Berkaca Kasus Li Jianping, Efektifkah Hukuman Mati Koruptor?

Ilustrasi Li Jianping, koruptor Tiongkok yang menggelapkan dana lebih dari 3 miliar yuan atau sekitar Rp6,6 triliun. (Foto: PARBOABOA/Yohana)

PARBOABOA - Li Jianping, mantan pejabat tinggi di Tiongkok, menjadi sorotan setelah dijatuhi hukuman mati pada 17 Desember 2024. Dia terbukti bersalah menggelapkan dana lebih dari 3 miliar yuan atau sekitar Rp6,6 triliun.

Sebagai Direktur Utama sebuah perusahaan milik negara di Zona Pengembangan Ekonomi Hohhot, Mongolia Dalam, Li menggunakan posisinya untuk memanipulasi proyek-proyek besar demi keuntungan pribadi.

Investigasi mengungkapkan bahwa Li Jianping menerima suap dalam jumlah besar dari berbagai pihak yang ingin mendapatkan akses ke proyek pemerintah dan menggelapkan aset negara melalui jaringan perusahaan palsu yang dibangunnya selama bertahun-tahun.

Hukuman yang dijatuhkan kepada Li merupakan bagian dari kampanye antikorupsi besar-besaran yang diluncurkan oleh Presiden Xi Jinping.

Kampanye ini bertujuan tidak hanya untuk membersihkan pemerintahan dari pejabat korup, tetapi juga untuk mengirim pesan tegas bahwa tindakan seperti ini tidak akan ditoleransi.

Lalu, apakah hukuman mati benar-benar memberikan efek jera?

Efektivitas hukuman mati dalam memberantas korupsi sering menjadi topik perdebatan. Pendukung hukuman ini berargumen bahwa eksekusi memberikan efek jera yang kuat bagi calon pelaku korupsi, terutama di negara dengan tingkat korupsi yang tinggi.

Selain Tiongkok, Iran dan Korea Utara juga menerapkan hukuman mati untuk kasus korupsi. Di Iran, misalnya, korupsi yang membahayakan stabilitas ekonomi negara dapat berujung pada eksekusi.

Namun, data transparan terkait penerapan hukuman ini sering sulit ditemukan. Di Korea Utara, hukuman mati bahkan kerap dianggap lebih sebagai alat politik untuk menyingkirkan lawan ketimbang langkah nyata untuk menegakkan keadilan.

Sebaliknya, negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa memilih pendekatan berbeda. Hukuman penjara jangka panjang atau denda besar menjadi sanksi utama untuk kasus korupsi.

Pendekatan ini mencerminkan prioritas pada hak asasi manusia dan reformasi sistemik dibandingkan dengan langkah-langkah represif.

Penerapan Hukuman Mati di Indonesia

Data dari Transparency International menunjukkan bahwa negara-negara yang menerapkan hukuman mati untuk korupsi cenderung memiliki indeks persepsi korupsi yang lebih baik dibandingkan negara-negara lain di kawasan yang sama.

Namun, kritik tetap ada, karena hukuman mati tidak selalu mampu mengatasi akar permasalahan korupsi, yang sering kali berakar pada kelemahan sistemik seperti kurangnya transparansi dan akuntabilitas.

Di Indonesia, meskipun hukuman mati telah diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999), penerapannya sangat jarang terjadi. Kebijakan ini lebih banyak digunakan sebagai ancaman hukum yang belum direalisasikan.

Beberapa pihak mendukung penerapan hukuman mati untuk kasus-kasus korupsi besar yang berdampak luas pada perekonomian negara, seperti skandal BLBI atau Jiwasraya, di mana kerugian negara mencapai triliunan rupiah.

Namun, penegakan hukuman mati membutuhkan standar hukum yang sangat tinggi serta mempertimbangkan risiko salah vonis yang dapat memicu kontroversi etika dan politik.

Perspektif hak asasi manusia juga menjadi sorotan penting dalam diskusi ini. Organisasi internasional seperti Amnesty International dengan tegas menentang hukuman mati, termasuk untuk kasus korupsi.

Mereka berargumen bahwa hukuman ini melanggar hak hidup dan sering digunakan secara tidak adil, terutama di negara-negara otoriter seperti Iran dan Korea Utara.

Di negara-negara tersebut, hukuman mati untuk korupsi sering dianggap lebih sebagai alat politik daripada upaya penegakan hukum yang adil.

Indonesia memang menghadapi tantangan besar dalam memberantas korupsi. Kasus-kasus besar seperti skandal e-KTP dan Jiwasraya menunjukkan bahwa hukuman berat seperti penjara seumur hidup belum cukup memberikan efek jera.

Sebagai alternatif, Indonesia bisa belajar dari negara-negara yang berhasil mengurangi korupsi tanpa menerapkan hukuman mati.

Singapura, misalnya, memiliki indeks persepsi korupsi yang sangat baik berkat penerapan sistem pengawasan yang ketat, transparansi birokrasi, dan penegakan hukum yang konsisten.

Penerapan hukuman mati untuk korupsi memang memiliki daya tarik sebagai langkah tegas, tetapi efektivitasnya dalam jangka panjang tetap menjadi tanda tanya besar.

Memberantas korupsi memerlukan solusi yang lebih menyeluruh, termasuk reformasi sistemik, transparansi, dan edukasi masyarakat.

Dengan begitu, upaya pemberantasan korupsi dapat menjadi lebih efektif tanpa harus mengorbankan prinsip hak asasi manusia.

Editor: Yohana
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS