Memaafkan Koruptor, Ancaman Nyata Penegakan Hukum di Indonesia

Ilustrasi Menentang Korupsi. (Foto:djpb.kemenkeu)

PARBOABOA, Jakarta - Pernyataan Presiden Prabowo soal wacana memaafkan koruptor dengan syarat mengembalikan harta negara memicu polemik.

Apakah ini langkah pemulihan aset atau justru sinyal melemahkan penegakan hukum?

Di hadapan mahasiswa Indonesia di Universitas Al Azhar, Mesir, Presiden Prabowo Subianto memunculkan wacana yang kontroversial.

Ia menyatakan koruptor dapat dimaafkan jika mengembalikan harta negara yang dicuri. Bahkan, pengembalian itu dapat dilakukan secara diam-diam agar tak diketahui publik.

Ia berharap, para koruptor atau yang merasa pernah mencuri dari rakyat, “kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan. Tapi kembalikan dong. Nanti kita beri kesempatan cara mengembalikannya, bisa diam-diam supaya nggak ketahuan,” ujar Prabowo, melalui YouTube Sekretariat Presiden, Kamis( 19/12/2024).

Pernyataan ini langsung menuai respons dari berbagai pihak. Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, menjelaskan bahwa pemberian maaf terhadap koruptor bukanlah bentuk amnesti atau grasi.

 Ia menegaskan, proses ini harus melibatkan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dengan pengawasan Mahkamah Agung (MA) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Namun, Supratman juga menyebut opsi denda damai sebagai bentuk pengampunan kepada koruptor, yang pelaksanaannya akan diatur melalui Undang-undang Kejaksaan 2021.

Ia mengklaim, langkah ini dapat memaksimalkan pemulihan aset negara tanpa melemahkan hukuman pidana.

Denda Damai

Kewenangan Jaksa Agung untuk menerapkan denda damai menjadi sorotan. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menegaskan bahwa mekanisme ini tidak berlaku untuk tindak pidana korupsi (Tipikor).

Ia merujuk pada UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengatur hukuman tegas bagi koruptor, termasuk Pasal 2 dan 3 tentang pengembalian kerugian negara.

“Denda damai hanya berlaku untuk tindak pidana ekonomi, seperti pelanggaran kepabeanan atau perbankan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Nomor 7 Undang-undang Darurat RI Tahun 1955,” jelas Harli dalam keterangannya yang diterima Parboaboa, Jumat, (27/12/2024).

Pernyataan ini didukung oleh Mahfud MD, mantan Menkopolhukam, yang menegaskan bahwa hukum pidana tidak membenarkan pengembalian uang negara secara diam-diam.

Ia menilai wacana ini berpotensi melemahkan iklim demokrasi dan kredibilitas penegakan hukum di Indonesia.

“Undang-undang Korupsi tidak membenarkan itu. Prosedur harus jelas, transparan, dan tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi,” ujar Mahfud di Jakarta, Kamis (26/12/2024).

Selain itu, wacana memaafkan koruptor dengan dalih mengembalikan kerugian negara menimbulkan kekhawatiran akan lemahnya penegakan hukum.

Berdasarkan data Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2023 berada di angka 34, mencerminkan tantangan besar dalam memerangi korupsi.

Langkah seperti ini dikhawatirkan justru akan memperburuk situasi.

Mahfud MD mengingatkan bahwa mencari celah hukum untuk melegitimasi pengampunan koruptor merupakan praktik berbahaya.

Menurutnya, pendekatan seperti ini akan menciptakan preseden buruk, di mana kebijakan presiden selalu dicarikan pembenaran melalui dalil hukum yang dibuat-buat.

“Jangan suka cari-cari pasal untuk pembenaran. Itu bahaya. Nanti setiap ucapan presiden dicarikan dalil untuk membenarkan, dan itu tidak bagus untuk cara kita bernegara,” tegasnya.

Selain itu, wacana ini berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi.

Berdasarkan survei Litbang Kompas 2024, 67% masyarakat Indonesia menganggap korupsi sebagai ancaman terbesar bagi pembangunan bangsa.

Jika pemerintah memberikan ruang bagi koruptor untuk “menebus dosa” tanpa hukuman yang setimpal, maka pesan yang disampaikan adalah lemahnya moralitas hukum di Indonesia.

Padahal, Undang-undang No. 31 Tahun 1999 dan No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan jelas mengatur hukuman pidana bagi pelaku korupsi.

Hukuman ini meliputi pidana penjara, denda, hingga penyitaan aset. Tidak ada ruang bagi mekanisme denda damai yang memungkinkan koruptor menghindari hukuman badan.

Ketegasan Hukum

Penegakan hukum yang jelas dan tanpa kompromi menjadi faktor utama dalam upaya pemberantasan korupsi.

Pemerintah harus memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil tidak membuka celah bagi pelaku korupsi untuk lolos dari jeratan hukum.

Pemulihan aset memang penting, tetapi harus dilakukan melalui mekanisme yang jelas, sesuai undang-undang, dan melibatkan pengawasan publik.

Pernyataan Prabowo seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat komitmen pemberantasan korupsi, bukan sebaliknya.

Sebagai pemimpin, ia harus memberikan teladan bahwa hukum berlaku untuk semua, tanpa pengecualian.

Memaafkan koruptor tanpa hukuman tegas hanya akan melemahkan moralitas bangsa dan menodai perjuangan panjang melawan korupsi.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS