PARBOABOA, Jakarta - Peristiwa tragis mengguncang sebuah keluarga di kawasan Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan, pada Sabtu dini hari, (30/11/2024).
Seorang remaja berusia 14 tahun, berinisial MAS, melakukan aksi kekerasan yang mengerikan dengan menusuk ayahnya, APW (40), dan neneknya, RM (69) hingga tewas.
Selain itu, ibunya, AP (40), juga menjadi sasaran, tetapi berhasil selamat setelah melarikan diri dari serangan anaknya.
Kejadian bermula sekitar pukul 01.00 WIB, saat seluruh penghuni rumah tengah terlelap. MAS, yang mengaku kesulitan tidur dan mendengar bisikan-bisikan aneh, turun ke dapur untuk mengambil sebilah pisau.
Dengan membawa senjata itu, ia menuju lantai atas tempat kedua orang tuanya tidur.
Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan, AKBP Gogo Galesung menyampaikan, serangan pertama diarahkan kepada sang ayah yang sedang tidur di samping ibunya. Tusukan tersebut memicu keributan sehingga membangunkan sang ibu.
AP yang terbangun juga menjadi target, tetapi berhasil menghindari luka fatal. Dalam kepanikan, AP berteriak meminta pertolongan dan melarikan diri ke luar rumah dengan melompati pagar untuk menyelamatkan nyawanya.
"Ibunya juga ditusuk, tapi mungkin tidak masuk di tempat yang mematikan, setelah itu ibunya teriak," pungkas Gogo.
Di tengah situasi yang kacau, nenek MAS yang mendengar kegaduhan keluar dari kamarnya. Sayangnya, ia turut menjadi korban dan meregang nyawa setelah ditusuk oleh pelaku. Ayah dan nenek MAS meninggal dunia di tempat, diduga akibat kehilangan darah dalam jumlah besar.
Setelah melancarkan serangannya, MAS kabur meninggalkan rumah. Polisi yang menerima laporan, kata Gogo, segera melakukan pengejaran hingga akhirnya berhasil menangkap pelaku.
Dalam interogasi awal, MAS menyampaikan bahwa ia merasa terganggu oleh bisikan-bisikan gaib yang menghantui pikirannya saat tidak bisa tidur. Bisikan tersebut, menurut pengakuannya, mendorongnya melakukan aksi yang diluar nalar.
Polisi kini terus mendalami motif di balik tindakan brutal tersebut, termasuk kondisi kejiwaan pelaku. Proses olah tempat kejadian perkara (TKP) juga telah dilakukan untuk mengungkap kronologi kejadian secara rinci.
Harus Dihukum Berat?
Pasca naas tragis ini beredar, banyak pihak yang menyayangkan perbuatan sang anak. Tidak sebatas itu, mereka menuntut agar MAS dihukum berat sesuai dengan perbuatannya.
Namun, di tengah desakan tersebut, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengingatkan, pentingnya penanganan kasus di atas sesuai dengan prinsip yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
Kata mereka, penanganan kasus ini harus berfokus pada kepentingan terbaik bagi anak, mengingat pelakunya yang masih di bawah umur.
Karena itu, Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati meminta aparat penegak hukum (APH) harus mampu mengidentifikasi akar masalah secara menyeluruh.
Pendekatan yang digunakan harus melibatkan prinsip-prinsip perlindungan anak dan mempertimbangkan kolaborasi lintas pihak, seperti pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial, serta berbagai elemen lain yang relevan sesuai amanat UU SPPA.
Menurut dia, ini diperlukan agar penanganan anak berkonflik dengan hukum (ABH) tetap berpijak pada upaya pembinaan dan rehabilitasi, bukan sekadar penghukuman.
"Harus berpegang teguh pada UU yang berlaku" dan APH seharusnya "mampu mengidentifikasi akar masalah dengan mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak," tegas Maidina dalam sebuah keterangan resmi pada Selasa, (3/11/2024).
Selain itu, ICJR mendorong pentingnya penyediaan penelitian masyarakat (litmas) yang berkualitas untuk memahami latar belakang perilaku anak secara mendalam.
Pendampingan yang menyeluruh, baik dalam aspek hukum maupun non-hukum, juga menjadi hal yang harus diperhatikan demi memastikan bahwa proses peradilan anak berjalan sesuai dengan prinsip keadilan dan perlindungan.
ICJR menjelaskan bahwa perilaku agresif seperti yang ditunjukkan MAS seringkali dipengaruhi oleh berbagai faktor yang kompleks.
Apalagi, berdasarkan analisis penelitian yang komprehensif, kata Madiani, tidak ada satupun penyebab tunggal yang memicu tindakan kekerasan pada anak.
Dalam banyak kasus, tambahnya, pola pengasuhan keluarga menjadi salah satu faktor yang dominan. Pola pengasuhan yang otoriter, misalnya, dapat memicu rasa tertekan, frustasi, hingga kemarahan yang akhirnya berujung pada perilaku agresif.
Masih dalam pengasuhan otoriter, tegasnya, anak sering kali tidak diberi ruang untuk mengekspresikan perasaan atau pendapatnya. Sebaliknya, mereka dipaksa untuk mengikuti aturan secara kaku tanpa ada dialog yang sehat. Hal ini berpotensi menciptakan ketegangan emosional yang mempengaruhi perilaku anak, termasuk dalam bentuk tindakan kekerasan.
ICJR juga mengingatkan bahwa respons publik terhadap kasus ini perlu diarahkan pada solusi yang mendukung pembinaan anak, bukan pada penghukuman berat seperti pemenjaraan. Menurut ICJR, hukuman berat tidak hanya tidak efektif tetapi juga dapat memperburuk kondisi psikologis dan sosial anak di masa depan.
Langkah ini penting untuk memberikan kesempatan bagi anak untuk memperbaiki diri, sekaligus mencegah dampak jangka panjang yang merugikan semua pihak.