data yang fantastis, jangan sampai data-data yang mendadak muncul itu mengagetkan pemerintah sendiri, dan mempermalukan kita di panggung internasional,” ujarnya.

Ia menekankan pentingnya membuka komunikasi, setidaknya di tingkat ASEAN, mengingat hubungan historis dan emosional negara-negara tetangga seperti Malaysia dengan masyarakat Sumatra. 

“Jangan sampai nanti terasa kita ini sombong. Kanal komunikasi itu hendaknya dibuka. Paling tidak di level ASEAN deh,” tambahnya.

Dari sisi teknis, Avianto kembali menyoroti risiko birokrasi yang justru dapat memperlambat masuknya bantuan mendesak jika pemerintah tidak secara resmi membuka kran bantuan internasional.

“Saat ini kan memang perbedaannya antara bantuan apabila pemerintah tidak membuka keran bantuan internasional itu. Tandanya, barang-barang, personil, dan semuanya itu dia akan melalui proses beacukai, imigrasi, dan karantina yang prosedurnya sangat cukup rumit,” tegasnya.

Ia juga menyinggung besarnya kebutuhan dana pemulihan pascabencana. Menurut perhitungan awal MPBI, kebutuhan dana untuk Aceh saja diperkirakan mencapai Rp 60 triliun, sementara jika digabung dengan Sumatra Utara dan Sumatra Barat, totalnya bisa melampaui Rp 100 triliun.

“Estimasi awal untuk Aceh sendiri saja itu dana untuk memulihkan itu sebesar 60 triliun. Dengan Sumut dan Sumbar perkiraan kita mungkin bisa sampai lebih dari 100 triliun,” katanya.

Lebih jauh, Avianto mengingatkan bahwa lambannya penanganan berpotensi memicu krisis lanjutan, terutama di sektor kesehatan dan psikososial masyarakat terdampak.

“Yang kami sangat khawatirkan adalah pertama, bisa meningkatnya kejadian penyakit. Itu juga akan menjadi bom waktu,” pungkasnya.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS