PARBABOA, Jakarta - Kawin kontrak, atau perkawinan dengan jangka waktu tertentu, adalah praktik yang tidak diizinkan baik oleh hukum nasional maupun Islam.
Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974, perkawinan seharusnya bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kawin kontrak dianggap bertentangan dengan prinsip dasar perkawinan yang sebenarnya karena hanya mengikat secara keperdataan, bersifat sementara, dan berakhir begitu masa kontrak selesai.
Dalam ajaran Islam, kawin mut'ah, yang serupa dengan kawin kontrak, memang pernah diizinkan oleh Rasulullah saat situasi darurat, seperti dalam kondisi peperangan.
Tujuannya adalah untuk mencegah para tentara dari tindakan yang menyimpang. Namun, setelah pembebasan Mekah pada tahun 8 H/630 M, Rasulullah melarang praktik ini.
Meskipun jelas dilarang, praktik kawin kontrak masih sering terjadi di Indonesia, terutama di wilayah Cisarua dan Cianjur, Jawa Barat. Pertanyaannya, mengapa praktik ini tetap marak dilakukan meski sudah ada larangan yang jelas?
Wakil Ketua DPRD Cianjur, Deden Nasihin mengatakan, di daerah itu, orang tetap melakukan kawin kontrak karena ketiadaan sanksi bagi siapa saja yang terlibat.
Walau pemerintah setempat mengeluarkan peraturan Bupati (Perbub) Nomor 38 Tahun 2021 yang melarang kawin kontrak, sanksi hukum bagi para pihak tidak diatur secara tegas.
Menurut Deden, lemahnya Perbub ini seharusnya diperkuat dengan penyusunan peraturan daerah (Perda) yang memuat aturan tegas bagi pelaku kawin kontrak.
"Ini penting mengingat implementasi kebijakan publik akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksanaannya," kata Deden belum lama ini.
Faktor sosial budaya masyarakat juga turut mempengaruhi maraknya praktik kawin kontrak.
Di wilayah Cipanas dan Cianjur, kata Deden, penegakan aturan terkait kawin kontrak sering terhambat oleh kurangnya dukungan masyarakat setempat.
Bahkan, ada kecenderungan sikap permisif atau pembiaran terhadap praktik ini.
Selebihnya, faktor ekonomi menjadi pendorong utama. Para perempuan yang terlibat dalam kawin kontrak bukan satu-satunya pihak yang diuntungkan.
Di sana, ada peran agen, wali, hingga penghulu yang turut mendapatkan keuntungan dari praktik ilegal ini. Mereka semua mengambil bagian dalam bisnis yang memberikan keuntungan ekonomi instan.
Faktor ekonomi inilah yang memaksa banyak pelaku untuk memilih kawin kontrak sebagai jalan cepat mendapatkan uang. Penelitian menunjukkan, ada perempuan yang bisa melakukan kawin kontrak hingga tiga kali dalam seminggu.
Kata Deden, "praktik ini pun lebih menyerupai prostitusi terselubung, dan terus berlangsung meskipun bertentangan dengan hukum."
Pemerintah Cianjur memang telah berupaya mengatasi masalah kawin kontrak dengan membuat aturan serta membentuk Satuan Tugas Pencegahan Kawin Kontrak melalui Keputusan Bupati Cianjur Nomor 474.2/KEP.301-KESRA/2021.
Namun, meskipun sudah ada Perbup yang melarang praktik tersebut, efektivitasnya masih terbatas karena hanya bersifat imbauan tanpa adanya sanksi tegas.
Hal ini diakui oleh Bupati Cianjur, Herman Suherman, yang menyatakan bahwa penegakan aturan tersebut belum maksimal karena belum adanya regulasi di tingkat pusat yang mendasari pembuatan Perda tentang kawin kontrak.
"Kita ingin ada sanksi. Tapikan perda belum bisa dibuat karena di pusat belum ada aturan serupa," kata Herman.
Dia mengakui, sebenarnya, ada rencana dari kementerian untuk mengusulkan aturan yang melarang kawin kontrak secara nasional, namun hingga kini belum ada perkembangan.
Itulah sebabnya, pemerintah Cianjur hanya bisa memaksimalkan Perbup untuk melakukan sosialisasi di setiap kecamatan guna mencegah praktik tersebut.
Herman juga menekankan, kawin kontrak merugikan perempuan karena hubungan ini bersifat sementara dan tidak memberikan perlindungan hukum.
Jika perempuan yang terlibat dalam kawin kontrak memiliki anak, kata dia, mereka akan menghadapi kesulitan besar karena pasangan mereka sering kali pergi begitu saja tanpa tanggung jawab setelah masa pernikahan selesai.
Banyak perempuan juga ditipu dengan janji-janji seperti diberikan mobil atau rumah, namun kenyataannya hanya mobil sewaan atau rumah kontrakan.
"Sedangkan si pria asingnya ini pulang begitu saja ke negara asal," pungkasnya.
Ia berharap agar semua pihak bersama-sama mencegah praktik ini sehingga kaum perempuan tidak terus menjadi korban kawin kontrak.
Praktik kawin kontrak di Indonesia diperkirakan telah berlangsung sejak lama. Adriana Venny, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan (2006), mencatat bahwa praktik ini pernah terjadi saat proyek pembangunan Jatiluhur.
Saat itu, banyak tenaga asing yang melakukan perkawinan kontrak dengan penduduk lokal. Indikasi ini terlihat dari penampilan anak-anak hasil hubungan tersebut yang memiliki ciri fisik campuran. Umumnya, perkawinan ini berlangsung selama para pekerja asing masih berada di Indonesia.
Menurut hakim agung Rifyal Ka'bah, kawin kontrak tidak memiliki dampak hukum apapun karena praktik ini dianggap sebagai bentuk perzinahan.
Meskipun begitu, kawin kontrak masih banyak ditemukan di berbagai wilayah Indonesia, salah satunya, kata dia, di kawasan Puncak, Bogor.
Hal ini mengundang keprihatinan banyak pihak, termasuk Venny, yang menyatakan, perempuan dalam kawin kontrak diperlakukan seperti komoditas seks. Praktik ini sering kali disamarkan dengan dalih agama, padahal pada kenyataannya merupakan prostitusi terselubung.
Ia juga menegaskan, nasib anak hasil kawin kontrak tidak jauh berbeda dengan sang ibu. Anak-anak ini biasanya tidak mendapatkan hak warisan, dan setelah kontrak berakhir, tanggung jawab sepenuhnya jatuh kepada sang ibu.
Ketiadaan aturan hukum yang mengatur tentang kawin kontrak dan akibatnya mendorong desakan untuk adanya pembaharuan dalam hukum perkawinan.
Venny menyoroti bahwa tanpa regulasi yang jelas, aparat hukum terpaksa menggunakan jerat hukum lain. Misalnya, di kawasan Puncak, warga negara asing yang terlibat dalam kawin kontrak sering dikenakan sanksi berdasarkan peraturan keimigrasian.
Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana dengan warga lokal yang juga terlibat dalam praktik ini? Mengingat pelaku kawin kontrak tidak hanya warga negara asing, "hukum yang lebih komprehensif sangat dibutuhkan untuk mengatasi masalah ini."
Editor: Gregorius Agung