Vonis Bebas Ronald Tannur dan Potret Buram Penegakan Hukum Femisida di Indonesia

Potret buram penegakkan hukum di Indonesia (Foto: PARBOABOA/Juni)

PARBOABOA, Jakarta - Putusan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang membebaskan Ronald Tannur selaku tersangka pembunuhan Dini Sera Afrianti menuai kritik luas. 

Vonis yang dibacakan pada Rabu (24/07/2024) ini dianggap sebagai cerminan buruk penanganan kasus femisida oleh penegak hukum di Indonesia.

Ketua Majelis Hakim, Erintuah Damanik, membebaskan Ronald dengan alasan bahwa bukti yang ada tidak cukup kuat untuk mendukung dakwaan jaksa penuntut umum (JPU). 

Ronald kemudian dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan yang seharusnya bisa membawa ancaman penjara hingga 12 tahun.

"Terdakwa Gregorius Ronald Tannur, putra Edward Tannur, dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan dalam dakwaan pertama, kedua, dan ketiga," ujar Erintuah saat membacakan putusan, Rabu (24/07/2024).

Kasus ini bermula dari perselisihan antara Ronald Tannur, anak mantan anggota DPR dari Fraksi PKB, Edward Tannur dengan pacarnya, Dini Sera Afriyanti, pada Oktober 2023. 

Ronald diduga menganiaya Dini dengan cara menyeret dan melindasnya dengan mobil yang kemudian menyebabkan kematian. 

Tubuh korban awalnya hendak ditinggalkan begitu saja oleh Ronald, namun akhirnya dibawa ke apartemen dan diserahkan kepada satpam dalam kondisi tak sadarkan diri. 

Teman korban membawa Dini ke rumah sakit, namun sayangnya nyawa perempuan berusia 29 tahun itu tidak terselamatkan.

Keputusan bebas hakim PN Surabaya tidak hanya mengecewakan keluarga korban, tetapi juga masyarakat yang mengharapkan keadilan bagi korban kekerasan terhadap perempuan. 

Terlebih lagi, hakim menyebut Dini meninggal akibat mengonsumsi alkohol dan tidak ada saksi yang menguatkan penyebab kematian tersebut.

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, menyatakan kekecewaannya terhadap vonis bebas tersebut. 

Ia menegaskan kasus pembunuhan Dini termasuk dalam kategori femisida, yakni pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan karena jenis kelamin atau gendernya. 

"(Masuk) kategori femisida dalam hubungan intim atau intimate partner femicide (IPF) yang masih kurang dikenal di Indonesia," ujar Siti, Jumat (26/07/2024).

Ia menekankan bahwa kasus ini adalah eskalasi dari kekerasan dalam pacaran yang dialami korban selama berhubungan dengan Ronald.

Data Komnas Perempuan tahun 2023 mencatat femisida intim menempati peringkat tertinggi dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. 

Komnas Perempuan mencatat jumlah kasus femisida tertinggi mencakup Kekerasan terhadap Istri (KTI) dengan 64 kasus, Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) dengan 33 kasus, Kekerasan Mantan Pacar (KMP) dengan 11 kasus, dan Kekerasan Mantan Suami (KMS) dengan 1 kasus.

Kekerasan ini tidak berhenti hanya pada kematian, tetapi pelaku juga kerap merusak jasad korban femisida. Hal ini menegaskan bahwa salah satu ciri khas femisida adalah sifat sadistisnya.

Femisida seringkali melibatkan tindakan sadistik terhadap korban, bahkan pembunuhan sebagaimana dilakukan Ronald. 

Siti lantas menyoroti bahwa pengadilan seharusnya memperhatikan latar belakang relasi kuasa dan riwayat kekerasan yang dialami korban, sesuai dengan Peraturan MA Nomor 3 tahun 2017. 

Ia juga mengapresiasi konstruksi tuntutan dari JPU yang telah menggabungkan pasal tuntutan ganti kerugian sebagai sebuah sebuah langkah yang jarang dilakukan.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menyatakan Kejaksaan akan mengajukan kasasi atas putusan bebas ini. 

Menurutnya, majelis hakim PN Surabaya tidak mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan oleh JPU secara utuh, termasuk bukti dari rekaman CCTV. 

Harli menegaskan alkohol tidak bisa menjadi penyebab tunggal kematian Dini tanpa adanya faktor lain seperti penganiayaan yang dilakukan Ronald.

Dengan berbagai kejanggalan dalam putusan bebas ini, masyarakat dan pihak-pihak terkait terus mendesak agar keadilan bagi Dini dapat ditegakkan.

Gelombang Kritikan

Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni, mengkritik keputusan hakim yang membebaskan pelaku. Sahroni mengungkapkan dirinya merasa malu dengan putusan tersebut.

"Saya dengan tegas mengecam vonis bebas ini. Sebagai Ketua Komisi III DPR yang bertanggung jawab atas Hukum dan HAM, saya merasa sangat malu dengan putusan tersebut," ujar Sahroni dalam pernyataannya, Rabu (24/07/2024).

Dengan adanya keputusan tersebut, Sahroni menilai penegakan hukum di Indonesia jadi tercoreng. Ia mempertanyakan sikap hakim yang membebaskan pelaku padahal sudah ada barang bukti yang jelas. 

