Gempita Natal ala Betawi: Model Toleransi dari Kampung Sawah 

Natal Bernuansa Betawi di Gereja Paroki Santo Servatius, Kota Bekasi, Jawa Barat (Foto: Dok. Richardus Jacobus Napiun)

PARBOABOA - Suasana di Gereja Paroki Santo Servatius, Kota Bekasi, Jawa Barat, tampak sibuk. Siang itu, Jumat (20/12/2024), belasan orang bergotong royong membersihkan lingkungan gereja. Sejak pagi jemaat berkumpul untuk mempersiapkan gereja menyambut Natal yang tinggal hitungan hari.  

Beberapa meter di sebelah kiri gerbang utama, sebuah bangunan berukuran 4x3 meter persegi tampak mencolok. Berdinding bilik bambu dengan pulasan cokelat tua, bentuknya khas rumah adat Betawi. 

Pengurus gereja menjadikannya semacam gudang. Sejumlah atribut pernak-pernik ala betawi tersimpan di sana, mulai dari sepasang ondel-ondel hingga hiasan pohon kembang kelapa.

“Ini nanti jadi ornamen Natal gereja,” kata Richardus Jacobus Napiun, salah satu tokoh masyarakat Katolik setempat. 

Ondel-ondel di Rumah Betawi di depan Gereja Paroki Santo Servatius (Foto: PARBOABOA/David)

Natal di Gereja Servatius bagi sebagian orang memang eksentrik. Suasananya begitu kental nuansa adat Betawi. Tak cuma dekorasi ruangannya dihias ornamen ala Betawi, jemaat yang hadir pun demikian. 

Para prianya akan mengenakan baju koko, peci, celana pangsi, hingga menyelipkan golok di pinggang. Sementara jemaat perempuan mengenakan kebaya Betawi lengkap dengan kerudungnya. 

Natal yang mengadopsi budaya Betawi sudah dilakoni jemaat Gereja Servatius sejak 1996. Tradisi itu dipertahankan sebagai corak khas gereja hingga saat ini. 

Bukan cuma ketika Natal, jemaat Gereja Servatius juga mengenakan atribut Betawi saat perayaan keagaman lain seperti Paskah, misa, peringatan hari ulang tahun gereja; hingga kegiatan sosial seperti sedekah bumi. Menurut Jacob, orang Katolik berpedoman bahwa gereja harus berinkulturasi dengan budaya setempat. 

“Artinya gereja menjadi bagian dari kearifan lokal di mana gereja itu berada,” kata dia.

Dari 9 ribu jemaat Gereja Servatius, hanya sekitar 1.600 orang yang beretnis Betawi. Namun, nuansa kehidupan Betawi, khususnya Betawi pinggiran atau yang disebut juga Betawi Ora, sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dalam sendi kehidupan warga Kampung Sawah.

Sebagian jemaat, seperti Jacobus misalnya, membuat dodol seminggu sebelum Natal. Dodol betawi itu nantinya jadi penganan yang disajikan untuk tamu yang datang berkunjung. 

Memasak dodol menjadi aktivitas kolektif jemaat gereja. Proses pembuatannya yang panjang biasanya akan melibatkan tetangga sekitar. 

“Bikinnya lama, dia harus dibuat sebelum hari H. Dan nanti perlu proses ketika dua hari setelah dibuat ini rasanya akan beda lagi dari ketika baru matang,” ujar Jacob.

Keluarga Richardus Jacobus Napiun mengaduk dodol untuk persiapan jelang perayaan Natal (Foto: Dok. Richardus Jacobus Napiun)

Ekspresi keagamaan warga Katolik Kampung Sawah yang bercorak Betawi pernah memancing polemik. Pada 1999, sebuah stasiun televisi swasta meliput aktivitas Natal unik Gereja Servatius. 

Hal itu memantik reaksi komunitas Betawi di luar Kampung Sawah. Penggunaan atribut budaya Betawi di Gereja Servatius mendapat tentangan.

Para penolaknya beranggapan Betawi identik dengan Islam. Sampai-sampai ada akronim ngasosi di kalangan anak-anak Betawi yang merupakan kependekan dari ngaji, sholat, silat. 

Islam dianggap menjadi bagian tak terpisahkan dalam pandangan hidup masyarakat Betawi. Itu juga tercermin dalam ritual adatnya yang kental nuansa keislaman. 

Menurut Jacob, saat polemik mencuat, banyak juga berseliweran kabar yang tidak tepat. Ia mencontohkan soal isu kristenisasi. Padahal, berdasarkan catatan sejarah, Kampung Sawah sejak awal banyak dihuni warga non-Muslim. 

“Justru Kristen lebih awal terkonsolidasi dengan baik di Kampung Sawah,” ungkap pria 68 tahun ini. 

Cikal bakal komunitas Katolik di Kampung Sawah sendiri bermula dari faksi yang muncul di gereja Kristen. Seorang tokoh bernama guru Nathanael kemudian menghadap ke Vikaris Apostolik Batavia. 

Ia meminta izin bergabung dengan Katolik Roma. Puncaknya adalah pembaptisan 18 jemaat oleh seorang pastor dari Ordo Jesuit pada 6 Oktober 1896. 

Seiring waktu, komunitas Katolik pun tumbuh dengan kultur Betawi yang hidup di tengah masyarakat sekitar. Mereka pun tergerak melestarikan budaya Betawi. 

“Salahnya apa? Bersyukur dong di pinggiran ini ada masyarakat yang masih mau mempertahankan budaya Betawi,” ujar Jacob. 

Kultur Betawi di Kampung Sawah tidak hanya tercermin di kegiatan keagamaan. Banyak warga yang masih menerapkan adat Betawi dalam keseharian. Jacob  sendiri menikahkan anaknya pada tahun 1997 dengan menggunakan adat Betawi.

Budayawan Betawi Yahya Andi Saputra menilai, sensitivitas agama dalam kebudayaan Betawi baru muncul belakangan. Hal itu justru tidak pernah dijumpai dalam kehidupan masyarakat Betawi masa lampau. 

Ia tidak keberatan ketika ada komunitas Katolik yang mempraktikan adat Betawi. Masyarakat Betawi, mengacu pada AD/ART Bamus Betawi, terdiri dari tiga kelompok: Betawi genetika, Betawi kultural, ada Betawi sosiologis. 

"Siapapun yang mengaku dirinya dan menjalankan tata nilai kehidupan masyarakat Betawi, itu dia udah dianggap sebagai orang Betawi," ujar pria yang akrab disapa Engkong Yahya ini.

Budayawan Betawi Yahya Andi Saputra (Foto: PARBOABOA/Achmad Rizki Muazam)

Baginya, komunitas Katolik Kampung Sawah berada di lapisan Betawi kultural. Mereka tidak punya pilihan identitas kebudayaan. Lantaran berada di lingkungan kebudayaan Betawi, budaya itu pun diadopsinya.

“Kebudayaan yang mereka tampilkan, atau ekspresi macam-macam kesenian yang mereka tampilkan, itu adalah pakaian kultur, bukan pakaian akidah,” ucap Yahya.

Menurut dia, komunitas non-Muslim yang berbudaya Betawi bukan hanya ada di Kampung Sawah. Hal serupa  juga dipraktikkan di Kampung Tugu, Jakarta Utara, dan Depok, Jawa Barat. Hanya saja, bentuk ekspresinya berbeda dengan yang dipraktikkan di Kampung Sawah. 

Yahya menegaskan, Betawi merupakan budaya dan etnis yang terbuka. Tidak ada batasan siapa atau kelompok mana saja yang paling berhak atas budaya Betawi. Orang yang tidak lahir dan besar di Jakarta pun bisa menjadi bagian dari keluarga besar Betawi. 

“Kalau kemudian ente mengidentifikasikan diri ente sebagai orang Betawi, ente jadi orang Betawi. Gampang,” imbuhnya.

Ribut-ribut soal identitas kebetawian juga biasanya justru tidak tampak di akar rumput. Masyarakat Betawi sudah terbiasa hidup dengan heterogenitas. 

Di Kampung Sawah pun demikian. Kultur Betawi justru menjadi bungkus apik kerukunan umat beragama. 

Tiap hari besar keagamaan, warga Kampung Sawah melestarikan tradisi “ngejotin” yang berakar dari kebudayaan Betawi. Saat “ngejotin”, setiap orang berbagi kebahagiaan dengan membagikan rantang berisi makanan. 

Saat Natal, warga Kristen atau Katolik membagikan makanan di rantang kepada saudaranya yang Muslim. Begitu juga dengan warga Muslim, berbagi ketupat kepada warga beragama lain ketika lebaran.

“Pokoknya semua masakan halal. Ya kita bawa, bikin satu rantang, isinya ini antarkan sama kue-kue antarkan ke saudara yang Muslim,” ujar Hertanto, warga Katolik Kampung Sawah.

Tradisi lain yang masih dirawat, kata pria 63 tahun ini, ialah saling berkunjung saat hari raya keagamaan. Biasanya warga yang berbeda agama akan saling mengunjungi kala umat lain tengah merayakan hari besar keagamaan.

Hertanto, anggota Jemaat Gereja Paroki Santo Servatius (Foto: PARBOABOA/Achmad Rizki Muazam)

Misalnya hari Natal, warga Muslim akan mengucapkan selamat Natal dan berkunjung ke rumah tetangga yang Kristen atau Katolik. Sebaliknya, ketika umat Muslim merayakan Idulfitri.

“Mereka (Muslim) datang ke rumah, sesempatnya aja, ada satu keluarga datang ke mari. Begitu juga waktu lebaran kita berkunjung ke mereka,” ucap Hertanto.

Komunikasi menjadi kunci utama kerukunan umat beragama di Kampung Sawah. 

Warga punya kebiasaan ngeriung bareng atau makan bareng.

Ngeriung ini biasanya dilakukan di rumah ibadah secara bergilir. Kadang masjid yang menjadi lokasi pertemuan, lain waktu di gereja. Dengan saling bertemu ini, kerukunan umat beragama terus terjaga.

Kala perayaan hari keagamaan, warga bergiliran saling menjaga dan membantu acara keagamaan tertentu. Misalnya Natalan, warga Muslim membantu keamanan acara di gereja. Begitupun sebaliknya, saat Idulfitri, warga Katolik dan Kristen membantu keamanan di masjid.

Pengurus Gereja Servatius mengenakan pakaian khas Betawi (Foto: Dok. Richardus Jacobus Napiun)

Jacob bercerita, biasanya jemaat Gereja Servatius sudah berada di lokasi satu jam sebelum salat ied berlangsung.

Enggak diminta. Dan tidak ada yang melarang juga. Cuma diancam. ‘Selesai sholat ied, jangan pernah berpikir untuk pulang, sebelum kita santap ketupat lebaran dulu’,” ujar Jacob setengah berseloroh.

Kampung Sawah kini juga dikenal sebagai laboratorium kerukunan umat beragama. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat sudah menganggapnya sebagai model perwujudan toleransi. 

Beberapa waktu lalu, tepatnya di Hari Toleransi Dunia, sejumlah lembaga turun langsung menyaksikan bagaimana kerukunan terbangun di Kampung Sawah. 

Di tengah obrolan Jacob dengan Parboaboa, suara adzan berkumandang dari Masjid Agung Al Jauhar. Jaraknya hanya 200 meter dari Gereja Paroki Santo Servatius. 

Belum habis azan berkumandang, tepat pukul 12.00 WIB lonceng gereja berbunyi. Sekitar 10 warga Katolik yang sedari tadi bekerja bakti menghentikan aktivitasnya. 

Mereka berkumpul. Ada yang duduk di kursi; ada pula yang berdiri. Tanpa aba-aba, mereka berdoa, menyilangkan tangannya ke dada dan wajah membentuk salib.

“Atas nama Bapa…” kompak mereka berujar. Sekitar dua menit jemaat tenggelam dalam doa yang khusyuk. Sementara warga muslim juga sedang khusyuk mendengarkan azan di Masjid Agung Al Jauhar.

Di Kampung Sawah, agama tidak lagi menjadi bahan perdebatan, masing-masing menjalankannya sesuai keyakinan. “Kalau di Islam bilang, bagiku agamaku dan bagimu agamamu,” ujar Jacob.

Reporter: Achmad Rizki Muazam dan David Rumahorbo

Editor: Jenar
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS