Manuver Zulkifli Lubis dalam Peristiwa 17 Oktober 1952

Pertemuan pimpinan Angkatan Darat di Yogyakarta pada awal 1956. Abdul Harris Nasution, Gatot Soebroto, dan Zulkifli Lubis termasuk yang ikut berpose. (Foto: AW Kawilarang untuk Sang Merah Putih)

PARBOABOA - Orangnya pendek tapi otaknya tajam dan bernas. Ketika pikiran orang sezamannya masih terfokus pada peran tentara nanti setelah Indonesia merdeka, kembara nalarnya sudah lebih jauh.

Ia telah memikirkan perlunya sebuah sistem intelijen untuk mengamankan negara. Tak berhenti di tataran gagasan, sedari dini ia telah bertindak: menjaring kader, mendidik, serta memfungsikan mereka sebagai sebuah jaringan intelijen terpadu dengan rentang operasi meliputi seluruh negeri.

Lubis, demikian ia sering dipanggil, Kadang ia dinamai ‘si pendek’ (karena tubuhnya pendek), ‘si mbah’, ‘simbah’ (karena suka memelihara jenggot) atau ‘Si Bul’ (singkatan ‘bung lubis’).

Menjadi kepala Intelijen Kementrian Pertahanan (IKP, yang membawahi Biro Informasi Angkatan Perang – BISAP) dia tatkala sebuah unjuk rasa akbar berlangsung di depan Istana, Jakarta.

Pada 17 Oktober 1952 itu panser, tank, dan meriam diarahkan ke Istana oleh pasukan yang dipimpin kawan lamanya, Letkol Kemal Idris. Massa di luar minta bertemu dengan Bung Karno dan setelah bersua mereka menuntut agar parlemen dibubarkan.

Selain menyoal politik kontemporer yang sedang labil, pendemo juga mempermasalahkan perekonomian yang memburuk. Kala itu memang kabinet sering jatuh bangun dan nilai tukar rupiah terus merosot.

Demonstrasi itu dirancang oleh pimpinan AD. KSAD AH Nasution otaknya. Kepada penulis, Kemal Idris pernah mengatakan Nasution-lah yang menyuruh dia mengarahkan meriam ke Istana. Tapi tujuannya, menurut dia, untuk mengamankan Istana dari kemungkinan amuk massa.

Lubis mengambil posisi menentang gerakan 17 Oktober; dengan demikian ia berseberangan dengan Nasution, Kemal Idris, dan kaum pro-gerakan lainnya.

Sehari berselang dia, sebagai kepala intelijen, menyampaikan laporan intelijen standar kepada Menteri Pertahanan, Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP), dan juga KSAD. Isinya ihwal isu yang beredar bahwa kelompok Nasution akan menggulingkan pemerintah.

Yang terjadi setelah mengirim laporan, Lubis melarikan diri karena merasa akan diculik oleh kelompok Nasution. BISAP yang ia pimpin kemudian dibubarkan oleh Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) Tahi Bonar Simatupang.

Ia mencoba meyakinkan Simatupang agar program pendidikan BISAP tidak ikut dihapuskan. Tapi sia-sia. Maka berakhirlah kiprah Zulkifli Lubis di badan intelijen resmi.

Peristiwa 17 Oktober sendiri telah membelah korps AD. Ekor panjangnya antara lain Angkatan Darat (AD) terus bersitegang dengan parlemen dan Presiden. Dalam ketegangan tersebut Lubis menjadi salah satu figur sentral.

Rapat para petinggi AD di Yogyakarta tahun 1955. (Foto: Konperensi Perwira Angkatan Darat)

KSAD Nasution bersama dua pentolan gerakan 17 Oktober, Soetoko dan Siswondo Parman (S. Parman; nantinya menjadi korban G30S), diskors oleh PM Wilopo pada 15 Desember 1952.

Besoknya Wilopo mengangkat Bambang Sugeng sebagai pejabat KSAD. Pengangkatan sahabat Zulkifli Lubis ini memperuncing keadaan. Sejumlah perwira menilai bahwa intervensi politisi di AD sudah semakin jauh.

Dikecam dari banyak jurusan, Wilopo akhirnya mundur sebagai perdana menteri pada 2 Juli 1953. Dua bulan berselang kabinet Ali Sastroamidjojo terbentuk. Iwa Kusumasumantri, politisi dan bukan militer, menjadi menteri pertahanan (Menhan) dalam kabinet ini.

WAKIL KSAD

Angkatan Darat kembali sewot karena pada Desember 1953 Iwa mengangkat Kol. Zulkifli Lubis sebagai Wakil KSAD. Masalahnya Iwa tak berkonsultasi dengan KSAD Bambang Sugeng. Lagi pula Lubis orang intelijen, bukan perwira yang punya pengalaman teritorial.

Nanti, tahun 1954, Iwa juga menghapus jabatan KSAP sehingga TB Simatupang yang dianggap salah satu tokoh gerakan 17 Oktober 1952 menjadi non job. Sebagai penasihat militer menteri pertahanan, Simatupang akhirnya lebih banyak di rumah sebelum pensiun dini tahun 1959.

Mendapat tekanan keras dari para perwira AD, Bambang Sugeng mundur sebagai KSAD, pada 2 Mei 1955. untuk sementara Lubis ditunjuk sebagai pimpinan Mabes AD. Dengan demikian ia menjadi pejabat sementara KSAD.

Pencarian calon KSAD dilakukan. Setelah proses yang alot dan menegangkan, Bambang Utoyo dilantik sebagai KSAD pada 27 Juni 1955. Ternyata ia ditolak oleh para perwira. Pelantikannya diboykot para perwira senior AD sehingga musik pengiring acara waktu itu pun terpaksa dari dinas pemadam kebakaran.

Ulf Sundhaussen (1988) mengisahkan ketegangan ini. Lubis menolak keras pengangkatan Bambang Utoyo. Di hari pelantikan Bambang Utoyo, Lubis memberitahu kabinet bahwa dirinya menolak untuk menyerahkan jabatan. Setelah itu ia juga melangsungkan konferensi pers untuk menyatakan hal yang sama.

Kepada para wartawan ia mengatakan para perwira AD ada di belakangnya. Pemerintah, ujar dia, harus mengangkat seorang KSAD baru berdasarkan kompetensi, bukan berdasarkan koneksi politik. Akibat penolakan tadi Menhan Iwa Kusumasumantri memecat Lubis.

Sejumlah panglima berkonferensi di Jakarta pada 29 Juni dan 2 Juli 1955. mereka menyatakan dukungan kepada Lubis dan mendesak agar KSAD baru diangkat untuk menggantikan Bambang Utoyo. Hal lain yang mereka minta adalah agar pemerintah memulihkan lagi jabatan Lubis.

Kabinet Ali Sastroamidjojo mengalami krisis akibat pertikaian ini. Anggota koalisinya keluar. Pada 13 Juli Iwa mundur sebagai menteri pertahanan. Sebelas hari berselang giliran Ali yang meletakkan jabatan sebagai PM. Boleh dikatakan manuver Zulkifli Lubis berperan besar dalam kejatuhan kabinet Ali Sastroamidjojo.

Ali sendiri menilai demikian. Dalam sebuah wawancara dengan Ulf Sundhaussen, Maret 1968, ia mengatakan Lubis telah memulai suatu psy-war dengan mengancam akan terjadi suatu pengambilalihan kekuasaan oleh pihak militer.

Kabinet Burhanuddin Harahap muncul menggantikan kabinet Ali Sastroamidjojo. Burhanuddin, selain menjadi PM juga merangkap Menhan. PM yang masih saudara Zulkifli Lubis ini segera memensiunkan Bambang Utoyo sebagai KSAD. Selain itu ia juga membatalkan pemecatan Lubis dan menyatakan perkara 17 Oktober telah selesai.

Posisi kabinet Burhanuddin segera menguat setelah berhasil melangsungkan pemilu pada 29 September 1955. Kabinet ini pun mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen.

Usai menyelenggarakan pemilu, dengan rasa percaya yang tinggi kabinet ini mencoba menyelesaikan persoalan internal di AD. Respons AD baik, tidak seperti tanggapan mereka terhadap kabinet-kabinet terdahulu.

Wakil KSAD Zulkifli Lubis tetap memimpin AD kendati ia belum pernah dilantik secara resmi sebagai KSAD. Tapi KSAD baru pengganti Bambang Utoyo harus segera dicari. Persoalan klasik kembali muncul: siapa figur yang tepat?

Ulf Sundhaussen menyebut prosedur pemilihan KSAD baru yang disepakati kabinet dan AD adalah kabinet akan memilih seorang dari tiga kandidat yang diajukan Mabes AD. Pimpinan AD pada Oktober 1955 mencalonkan tiga kolonel yaitu Maludin Simbolon, Zulkifli Lubis, dan Gatot Subroto. Pilihan ini berdasarkan senioritas sesuai Piagam Yogyakarta.

Tapi, masalah klasik kembali membayang. Primordialisme dan rupa-rupa sentimen kini menjadi ganjalan bagi ketiga kandidat. Agar tidak kandas lagi, menurut Ulf Sundhaussen, TB Simatupang, tokoh senior berpengaruh yang saat ini tidak lagi menjadi KSAP melainkan penasihat menteri pertahanan, melobi ketiga kandidat dan menawarkan sebuah formula.

Yaitu, Simbolon dan Lubis akan mundur dari pencalonan untuk memberi jalan kepada Gatot Subroto. Dalam penilaian Simatupang, Simbolon yang paling memenuhi kualifikasi itu akan dihadang kendala.

Walaupun paling senior di antara mereka bertiga, sulit diharapkan Simbolon akan bisa diterima oleh perwira-perwira Jawa. Pasalnya ia Batak. Lalu dia akan kurang diterima para perwira santri dan para politisi Islam yang banyak jumlahnya di koalisi pemerintah sebab dia Kristen.

TB Simatupang (kiri) bersama Sultan Hamengku Buwono IX, Fatmawati, dan Presiden Soekarno. (Foto: kitab Pelopor dalam Perang Pelopor dalam Damai)

Dalam pemikiran Simatupang, lebih baik Simbolon menjadi wakil KSAD saja. Sedangkan yang menjadi KSAD Gatot Subroto. Dengan menjadi Wakil KSAD maka akan sulit ditolak kalau Simbolon yang menggantikan nanti jika Gatot Soebroto pensiun.

Toh Gatot Subroto, bekas perwira KNIL, sudah sepuh. Usianya jauh lebih tua dibanding rata-rata perwira Indonesia. Adapun Lubis, masih menurut jalan pikiran Simatupang, lebih baik diberi jabatan panglima agar mendapatkan pengalaman teritorial.

Atau kalau mungkin, disuruh mengikuti pendidikan staf di luar negeri. Dengan begitu dia secara logis akan menggantikan Simbolon sebagai KSAD kalau masa jabatan Simbolon telah berakhir. Jadi formula Simatupang urut kacang: Gatot Subroto dulu jadi KSAD. Setelah itu berurutan Simbolon dan Lubis.

Bursa calon KSAD semakin ramai ketika sejumlah perwira mencoba memunculkan nama Kawilarang dan Djatikusumo. Tapi kedua orang ini kemudian menolak untuk maju. Soetoko, seorang pembantu dekat Nasution melobi ke sana-sini untuk mengumpulkan dukungan bagi mantan KSAD itu.

Nasution sebenarnya praktis sudah di luar orbit militer sejak ia diskors menyusul peristiwa 17 Oktober. Ia sudah menjadi politisi dengan menjadi pimpinan (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), partai yang didukung tentara.

Ternyata Gatot Subroto kemudian menolak formula Simatupang. Karena ia, menurut Ulf Sundhaussen, menyadari benar keterbatasannya dan dapat membayangkan kemungkinan dia dimanipulasi oleh Simatupang, atau oleh Lubis dan Simbolon. Kepada kabinet kemudian Gatot Subroto mengatakan bahwa jika mereka memang serius mencari seorang perwira berkemampuan tinggi maka mereka harus memanggil kembali Nasution.

Inilah titik balik karir Nasution. Ia ternyata mendapat dukungan luas. Para perwira yang berseberangan dengan dia pada 17 Oktober 1952 pun kini balik mendukung. Lebih menarik lagi, Soekarno ternyata tidak keberatan. Maka pada 7 November 1955 Nasution dilantik sebagai KSAD.

Setelah ribut soal komposisi kursi di parlemen, NU kemudian mundur dari kabinet Burhanuddin. Padahal mereka merupakan anggota koalisi yang sangat penting. Sepeninggal NU kabinet Burhanuddin Harahap yang telah berhasil menggelar pemilu dan menaikkan kembali Nasution, goyah. Dia meletakkan jabatan sebagai perdana menteri.

Bersambung...
Editor: Hasudungan Sirait
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS