Manuver Nasution, Simatupang, Lubis, dan Simbolon (Bagian Kedua)
PARBOABOA - TB Simatupang mengungkapkan (Membuktikan ketidakbenaran suatu Mitos—PSH 1991) dirinya meminta ketiganya bermufakat: Gatot Subroto yang menjadi KSAD, Simbolon Wakil KSAD, dan Lubis menjadi panglima di Sumut.
Ternyata, menurut Simatupang, Presiden Soekarno diam-diam telah bersepakat dengan Nasution. Yaitu Nasution yang akan menjadi KSAD.
Memang itulah yang terjadi: kabinet memilih Kol. Nasution kendati ia sudah berada di orbit politik pasca skorsing.
Nasution yang sudah mendirikan dan menjalankan partai Ikatan Pembela Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dinaikkan pangkatnya menjadi mayor jenderal
Nasution kembali menjadi KSAD. Simatupang mengatakan dirinya menganjurkan kepada kawan lawasnya tersebut agar merangkul Gatot Subroto, Lubis dan Simbolon.
Menurut Simatupang Nasution berhasil merangkul Gatot Subroto tapi Lubis tidak. Padahal keduanya sebenarnya masih bersaudara dekat.
“Menurut pendapat saya PRRI tidak akan pernah pecah andaikata Nasution dan Zulkifli Lubis mencapai persetujuan bagaimana mereka bekerja sama untuk memulihkan keutuhan TNI dan bersama-sama membangun TNI di tengah-tengah keadaan yang penuh pergolakan, “ tulis Simatupang.
PRRI-Permesta
Pemilu I 1955 membuat Angkatan Darat bertambah resah. Soalnya PKI yang sudah dibasmi menyusul peristiwa Madiun 1948 berhasil menjadi pengumpul suara terbanyak keempat.
Sementara tak satupun kontestan yang jadi mayoritas. Para perwira AD khawatir PKI akan semakin berpengaruh.
Sementara daerah pun semakin tidak puas dengan kekuasaan yang semakin sentralistik.
Sebagai protes terhadap pusat, sejumlah penguasa militer daerah pun mulai ‘nakal’.
Penyeludupan marak terutama di Sulut dan Sumut. Militer ada di belakangnya. Kolonel Simbolon misalnya disorot sehubungan dengan penyeludupan ini.
Di sisi lain, ia disukai oleh pasukannya karena memikirkan kesejahteraan mereka. Nasution secara pribadi perlu mendekati para panglima daerah. Namun daerah menanggapi langkahnya sebagai isyarat ketakutan pusat.
Pada 20-24 November 1956 berlangsung reuni Divisi Banteng di Padang. Reuni mengevaluasi hasil kemerdekaan.
Disimpulkan, setelah enam tahun merdeka pembangunan tidak berjalan terutama di bekas wilayah perjuangan mereka. Jakarta sibuk dengan kabinet yang jatuh bangun.
Terjadinya beberapa kali pergantian kabinet, menurut kesimpulan peserta reuni, karena perebutan kekuasaan. Semua kebijakan mereka lebih mementingkan partai bukan nasib rakyat banyak.
Desember 1956 Dewan Banteng dibentuk yang dipimpin Achmat Husein.
Pada bulan itu juga diumumkan terbentuknya Dewan Gajah DI TT-I. Kedua dewan ini mengumumkan pelepasan hubungan dengan pemerintah pusat mulai 22 Desember tahun itu.
Kabinet Juanda merasakan konflik yang semakin tajam baik antara pusat dengan daerah maupun di tubuh AD.
Mereka pun merencanakan Munas di Jakarta pada 10-15 September 1957. Tujuannya, menyelesaikan semua masalah nasional.
Menjelang Munas, pada 7-8 September 1957 para tokoh daerah bergolak bertemu di Palembang. Termasuk Zulkifli, Simbolon, Ahmad Husein, Barlian dan Vantje Sumual.
Lahirlah Piagam Persetujuan Palembang yang menuntut : 1). pemulihan dwitunggal; 2). penggantian pimpinan AD; 3). desentralisasi, 4). pembentukan senat; 5). peremajaan dan penyederhanaan di seluruh lapangan dan tingkatan; serta 6) pelarangan komunis.
Munas berlangsung. Inilah kali pertama para pemberontak menuntut pelarangan komunis.
Munas memang melahirkan titik terang untuk rujuk nasional. Tapi muncul peristiwa Cikini yang nyaris merenggut nyawa Bung Karno.
Pada 30 November 1957 Presiden yang sedang meninjau sebuah sekolah di Jalan Cikini, Jakarta, telah dilempari granat.
Soekarno luput kendati pengawalnya tewas. Kol. Zulkifli Lubis dituduh sebagai otak percobaan pembunuhan presiden. Ia pun buron.
Lubis membantah tuduhan tersebut. Ia mengatakan dirinya memang kenal baik dengan para penggranat dan ketika mereka itu mengutarakan niatnya menyudahi Soekarno ia mencoba mencegah (wawancara dengan Tempo, Juli, 1989).
Peristiwa Cikini membuat Bung Karno berang. Ia memerintahkan kabinet Juanda membekukan seluruh hasil hasil Munas.
Para kolonel pun, seperti pernah diceritakan Simbolon (dalam Payung Bangun, Kolonel Maludin Simbolon—PSH 1996), bertemu lagi. Tempatnya di Sungai Dareh pada Januari 1958.
Hadir juga Ventje Sumual dari Sulawesi. Sesi pertama dihadiri oleh tokoh militer saja, untuk membicarakan langkah selanjutnya. Dengan tertutupnya jalan perundingan mereka yakin suatu saat pemerintah akan mengambil tindakan secara militer.
Mereka menghitung kekuatan militer sendiri. Ternyata kecil sekali. Senjata harus dicari.
Tugas ini diserahkan ke Ventje Sumual yang kala itu sudah kaya berkat menjual kopra selama di Sulawesi Utara.
Sedang Soemitro Djojohadikusumo ditunjuk sebagai juru bicara atau corong ke luar negeri. Kedua orang inilah yang akhirnya berangkat ke luar negeri.
Lantas hasil pertemuan para kolonel tadi disampaikan ke politisi yang kebanyakan berasal dari Masyumi, seperti Syafrudin Prawiranegara, Mohamad Natsir, Burhanudin Harahap, dan Mr. Asaat. Akhirnya mereka setuju untuk bergabung.
Tuntutan pun dirumuskan yakni pembentukan kabinet yang lebih berwibawa, integritas tinggi, tanpa cacat, untuk menyelesaikan kemelut antara pusat dan daerah.
Lebih berwibawa artinya terdiri dari orang-orang yang lebih dipercayai oleh daerah yang bergolak, yaitu Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX. Mereka yakin kalau kedua orang ini yang memimpin kabinet permasalahan pusat-daerah bisa selesai.
Ternyata tuntutan itu tidak ditanggapi pemerintah pusat. Kelompok Sungai Dareh pun bergerak.
Mereka mengeluarkan ultimatum tanggal 10 Februari 1958. Isinya supaya kabinet diganti oleh Hatta dan Hamengku Buwono.
Ternyata ultimatum ditolak mentah-mentah. Dengan pertimbangan bahwa mereka memiliki prinsip yang harus diperjuangkan, dan agar tidak merupakan satu gerombolan saja serta supaya tidak terpecah-pecah, mereka kemudian membangun organisasi yang berbentuk pemerintahan.
Prosedurnya, Dewan Perjuangan (pimpinan Letkol Ahmad Husein) mengangkat Syafrudin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri, Burhanudin Harahap menjadi Menteri Pertahanan Simbolon sebagai Menlu, dan seterusnya. Itulah yang disebut PRRI.
Jakarta mengerahkan pasukan untuk menggempur PRRI. Perang meletus.
Pada Februari 1961 PRRI-Permesta menyerah. Para pegiatnya dicopot dari militer. Mereka kemudian menjalani karantina politik meski sudah mendapat amnesti-abolisi.
Karantinanya secara terpisah-pisah. Simbolon dan Natsir di Batu, Malang. Yang paling sengsara adalah Zulkifli Lubis. Dia ditahan di sel bawah tanah tahanan Kejaksaan Agung, Jakarta.
Karantina politik berakhir seusai Peristiwa 30 September 1965.
Bersambung...
Editor: Hasudungan Sirait