Penghentian Sementara PT TPL Dipersoalkan: Walhi Desak Audit Total hingga Pencabutan Izin

Walhi desak audit total hingga pencabutan izin operasional PT TPL imbas bencana di Sumatra (Foto: dok. PT TPL)

PARBOABOA, Jakarta — Keputusan pemerintah menghentikan sementara seluruh proses produksi PT Toba Pulp Lestari Tbk (INRU) pada Kamis (11/12/2025) menuai respons berlapis dari tokoh masyarakat hingga organisasi lingkungan hidup. 

Langkah tersebut dinilai belum cukup dan harus menjadi pintu masuk bagi audit menyeluruh terhadap aktivitas perusahaan, termasuk peninjauan ulang perizinan dan penyelesaian konflik sosial yang telah berlangsung lama.

Anggota Komisi XIII DPR RI dari Fraksi PKB, Mafirion, menyatakan dukungannya terhadap penghentian sementara operasional TPL. Namun ia menegaskan bahwa kebijakan tersebut tidak boleh berhenti sebagai langkah administratif semata. 

Menurutnya, pemerintah wajib melakukan audit komprehensif terhadap seluruh aktivitas perusahaan, terutama terkait dugaan eksploitasi hutan berlebihan dan dampaknya terhadap lingkungan.

“Saya mendukung langkah penghentian sementara. Namun pemerintah wajib melakukan audit menyeluruh terhadap PT TPL. Bencana banjir dan longsor di banyak daerah adalah konsekuensi dari eksploitasi hutan yang berlebihan,” ujar Mafirion mengutip laman resmi partai PKB, Jumat (12/12/2025).

Mafirion menempatkan persoalan TPL bukan hanya dalam kerangka lingkungan, tetapi juga kemanusiaan. Penghentian operasional ini terjadi di tengah proses pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) oleh Kementerian Hak Asasi Manusia untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM terhadap Masyarakat Adat Tano Batak. 

Sebelumnya, pada 9 September 2025, perwakilan masyarakat adat bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil telah menyampaikan laporan kepada Komisi XIII DPR RI terkait dugaan perampasan tanah adat, intimidasi, serta konflik berkepanjangan.

“Persoalan TPL bukan hanya soal lingkungan. Ada aspek sosial dan kemanusiaan yang harus dituntaskan. Negara tidak boleh membiarkan masyarakat adat terus menjadi korban,” kata Mafirion.

Ia juga meminta pemerintah tidak tebang pilih dalam melakukan evaluasi perizinan. Menurutnya, seluruh izin yang berkaitan dengan kawasan hutan dan daerah aliran sungai, baik perkebunan sawit, pertambangan, maupun proyek lainnya harus ditelaah ulang. 

“Semua izin yang berkaitan dengan hutan dan sungai harus ditelaah ulang. Kita harus memastikan pengelolaan sumber daya alam tidak mengorbankan keselamatan masyarakat,” ujarnya.

Sorotan tajam juga diarahkan pada konsep Hutan Tanaman Industri (HTI) yang diterapkan TPL. Mafirion menilai praktik penebangan hutan alam untuk digantikan tanaman sejenis seperti eucalyptus memperparah deforestasi. 

“Pemberian konsesi HTI harus dievaluasi total. Kawasan yang masih bersengketa dengan masyarakat, baik tanah adat maupun tanah perorangan, harus diselesaikan agar tidak memicu konflik berkepanjangan,” jelasnya. 

Ia menekankan bahwa HTI seharusnya fokus pada rehabilitasi lahan gundul dan lahan kritis, bukan menebang hutan alam yang masih utuh, terutama di kawasan sensitif seperti Danau Toba.

Serupa, Ketua DPRD Kabupaten Samosir, Nasip Simbolon, telah menandatangani lima poin rekomendasi yang secara tegas meminta pencabutan izin konsesi dan operasional PT TPL di wilayah Samosir. 

DPRD meminta Bupati Samosir mengusulkan pencabutan tersebut kepada Menteri Kehutanan dan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia.

Selain pencabutan izin TPL, DPRD Samosir juga mendorong pembentukan satuan tugas terpadu untuk inventarisasi, monitoring, dan evaluasi izin pengelolaan hutan, penyusunan regulasi daerah terkait persyaratan perizinan kehutanan, serta pengembalian tanah adat dan tanah ulayat yang masuk kawasan hutan lindung atau hutan negara. 