"Bagaimana bisa pelakunya dibebaskan? Ini benar-benar di luar akal sehat dan jauh dari tuntutan jaksa. Untuk para hakim yang menangani kasus ini, Anda memalukan!" tambah Sahroni. 

Ia lantas meminta Kejaksaan Agung (KA) segera mengajukan kasasi atas putusan tersebut. Ia juga mendesak Komisi Yudisial (KY) untuk memeriksa para hakim yang mengadili kasus ini karena diduga ada kesalahan atau cacat prosedur.

"Saya mendesak Komisi Yudisial untuk memeriksa semua hakim yang menangani kasus ini. Para hakim tersebut telah menunjukkan kecacatan hukum kepada masyarakat," ungkapnya. 

Pihak Kejagung, lanjut Sahroni, juga harus segera mengajukan banding terhadap vonis bebas Ronald.

Baginya, jika terus dibiarkan, maka "seluruh masyarakat Indonesia pasti kecewa dengan proses hukum kita." 

Menurut Sahroni, hukuman terhadap pelaku sangat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. Dia juga menyoroti fakta bahwa Ronald Tannur adalah anak mantan anggota DPR.

"Kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum sedang dipertaruhkan. Jangan sampai hukum jadi tebang pilih hanya karena pelaku adalah anak siapa jadi perlakuannya berbeda. Ini sangat memuakkan dan memalukan," lanjut Sahroni.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, turut prihatin atas vonis bebas Ronald. 

Menurutnya, hakim seharusnya menerapkan unsur kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis).

"Kami sangat prihatin dengan vonis bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur. Jika melihat kasusnya dan videonya, menurut saya, majelis hakim seharusnya bisa menerapkan prinsip dolus eventualis," kata Habiburokhman, Kamis (25/07/2024).

Habiburokhman menilai unsur kesengajaan bisa diterapkan, mengingat pelaku mestinya sadar bahwa tindakan yang dilakukan dapat mengakibatkan kematian seseorang. 

"Walaupun pelaku tidak berniat membunuh, seharusnya dia sadar bahwa tindakannya bisa mengakibatkan kematian. Ini yang menjadi persoalan penting dalam putusan tersebut," ujarnya.

Waketum Partai Gerindra ini berharap jaksa dapat mengajukan banding atas kasus tersebut agar korban mendapatkan keadilan yang layak.

"Saya sangat berharap jaksa mengajukan banding dan kita semua mengawal pengadilan tingkat banding agar korban bisa mendapatkan keadilan yang setimpal," pungkasnya.

Femisida dalam Konteks Hukum

Pembebasan Ronald dari dakwaan pembunuhan memunculkan pertanyaan tentang posisi femisida dalam konteks hukum di Indonesia.

Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute (TII), Dewi Rahmawati Nur Aulia, menyoroti bahwa femisida di Indonesia diatur berdasarkan Pasal 44 UU tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU KDRT) serta berbagai pasal dalam KUHP, termasuk Pasal 338, 339, 340, 344, 345, dan 350.

Dewi menyayangkan keputusan hakim yang tidak melihat pembunuhan Dini sebagai tindak kejahatan. 

Menurutnya, vonis bebas Ronald adalah tanda bahaya bagi penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan oleh penegak hukum. 

Putusan ini menambah catatan panjang ketidakadilan bagi perempuan korban kekerasan, di mana pelaku seringkali hanya menerima hukuman ringan.

"Kultur masyarakat yang patriarkis membuat perempuan rentan mengalami kekerasan. Penegak hukum harus lebih peka terhadap perspektif gender dalam menangani kasus-kasus seperti ini," kata Dewi, Jumat (26/07/2024). 

Ia menekankan pentingnya pelatihan dan workshop dalam penanganan kasus perempuan dengan perspektif HAM dan gender.

Sementara, Peneliti dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Annisa Azzahra, berpendapat hakim seharusnya bisa menjerat Ronald sesuai dakwaan, meski ia sempat membawa korban ke rumah sakit. 

Menurutnya, tindakan Ronald dan upayanya membawa korban ke rumah sakit adalah dua hal yang terpisah.

"Di hukum dikenal istilah dolus eventualis, di mana pelaku sadar bahwa tindakannya bisa menyebabkan cedera serius atau kematian, tetapi tetap melanjutkannya," jelas Annisa. 

Ia menyinggung konten di media sosial yang menunjukkan Dini merasa terancam oleh Ronald. Hasil visum sebelumnya juga menguatkan adanya kekerasan berat terhadap Dini.

Annisa menambahkan kasus femisida seringkali tidak mendapatkan penanganan yang adil di pengadilan, karena norma-norma patriarkis masih mendominasi proses peradilan. 

Selain itu, status sosial Ronald sebagai anak mantan anggota DPR juga diduga mempengaruhi proses peradilan.

Di sisi lain, kuasa hukum korban, Dimas Yehamura, menyatakan akan melaporkan hakim yang memutus bebas Ronald ke Mahkamah Agung (MA). Ia menilai putusan tersebut tidak memberikan keadilan bagi korban.

"Mencari keadilan di Indonesia sangat sulit. Bahkan ketika kematian korban sudah jelas, pelaku masih bisa dibebaskan," ungkap Dimas.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS