KontraS: Kasus Haris-Fatia Jadi Preseden Buruk Kebebasan Berpendapat di Indonesia!

Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Haris Azhar dituntut 4 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur pada Senin (13/11/2023) (Foto: Instagram/ @yayasanlbhindonesia)

PARBOABOA, Jakarta – Kasus dugaan pencemaran nama baik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, memasuki babak baru.

Pada Senin (13/11/2023), Jaksa Penuntut Umum (JPU) Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur menyampaikan tuntutannya terhadap aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti.

JPU menyatakan bahwa Haris terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pencemaran nama baik, sesuai dengan Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang ITE juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP.

Sebagai tuntutan, JPU menuntut hukuman penjara selama 4 tahun bagi Haris, dengan perintah penahanan segera, dan denda sebesar Rp1 juta subsider enam bulan penjara.

Ada lima poin yang memberatkan tuntutan terhadap Haris. Pertama, tidak menunjukkan penyesalan terkait perbuatannya.

Kedua, penggunaan akun YouTube dengan nama Haris Azhar dianggap tidak pantas dan tidak bijaksana.

Ketiga, terdakwa dianggap berusaha menyembunyikan identitasnya, seolah-olah mengaku sebagai pejuang lingkungan hidup.

Keempat, perilaku kurang sopan selama persidangan dan merendahkan martabat pengadilan.

Kelima, Haris disebut sebagai pemicu kegaduhan selama proses persidangan dan tidak ada hal-hal yang dianggap meringankan perbuatan Haris.

Adapun rekan Haris, Fatia Maulidiyanti, mendapat tuntutan hukuman penjara selama 3 tahun 6 bulan dengan perintah penahanan segera. Ia juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp500 ribu subsider 3 bulan kurungan.

Sementara itu, menurut Dimas Bagus Arya Saputra, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), tuntutan jaksa menunjukkan bentuk pemaksaan dan ketimpangan.

"Terlihat banyak sentimen yang seolah-olah memperkuat pandangan bahwa Fatia-Haris dan pendukungnya, yang berbicara tentang isu Papua, ketimpangan lingkungan, demokrasi, dan semangat anti-korupsi, justru dipotret sebagai pelanggar," ungkap Dimas kepada PARBOABOA pada Kamis (16/11/2023).

Ia juga mengamati adanya indikasi penuntutan dengan niat yang tidak baik, terlihat dari pertentangan pandangan tentang HAM yang digunakan oleh jaksa penuntut umum.

"Ini terlihat saat jaksa penuntut umum membacakan tuntutan pada Senin lalu, di mana banyak pandangan tentang HAM digunakan, tetapi justru bertentangan dengan semangat HAM," tambahnya.

Kasus ini, menurut Dimas, menciptakan preseden buruk terkait iklim kebebasan berpendapat di Indonesia.

“Ironisnya ada banyak masyarakat dan kelompok yang berupaya membela lingkungan hidup, melawan korupsi, dan mendorong demokrasi justru mengalami kriminalisasi dan pembungkaman. Hal ini menciptakan preseden negatif terkait iklim kebebasan berpendapat,” jelas Dimas.

Pembungkaman ini juga menciptakan politik ketakutan yang mendorong negara untuk mundur, serupa dengan yang terjadi pada zaman Orde Baru.

“Politik ketakutan yang sedang terjadi dapat menjauhkan Indonesia dari nilai-nilai demokrasi, menciptakan identitas kuat bahwa negara ini cenderung kembali ke jalur otoritarianisme yang tidak mendukung kritik dalam konteks bernegara,” pungkasnya.

Kronologi Kasus Haris-Fatia

Haris dan Fatia dihadapkan pada kasus pencemaran nama baik setelah dilaporkan oleh Menko Marves Luhut.

Laporan tersebut terkait unggahan video di kanal YouTube Haris berjudul "Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!!! Jenderal BIN Juga Ada 1!" pada Agustus 2021 lalu.

Dalam video berdurasi 26 menit 52 detik, Haris dan Fatia mengulas hasil riset beberapa organisasi, diantaranya KontraS, Walhi, YLBHI, dan Jatam, tentang keterlibatan bisnis para pejabat dan purnawirawan TNI AD dalam industri penambangan emas di Intan Jaya, Papua.

Beberapa waktu setelah unggahan tersebut, Menko Marves, Luhut Binsar Panjaitan merasa nama baiknya tercemar dan melaporkan Haris dan Fatia ke pihak berwajib.

Akibatnya, Haris Azhar dan Fatia didakwa berdasarkan Pasal 27 Ayat 3 juncto Pasal 45 Ayat 3 UU ITE, Pasal 14 Ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, dan Pasal 310 KUHP tentang Penghinaan.

Haris-Fatia sudah menjalani rangkaian persidangan sejak 3 April 2023 lalu dengan mendatangkan para saksi ahli. Selain itu, Luhut juga telah diperiksa sebagai saksi. 

Editor: Atikah Nurul Ummah
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS