PARBOABOA - Pada 2 Maret 1956 Soekarno menunjuk kembali Ali Sastroamidjojo sebagai formatur kabinet baru. Pengangkatan kembali Nasution sebagai KSAD telah mengipas bara konflik lama di tubuh AD. Para seteru lawasnya kembali menggalang kekuatan. Mereka tinggal menunggu momen.
KSAD Nasution menggagas sejumlah pembaruan di jajaran AD di awal 1956. Salah satu yang ia rencanakan adalah mutasi para perwira tinggi. Antara lain, Gatot Subroto akan menggantikan Lubis sebagai Wakil KSAD. Lubis akan menggantikan Simbolon sebagai Panglima Teritorium I (Sumatera Utara). Simbolon akan diperbantukan ke KSAD, dengan tugas khusus.
Albert Ernst Kawilarang, Panglima Divisi Siliwangi, akan menjadi atase militer di Washington, AS. Penggantinya, Soeprajogi, teman lama Nasution. Soeharto menjadi panglima Divisi Diponegoro menggantikan M. Bachrum. Jacob Frederick Warouw akan digantikan wakilnya, Ventje Sumual, sebagai panglima Teritorium VII (Indonesia Timur). Warow akan menjadi atase militer di Peking.
Rencana mutasi dipakai musuh Nasution sebagai momen untuk menyerang. Isu pembersihan eksponen PETA oleh kelompok Nasution yang eksponen KNIL menggelinding.
Pada 12 Agustus 1956, atau dua hari sebelum Panglima Kawilarang menyerahterimakan jabatannya, perwira intel Siliwangi telah menangkap menteri penerangan dalam kabinet Burhanuddin, Sjamsuddin Sutan Makmur Harahap. Tuduhannya, korupsi. Beritanya belum begitu ramai.
Esok paginya perwira Siliwangi menangkap Ruslan Abdulgani saat Menlu itu hendak terbang ke London. Tuduhannya sama: korupsi.
Jakarta heboh. Ali Sastroamidjojo yang berkawan baik dengan Ruslan meminta Nasution membebaskan sang Menlu. Nasution yang baru mendengar kejadian ini dari PM Ali kemudian memerintahkan komandan Garnizun Jakarta membebaskan Ruslan. Hari itu juga Ruslan bebas dan terbang ke London.
Besar kemungkinan penculikan ini merupakan move Kawilarang untuk mengusik Nasution. Tapi, dalam perkembangan selanjutnya, Zulkifli Lubis akan dikaitkan dengan penculikan Ruslan ini. Disebut, Lubis-lah yang menggerakkan orang-orang Siliwangi yang menculik itu. Ia memang punya koneksi yang luas di Siliwangi.
Ketidakpuasan terhadap Nasution semakin merebak, khususnya di lingkungan perwira Divisi Siliwangi. Kemal Idris termasuk yang tak puas. Kemal, yang di masa itu merupakan perwira di Siliwangi, dalam memoarnya, Kemal Idris—Bertarung dalam Revolusi (Pustaka Sinar Harapan, 1997), bercerita bahwa suatu hari ia bertemu dengan Lubis yang mempertanyakan mengapa sikap Nasution berubah-ubah. Maksudnya dari penentang Soekarno pada peristiwa 17 Oktober Nasution kemudian menjadi sangat pro-Soekarno.
Lebih jauh Kemal Idris mengungkapkan: “Zulkifli mengajak saya dan komandan RPKAD Djaelani untuk menyerbu Jakarta. Tujuannya untuk mengganti pemimpin Kasad yang dijabat oleh Nasution. Saya mengajak beberapa pasukan dan dibantu RPKAD dari Bandung. Tapi penyerangan ini gagal, karena terjadinya miskomunikasi. RPKAD bergerak tanpa koordinasi. Ketika sampai di Bekasi, malah balik mundur ke Bandung.”
RPKAD adalah satuan baret merah yang kini bernama Komando Pasukan Khusus (Kopassus.
Gerakan geng Lubis-Kemal Idris (sering disebut ‘kelompok Lubis’) pada 16 Oktober 1956 ini kemudian dikenal sebagai “Peristiwa Kranji”. Istilah “Kranji” dipakai karena di sanalah seyogyanya titik temu semua pasukan dari Jawa Barat yang akan menyerang Jakarta. Rencana gagal sebenarnya bukan semata karena miskomunikasi melainkan karena disabot.
Achmat Soekendro – intelijen militer yang kemudian menjadi Direktur Intelijen AD dan menteri Kabinet Dwikora – turut dalam rapat-rapat perencanaan gerakan ini. Tanpa diketahui oleh yang lain ternyata saat itu dia bekerja untuk Nasution. Jadi gerakan ini telah dibaca oleh Nasution.
Elemen kelompok Lubis ada dua yakni perwira Sunda dan perwira yang bersimpati ke Partai Sosialis Indonesia (PSI). Sukanda Bratamanggala, Djaelani, Djuchro Sumintadilaga, dan Achmad Wiranatakusuma ada di kelompok yang pertama. Sedangkan Kemal Idris dan Soewarto di kelompok kedua.
Buntut peristiwa Kranji, pada 17 Oktober 1956 Panglima Siliwangi Soeprajogi membebastugaskan Kemal Idris dan Soewarto (di akhir hidupnya ia menjadi Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat, Seskoad) sebagai komandan resimen. Kemal adalah Komandan Resimen Infantri ke-9 di Cirebon sedangkan Soewarto Komandan Resimen Infantri ke-11 di Priangan Timur. Alasannya, keduanya terlibat dalam sebuah rencana untuk menjatuhkan kabinet dan Nasution.
Pada 7 November 1956 KSAD Nasution memanggil Zulkifli Lubis, Bratamanggala, dan Sapari. Ketiga kolonel ini dianggap sebagai pentolan gerakan aborsif itu. Tak seperti Bratamanggala dan Sapari, Lubis menolak panggilan dan memilih bersembunyi. Kemal Idris diproses verbal sebelum akhirnya disekolahkan ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) Bandung. Soewarto dipindahkan ke Seskoad, sedangkan Djaelani, Komandan RPKAD, dipecat.
PRR-Permesta
Sejumlah panglima kini lebih terang-terangan menentang KSAD Nasution. Sewaktu reuni SSKAD di Bandung, November 1956, misalnya, mereka mencela reorganisasi AD yang dilakukan Nasution dan menyatakan kepemimpinan di AD diganti saja. Reuni SSKAD telah dipakai oleh musuh Nasution sebagai ajang untuk berkonsolidasi.
Seusai mengikuti reuni SSKAD beberapa perwira segera menuju Padang. Di sana, pada 20-24 November 1956, berlangsung reuni Divisi Banteng di Padang. Reuni di Padang ternyata semarak. Pesertanya 612 orang, termasuk Simbolon, Barlian, dan utusan Nasution, Abimanyu. Pertemuan ini melahirkan “Piagam Banteng” yang isinya, selain meminta Divisi Banteng dihidupkan lagi, juga menuntut perubahan kepemimpinan militer dan sipil serta penghapusan pemerintahan terpusat. Terbentuk pula Dewan Banteng, dengan ketua Ahmad Husein. Sebagai ketua, Husein ditugasi merealisasikan Piagam Banteng.
Soekarno yang telah condong ke kiri semakin sering menyerukan demokrasi terpimpin dan mengecam demokrasi parlementer. Mohammad Hatta, yang lazim dikaitkan dengan demokrasi parlementer, akhirnya mengundurkan diri sebagai wakil presiden pada 1 Desember 1956.
Mundurnya Hatta kian memperburuk keadaan. Sang proklamator selama ini dianggap sebagai sebagai wakil utama daerah di pusat yang dikuasai Jawa. Pada 20 Desember 1956 Ahmad Husein, atas nama Dewan Banteng, mengambil alih pemerintahan di Sumatera Tengah. Dua hari berselang Simbolon melakukan hal yang sama di Sumatera Utara. Zulkifli Lubis yang disangkutkan dengan Peristiwa Kranji berkoordinasi dengan pemberontak ini.
Di awal 1957 praktis Sumatera telah dikuasai oleh para panglima yang memberontak.
Seperti di Sumatera, keadaan di Sulawesi terus memanas. Pada 2 Maret 1957 Ventje Sumual mengumumkan keadaan darurat di Indonesia Timur. Selain itu, stafnya, Saleh Lahade, mengumumkan Piagam Perjuangan Semesta Alam (Permesta). Dua belas hari berselang PM Ali Sastroamidjojo mundur dan kemudian digantikan oleh Djuanda.
Pada 30 November 1957 terjadi Peristiwa Cikini yang dikisahkan di atas. KSAD AH Nasution dan kepala intelijen Sukendro langsung menuduh Zulkifli Lubis sebagai otaknya.
Lubis yang kembali memburon akibat peristiwa Cikini kemudian bergabung dengan para pemberontak di Sumatera. Pada 15 Februari 1958 di Padang Ahmad Husein mengumumkan lewat RRI terbentuknya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Zulkifli Lubis menjadi koordinator militer di PRRI, dengan fokus tugas pada koordinasi dan informasi. Ia segera menjadi salah satu tokoh sentral gerakan. Soemitro Djojohadikusumo, ekonom senior yang merupakan ayah Prabowo Subianto menjadi menteri perdagangan dan komunikasi. Sedangkan Sjafruddin Prawiranegara perdana menteri.
Jakarta menjawab deklarasi PRRI dengan mengirimkan pasukan pemukul. Tak seperti sebelumnya, kali ini Jakarta sangat serius berupaya memadamkan pemberontakan. Perlawanan PRRI kandas. Pun, Permesta kemudian. Para pimpinan pergolakan menyerah. Termasuk Zulkifli Lubis.
Lubis menyerah tahun 1961. Ia dipenjarakan dan baru bebas setelah Soekarno tumbang tahun 1966.
Lubis menceritakan kepada Tempo bahwa sebebas dari penjara ia menemui dua anak didiknya yang saat itu telah menjadi petinggi intelijen, Sutopo Yuwono dan Ali Moertopo. Kepada kedua orang itu ia mengemukakan niatnya untuk menciptakan pekerjaan intelijen di luar pemerintah. Sutopo dan Ali setuju. Pun ketika Lubis minta kesempatan keliling dunia untuk keperluan pekerjaan tadi. Lalu, selama setahun Lubis berkelana, mengunjungi hampir seluruh negara.
Tahun 1972 ia kembali ke tanah air. Menurut Richard Tanter (dalam Intelligence Agencies and Third World Militerization: A Case Study of Indonesia, 1966-1989—thesis Ph.D di Universitas Monash, 1991) di tahun itu Lubis bekerja sama dengan Ali Moertopo dan Opsus-nya. Tak disebut sampai kapan.
Masih menurut Tanter, periode 1969-1972 Lubis belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo (antara lain belajar ekonomi Islam). Sekembalinya dari sana ia menggeluti bisnis konsultan sembari berbisnis hotel dan restoran di Jeddah.
Sebelum meninggal di masa tuanya Zulkifli Lubis masih berbisnis dan berdiam di Bogor. Bisnisnya, antara lain, ekspor pasir Riau ke Singapura. Di bisnis ini ia bermitra dengan seorang Cina muslim Singapura yang ia kenal saat melanglang buana dulu.
Bersambung...