PARBOABOA, Jakarta - Sensitivitas pemerintah dan seluruh penyelenggara negara terhadap persolan bangsa, terutama masalah yang disebabkan karena krisi ekologi, tampaknya perlu dirangsang.
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Zenzi Suhadi mengatakan, maraknya kasus ekologi yang terjadi saat ini, ditengarai karena pemerintah lalai menjalankan tanggung jawabnya terhadap kebijakan-kebijakan berbasis keutuhan lingkungan.
"Kalau ada saja penyelenggara negara ini yang memahami persolan rakyat, dan berkomitmen menyelesaikannya, mungkin konferensi ini tidak kita selenggarakan pada hari ini," kata Zenzi dalam Konferensi Orang Muda Pulihkan Indonesia yang berlangsung di Rafflesia Ballroom, Balai Kartini, Jakarta, Sabtu (25/11/2023).
Dalam upaya memberikan kesadaran kepada pemerintah, Zenzi berbagi kisah tentang seorang anak, yang 13 tahun lalu ia temui dalam sebuah demonstrasi.
Anak tersebut, yang saat itu berusia sekitar 3 tahun, digendong oleh kakeknya. Kisah tragis keluarganya terungkap, ternyata ayahnya sedang dipenjara. Tak hanya bapaknya, sang kakek juga pernah dipenjara.
Bapak dan anak itu dibui karena menggarap lahan yang awalnya merupakan tanah warisan, tetapi dalam perjalan waktu dimiliki tanpa keterangan yang jelas oleh sebuah perusahaan raksasa.
"Saya bertemu dengan seorang anak, usianya 3 tahun, saat itu sedang digendong oleh kakeknya di tengah demonstrasi," cerita Zenzi.
Ia melanjutkan, "bapaknya dipenjara karena menggarap tanah warisan. Mereka hidup di tanah yang dulu merupakan sawah, namun kini telah menjadi bagian dari perkebunan besar."
Dengan penuh harap, Zenzi menyampaikan pesan kepada pemimpin baru nanti agar hal yang sama tidak terulang kembali. Ia menegaskan, "ketika ada orang muda bicara lantang menolak regulasi, menolak kebijakan, janganlah dipenjara."
Zenzi menekankan perlunya mendengarkan suara generasi muda yang mungkin menjadi pemimpin di masa depan, agar mereka dapat berkontribusi tanpa terhalang oleh hukuman.
Ekonomi Nusantara
Sementara itu, terkait kondisi ekonomi yang tidak ramah ekologi, Zenzi mengatakan, selama enam dekade terakhir, kekayaan ekosistem Indonesia telah diamputasi oleh ekonomi esktraktif.
Ekonomi yang dibangun dari komoditas dengan deposit yang akan habis seperti batubara, nikel, dan emas itu, kata Zenzi menimbulkan pertanyaan serius tentang kelangsungan ekonomi tanah air.
"Ketika deposit itu habis, ekonominya dari mana. Ekonomi belum tentu ada, tetapi bencana sudah pasti diwariskan ke generasi berikutnya," ungkap Zenzi.
Zenzi juga menyoroti ketergantungan Indonesia pada ekonomi horizontal yang rakus akan lahan. Menurut Zenzi Indonesia adalah negara yang populasinya menjadi dua kali lipat setiap 40 tahun.
Artinya, demikian Zenzi melanjutkan, kalau kita mau petani tetap ada di Indonesia, negara ini setiap 40 tahun harus menambah luas lahannya dua kali lipat.
Karena itu ia menegaskan, "jika kita ingin mengatasi persoalan lingkungan dan keterbatasan lahan yang merugikan rakyat, kita harus memulainya dengan mengubah paradigma ekonomi."
Zenzi mengatakan, mengubah paradigma ekonomi dapat dilakukan dengan mereformasi sistem ekonomi, dari ekonomi ekstraktif menjadi ekonomi nusantara.
Konsep ekonomi nusantara menurut Zenzi, merupakan langkah fundamental untuk mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Konsep ini juga berlandaskan prinsip beradaptasi dengan alam tanpa merusak atau memodifikasinya.
Zenzi bilang, "melalui ekonomi nusantara masyarakat akan diedukasi untuk membentuk unit kehidupan dengan memanen hasil alam dan mengenali bentuk, corak serta ekosistem alamnya."
Zenzi menyayangkan, selama ini kosentrasi negara berpusat pada ekonomi ekstraktif dan mengabaikan konsep ekonomi nusantara yang dalam temuan Walhi ternyata keuntungannya jauh lebih besar.
"Ini adalah ekonomi yang tidak terakuntansi dalam sistem negara dan dianggap tidak produktif. Wilayah ini kemudian diarahkan untuk perkebunan kelapa sawit, hutan tanam industri, tambang, dan sejenisnya" kata Zenzi.
Namun demikian, Zenzi menegaskan konsep ekonomi nusantara bukanlah penilaian bahwa pembangunan ekonomi kita ngawur atau gagal, tetapi sebagai pengakuan bahwa pembangunan ekonomi dirumuskan dengan kegagalan memahami potensi alam dan potensi rakyatnya.
Karena itu ia mengingatkan, ke depan, ekonomi nusantara harus menjadi road map untuk mencapai pembangunan ekonomi berkelanjutan, yang tidak mengorbankan anak cucu dan kelestarian lingkungan.
"Ekonomi nusantara adalah panduan bagi negara ini jika kita ingin kembali pada prinsip kesejahteraan rakyat dan kelestarian lingkungan," tutupnya.
Ekonomi Berkeadilan
Di forum yang sama, calon presiden (capres) Anies Baswedan, mengungkapkan kesamaan visinya dengan Walhi dalam membangun Indonesia dengan mengupayakan terciptanya keadilan ekonomi.
"Kita memiliki konsen yang sama. Kita menginginkan agar Indonesia memiliki gagasan yang menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," kata Anies.
Anies membaca konsep ekonomi nusantara yang diusung oleh Walhi sebagai upaya untuk mengakhiri ketimpangan ekonomi yang terjadi di Indonesia saat ini dalam berbagai variabel.
"Hari ini kita menyaksikan ketimpangan-ketimpangan antar variabel, kota besar dengan kota yang kecil, antara kota dengan desa. Kami ingin agar kesetaraan kesempatan terjadi dengan sesungguhnya," tegas mantan Gubernur DKI itu.
Anies juga mengingatkan efek ekonomi ekstraktif yang sedang terjadi di Indonesia saat ini. Ia mengatakan, akibatnya akan mempengaruhi banyak aspek termasuk politik.
"Aspek politik pada negara sistem ekonomi ekstraktif bersifat oligarkis, dengan partisipasi politik yang terbatas dan adanya pemberangusan hak untuk kebebasan," ujarnya.
Berkaca pada kondisi itu, melalui agenda perubahan, Anies ingin mewujudkan ekonomi yang lebih inklusif.
Ia mengatakan, "sistem politik pada negara dengan sistem ekonomi inklusif bersifat demokratis, dengan partisipasi politik yang luas. Ada perlindungan hak kebebasan dan transparansi dalam setiap tindakan pemerintahan."
"Kita berkeinginan di dalam garis perubahan itu membawa kebijakan-kebijakan negara menjadi kebijakan negara yang inklusif agar negeri ini tidak menjadi negara yang gagal tetapi negara yang berhasil," tambahnya.
Sementara itu, dalam upaya menciptakan keutuhan ekologi, Anies Baswedan mengingatkan pentingnya pembangunan berkelanjutan.
Ia mengatakan, "Kalau tidak memikirkan keberlanjutan, generasi ke depan tidak akan mungkin merasakan apa yang kita rasakan. Kalau ekonominya menghabisi ekologi, mau dapat apa lagi ke depan."
Dalam pandangan Anies, ekonomi dan ekologi memiliki akar yang sama, yang disebut dengan konsep oikos nomos' dan oikos logos.
Konsep ini menunjukkan hubungan intrinsik antara ekonomi dan ekologi, di mana pembangunan ekonomi harus seiring dengan pelestarian lingkungan," katanya.
Perkuat Pangan
Anies Baswedan menambahkan, untuk menciptkan keadilan ekonomi di tengah-tengah masyarakat, pihaknya juga akan melakukan penguatan pangan.
Menurutnya, penguatan pangan penting mengingat kondisi petani hari ini yang semakin tidak berdaya.
Ia mengatakan, "saat ini kita perhatikan, teman-teman di pedesaan pasti tahu persis, produksi pertanian kita penuh dengan ketidakpastian."
"Menjadi petani itu pupuk disuplai tidak pasti, yang disubsidi lebih rumit, banyak sekali problem di situ. Di sisi lain, kita yang berada di ujung, sebagai konsumen, sering mendapat harga yang cukup tinggi," ungkap Anies.
Dalam menghadapi masalah tersebut, