Wajah Baru Minerba Indonesia: Dari Ekspor Bahan Mentah ke Industri Bernilai Tinggi

Menkeu Purbaya Sadewa saat melakukan rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI (Foto: Tangkapan Layar Youtube TVR Parlemen)

PARBOABOA, Jakarta - Transformasi tata kelola sektor mineral dan batu bara (minerba) di Indonesia mulai menunjukkan dampak struktural yang signifikan. 

Arah kebijakan pemerintah yang selama ini mendorong hilirisasi dan industrialisasi sumber daya alam tidak lagi berhenti pada tataran wacana, tetapi mulai tercermin dalam pergeseran kontribusi sektor terhadap perekonomian nasional.

Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, menyebut peran sektor pertambangan minerba dalam Produk Domestik Bruto (PDB) justru mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir, seiring bergesernya orientasi dari ekspor bahan mentah ke pengolahan bernilai tambah.

Dalam periode 2020 hingga 2024, kontribusi PDB pertambangan minerba tercatat terus menurun dari tahun ke tahun. 

Pada 2022, sektor ini masih menyumbang Rp 1.805,8 triliun, lalu turun menjadi Rp 1.500,4 triliun pada 2024. Hingga akhir tahun berjalan, nilainya diperkirakan berada di posisi Rp 1.613,1 triliun.

“Kontribusi pertambangan minerba terhadap PDB menurun,” kata Purbaya saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Jakarta, Senin (8/12/2025).

Namun di saat yang sama, sektor industri pengolahan logam dasar justru mengalami tren kebalikan. Kontribusinya terus meningkat secara konsisten dalam periode yang sama, dari Rp 168 triliun hingga mencapai Rp 226,4 triliun pada 2024. 

Hingga akhir tahun, nilai ini diproyeksikan naik menjadi Rp 243,4 triliun atau setara 1% dari PDB 2025.

“Hal ini menggambarkan pergeseran struktur dominasi hulu ke hilirisasi nilai tambah lebih tinggi,” ujar Purbaya.

Perkuat Sistem Digital

Pergeseran struktur ekonomi tersebut tidak berdiri sendiri. Di sisi lain, pemerintah juga memperkuat fondasi tata kelola melalui penguatan sistem digital nasional. 

Salah satu instrumen utamanya adalah implementasi Sistem Informasi Mineral dan Batu Bara (Simbara) yang kini diatur secara resmi melalui Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2025 tentang Layanan Digital Terpadu pada Komoditas Mineral dan Batu Bara.

Asisten Deputi Bidang Pengembangan Mineral dan Batu Bara Kemenko Perekonomian, Ing. Herry Permana, menjelaskan bahwa Simbara dirancang untuk memperkuat sinergi antar kementerian dan lembaga dalam pengelolaan komoditas strategis ini. 

Hal tersebut disampaikannya dalam Focus Group Discussion (FGD) Evaluasi Implementasi Simbara Komoditas Nikel di Bandung, Jawa Barat, Kamis (13/11/2025).

“Melalui Simbara, pemerintah ingin memastikan bahwa seluruh data dan aktivitas pengelolaan mineral serta batu bara terintegrasi dengan baik, sehingga dapat mendorong optimalisasi penerimaan negara,” ujar Herry.

Menurutnya, kebijakan baru melalui Perpres 94/2025 menekankan pentingnya digitalisasi dan sinkronisasi data lintas instansi. Ia menggambarkan bahwa pada masa lalu, masing-masing direktorat memiliki aplikasi sendiri, namun sedikit yang benar-benar efektif.

“Dulu, ketika saya masih di Minerba, banyak aplikasi dibuat di masing-masing direktorat agar terlihat modern, tapi ternyata tidak semuanya optimal. Sekarang kami ingin satu sistem yang terintegrasi dan bisa langsung berjalan efektif pada 2025,” katanya.

Digitalisasi ini juga diarahkan untuk menciptakan pengelolaan sumber daya yang lebih transparan dan fleksibel. Herry menekankan bahwa kepentingan utama pemerintah adalah memaksimalkan manfaat sumber daya dalam negeri bagi masyarakat.

“Kalau masyarakat mau membeli dari luar negeri, misalnya dari Filipina, tidak masalah. Tapi, yang utama adalah bagaimana kita mengelola sumber daya dalam negeri secara efisien agar hasilnya bisa dinikmati masyarakat sendiri dalam jangka panjang,” ujarnya.

Simbara juga berfungsi untuk mengintegrasikan berbagai jenis perizinan usaha pertambangan, mulai dari IUP, IUPK, IPR, hingga IUP Batuan, sehingga seluruh data dan perizinan dapat dikelola secara transparan dan terstruktur.

Dalam forum yang sama, Herry menyoroti besarnya potensi nilai tambah dari sektor mineral ikutan, khususnya emas hasil sampingan dari pengolahan nikel. Berdasarkan data pemaparan terakhir, potensi produksi emas dari proses ini mencapai sekitar 60 ton.

“Emas yang dihasilkan dari proses tersebut mencapai sekitar 60 ton. Jika dikonversi dengan harga saat ini, nilainya bisa mencapai sekitar Rp420 triliun. Ini bukti bahwa pengelolaan yang baik akan memberikan manfaat besar bagi perekonomian nasional,” ungkapnya.

Ia menegaskan bahwa arah kebijakan ke depan tidak lagi memberi ruang bagi ekspor bahan mentah tanpa pengolahan di dalam negeri.

“Kita tidak ingin lagi bahan mentah dikirim ke luar negeri. Semua harus dikelola di dalam negeri agar nilai tambahnya dirasakan masyarakat Indonesia,” tutupnya.

Melalui kombinasi kebijakan hilirisasi berbasis industri dan penguatan tata kelola digital lewat Simbara, pemerintah berupaya memastikan sumber daya mineral Indonesia tidak hanya dieksploitasi, tetapi benar-benar menjadi sumber pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang lebih adil, transparan, dan berkelanjutan.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS