PARBOABOA, Jakarta - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) menyatakan penolakannya terhadap draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan untuk menjadi RUU Inisiatif DPR RI.
“Kami Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim menyatakan menolak draf Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan untuk menjadi Rancangan Undang-Undang Inisiatif DPR RI,” ujar Ansory Siregar mewakili F-PKS ketika membacakan pandangan Fraksi PKS terhadap RUU tentang Kesehatan dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-16 Masa Persidangan III Tahun Sidang 2022-2023 di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (14/02/2023).
Fraksi PKS menilai bahwa penyusunan RUU tentang Kesehatan harus dilakukan secara menyeluruh, teliti, dan melibatkan pemangku kepentingan terkait sehingga tidak ada pengaturan yang luput dan kontradiksi agar nantinya tidak menimbulkan kontroversi dan polemik.
Adapun catatan draf RUU Kesehatan yang pertama adalah fraksi PKS berpendapat bahwa negara berkewajiban untuk memenuhi salah satu hak dasar masyarakat, yaitu mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas. Sehingga, perbaikan layanan kesehatan yang berkualitas harus menjadi prioritas dalam penyusunan draf RUU Kesehatan.
“Kedua, F-PKS berpendapat penyusunan RUU Kesehatan yang dibahas dengan metode omnibus tidak boleh menyebabkan kekosongan pengaturan, kontradiksi pengaturan, dan juga harus memastikan partisipasi bermakna dalam penyusunan, mengingat banyaknya undang-undang yang akan terdampak dalam penyusunan RUU tentang Kesehatan tersebut,” paparnya”
“Ketiga, F-PKS berpendapat bahwa ada pengaturan dalam beberapa UU yang dihapuskan dalam draf RUU Kesehatan ini. Sehingga, hal tersebut menimbulkan kekosongan hukum,” tuturnya.
Kemudian, yang keempat adalah F-PKS berpendapat dimunculkannya Pasal 395 pada RUU Kesehatan yang berbunyi “Dalam hal pelaksanaan kegiatan penanggulangan wabah mengakibatkan kerugian harta benda pada masyarakat, Pemerintah Pusat harus memberikan ganti rugi”, merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab negara terhadap rakyat di masa sulit yaitu ketika wabah melanda.
Lantaran, dalam kondisi tersebut sangat mungkin rakyat akan kesulitan mengakses kebutuhan dasar, sehingga ganti rugi tidak akan menyelesaikan masalah rakyat saat itu.
“Frasa ganti rugi memungkinkan terjadinya penundaan atau pemenuhan kebutuhan yang tidak mencukupi, padahal saat itu penduduk yang kehilangan mata pencaharian tidak dapat membeli kebutuhan pokok. Selain itu, klausul tersebut juga beresiko multi-tafsir. Apakah kehilangan mata pencaharian atau penurunan pendapatan keluarga termasuk dalam kerugian harta benda? Jika ditafsirkan termasuk, maka negara akan menanggung beban yang berkali-kali lipat besarnya,” jelasnya.
Lalu yang kelima ialah F-PKS berpendapat bahwa penugasan pemerintah kepada BPJS yang merupakan badan hukum publik yang bersifat independen, maka harus disertai dengan kewajiban pemerintah dalam pendanaannya.
“Keenam, F-PKS berpendapat, sangat tidak layak memasukkan klausul Asuransi Kesehatan komersial yang disandingkan dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional. Asuransi komersial seharusnya memiliki aturan tersendiri yang tidak dihubungkan dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional. Ketujuh, F-PKS berpendapat, terdapat beberapa konsepsi yang kurang tepat dalam RUU Kesehatan yang timbul dari keterburu-buruan dan kurang memperhatikan partisipasi masyarakat,” jelasnya.
“Kedelapan, F-PKS berpendapat bahwa ada kerawanan dalam draf RUU Kesehatan pasal 236 mengenai tenaga medis dan tenaga Kesehatan warga negara asing dapat melakukan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia dalam rangka investasi atau non investasi,” ungkapnya.
Ansory melanjutkan, untuk yang kesembilan, F-PKS berpendapat bahwa di semua negara pengaturan tentang profesi kesehatan diatur dalam UU tersendiri.
Oleh karena itu, seharusnya draf RUU Kesehatan ini tidak menghapus materi pengaturan profesi-profesi tenaga medis dan tenaga kesehatan sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan.
“Kesepuluh, F-PKS berpendapat bahwa anggaran kesehatan harus dialokasikan secara memadai untuk memastikan bahwa negara memberi layanan kesehatan berkualitas yang aksesibel bagi masyarakat Indonesia,” ucapnya.
Terakhir, F-PKS berpendapat, RUU Kesehatan ini berpotensi mengarahkan pengelolaan kesehatan rakyat Indonesia kepada mekanisme pasar yang cenderung menguntungkan pemilik modal.