Evaluasi juga diminta terhadap izin perhutanan sosial bagi kelompok hutan kemasyarakatan (HKm), khususnya di kawasan rawan bencana.

Dalam konteks ini, DPRD menyoroti keberadaan koperasi yang mengelola kawasan hutan lindung melalui skema perhutanan sosial. 

Salah satunya Koperasi Parna Jaya Sejahtera (KPJS), yang mengantongi izin mengelola 688 hektare hutan di lima desa, yakni Ambarita, Unjur, Martoba, Garoga, dan Sialagan/Pinda Raya. 

Warga Kenegerian Ambarita mendesak pencabutan izin tersebut karena diduga terjadi pelanggaran standar operasional, termasuk pembukaan jalan dan perusakan pohon pinus di kawasan pegunungan.

Dukungan terhadap rekomendasi DPRD Samosir juga datang dari tokoh gereja. Pdt Dr Viktor Tinambunan, MST, yang menyebut keputusan DPRD sebagai “angin segar” bagi masa depan Tano Batak. 

Sejumlah tokoh adat dan masyarakat bahkan menilai penghentian sementara operasional TPL hanya bersifat kosmetik. 

“Penghentian sementara ini sama saja hanya untuk meredam gejolak sosial yang kini kian meningkat. Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup wajib membubarkan atau menutup operasional secara permanen,” ujar seorang Raja Bius di Samosir. 

Ia menilai kerusakan ekologis yang diduga dipicu aktivitas perusahaan telah menelan korban jiwa dalam skala luas di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh, sehingga negara berkewajiban menegakkan keadilan dan meminta pertanggungjawaban pihak-pihak terkait.

Tanggapan WALHI

Dari sisi organisasi lingkungan hidup, kritik paling keras disampaikan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara. 

Direktur Eksekutif Walhi Sumut, Rianda Purba, menilai penghentian sementara operasional TPL tidak mencerminkan komitmen serius pemerintah untuk melakukan audit lingkungan atau peninjauan ulang perizinan. 

“Dan bukan upaya serius untuk mengevaluasi kerusakan hutan akibat operasional PT TPL,” ujar Rianda dalam keterangan tertulis yang diterima Jumat (12/12/2025).

Menurut Rianda, kebijakan tersebut lebih merupakan respons atas kemarahan warga yang menjadi korban banjir dan longsor. 

Ia mendesak Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni untuk menjelaskan secara terbuka alasan penghentian sementara, durasi kebijakan tersebut, serta langkah konkret yang dilakukan pemerintah di area konsesi TPL selama masa penangguhan. 

“Termasuk berapa lama penghentian itu dan apa yang dilakukan Kementerian Kehutanan di area TPL selama masa penghentian tersebut,” katanya.

PT TPL sendiri menyatakan penghentian operasional dilakukan setelah menerima surat Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Kehutanan mengenai penutupan sementara akses penatausahaan hasil hutan pada wilayah PBPH di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. 

Selain itu, perusahaan juga menerima surat dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sumatera Utara tertanggal 10 Desember 2025 yang meminta penghentian penebangan dan pengangkutan kayu eucalyptus dari budidaya, termasuk PKR, “sebagai langkah kewaspadaan terhadap dampak banjir dan cuaca ekstrem.”

Namun hingga kini, pemerintah daerah belum dapat memastikan durasi penghentian tersebut. 

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sumatera Utara, Heri Wahyudi Marpaung, hanya merujuk pada surat Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari bernomor S.459/PHL/IPHH/PHL.04.04/B/12/2025 yang menekankan tingginya dugaan praktik illegal logging dan pencurian kayu. 

Surat tersebut juga meminta evaluasi pola pemanfaatan kayu tumbuh alami, penggunaan kawasan hutan oleh pemegang izin, serta penghentian layanan SIPUHH hingga ada kebijakan lanjutan.

Rangkaian sikap dari DPR, DPRD, tokoh adat, hingga organisasi lingkungan ini memperlihatkan bahwa penghentian sementara operasional PT TPL belum dianggap sebagai solusi. 

Desakan kini mengarah pada audit total, evaluasi perizinan, pengembalian hak masyarakat adat, serta penegakan hukum yang dinilai selama ini absen dalam mencegah krisis ekologis berulang.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS