DPR Bentuk Panja di Tengah Ledakan Izin Tambang dan Pembukaan Hutan

Ketua Komisi IV DPR RI Siti Hediati Hariyadi (Titiek Soeharto) menyebut bencana ekologis di Sumatra sebagai akumulasi dari berbagai kerusakan lingkungan (Foto: Tangkapan Layat Youtube TVR Parlemen)

PARBOABOA, Jakarta - Rangkaian banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam sepekan terakhir kembali memperlihatkan rapuhnya fondasi ekologis Sumatera. 

Bencana yang menewaskan puluhan orang, melukai banyak warga, serta menyebabkan ratusan lainnya hilang dan ribuan mengungsi itu bukan fenomena tunggal. 

Temuan sejumlah lembaga menyebut rentetan bencana sebagai akumulasi dari kebijakan alih fungsi lahan, pembukaan hutan, dan penetrasi industri ekstraktif yang menekan hulu-hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) di pulau tersebut.

Skala krisis ini menjadi perhatian serius Komisi IV DPR RI. Dalam rapat bersama Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, Komisi IV sepakat membentuk Panitia Kerja (Panja) Alih Fungsi Lahan untuk menelusuri lebih jauh kebijakan pemanfaatan kawasan hutan yang selama ini membuka ruang bagi kerentanan ekologis. 

Ketika memaparkan urgensi panja tersebut, Ketua Komisi IV DPR RI, Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto, menegaskan bahwa masalah ini tidak muncul dalam satu-dua tahun terakhir.

“Ini terjadi karena akumulasi dari kerusakan-kerusakan hutan kita yang terjadi selama ini,” ujar Titiek mengutip siaran langsung di Youtube TVR Parlemen.

Ia juga meminta Kementerian Kehutanan segera menghentikan seluruh aktivitas penebangan pohon, baik legal maupun ilegal karena praktik tersebut terbukti merugikan rakyat. 

Banyak pohon berusia puluhan tahun yang ditebang, sementara manfaatnya hanya mengalir ke kelompok tertentu. 

Titiek bahkan meminta negara mencari dan menghukum para pelaku, terutama mereka yang menyebabkan banyaknya gelondongan kayu hanyut bersama banjir hingga memenuhi sungai dan laut. 

“Nggak usah takut apakah itu di belakangnya ada bintang-bintang, mau bintang dua, tiga, atau berapa, itu kami mendukung Kementerian supaya ditindak dan tidak terjadi lagi,” ujarnya.

Ia juga menilai bahwa penghentian aktivitas penebangan tak cukup dilakukan lewat moratorium yang hanya bersifat sementara. Menurutnya, sudah waktunya seluruh usaha pembalakan berhenti total. 

“Sudahlah, itu pengusaha-pengusaha itu cari makan tempat lain. Tanam padi kek, tanam jagung, apa yang lain-lainnya bisa dikerjakan. Jangan tebang-tebang lagi pohon kita,” tambahnya.

Jerat Industri Ekstraktif

Rapat tersebut berlangsung di tengah sorotan luas terhadap tata kelola ruang di Sumatera. Data Kementerian ESDM yang diolah JATAM menunjukkan pulau ini telah diperlakukan sebagai zona pengorbanan untuk tambang minerba. 

Tercatat 1.907 izin tambang minerba aktif dengan total luasan 2.458.469,09 hektare. Sebaran paling padat berada di Bangka Belitung (443 izin), Riau (338 izin), Sumatera Selatan (217 izin, Sumatera Barat (200 izin), Jambi (195 izin), Sumatera Utara (170 izin).

Lampung, Bengkulu, Aceh, dan Riau juga tak luput dari puluhan hingga ratusan izin lain. Jutaan hektare hutan, kebun rakyat, dan rawa berubah menjadi area galian dan jalur angkut tambang, sehingga melemahkan daya tahan DAS untuk meresapkan dan mengalirkan air secara bertahap.

Tekanan ekologi semakin diperparah dengan pembangunan 28 proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang tersebar di hampir seluruh provinsi. 

Sumatera Utara menanggung beban terbesar dengan 16 PLTA, diikuti Bengkulu (5), Sumatera Barat (3), Lampung (2), dan Riau (2). 

Dua di antaranya, PLTA Batang Toru dan Sipansihaporas, berada di jantung Ekosistem Batang Toru, kawasan yang secara ekologis sangat penting.

Analisis citra satelit per 28 November 2025 menunjukkan bahwa PLTA Batang Toru telah membuka 56,86 hektare hutan di sepanjang sungai untuk kolam, bangunan utama, jalan, dan area penunjang. 

Infrastruktur yang memotong aliran sungai ini mengubah pola sedimen dan meningkatkan risiko banjir serta longsor, terutama ketika curah hujan ekstrem bertemu dengan pengelolaan bendungan yang buruk.

Di sektor panas bumi, setidaknya 8 PLTP telah beroperasi, empat di Sumatera Utara, satu di Sumatera Barat, dua di Sumatera Selatan, dan satu di Lampung. 

Jumlah ini belum termasuk wilayah yang masih berstatus WPSPE atau WKP yang berpotensi naik kelas menjadi operasi penuh. 

Pembangunan PLTP umumnya berada di lereng gunung yang curam. Pembukaan hutan dan pengeboran di lokasi-lokasi tersebut memperbesar kerentanan tanah terhadap longsor.

Tak hanya itu, skema Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) menjadi pintu utama alih fungsi kawasan lindung. Saat ini terdapat 271 PPKH dengan total luas 53.769,48 hektare, terdiri dari:

  1. 66 izin tambang (38.206,46 ha)
  2. 11 izin panas bumi (436,92 ha)
  3. 51 izin migas (4.823,87 ha)
  4. 72 izin energi lainnya (3.758,68 ha)
  5. sisanya untuk telekomunikasi, pemerintahan, dan kebutuhan lain

PT Agincourt Resources, pengelola tambang emas Martabe di Batang Toru, merupakan salah satu pemegang PPKH dengan bukaan lahan mencapai 570,36 hektare di dalam kawasan hutan.

Seluruh tumpukan izin di hulu, pembukaan hutan di lereng gunung, dan rekayasa sungai melalui proyek energi menyebabkan kapasitas ekologis Sumatera runtuh. 

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS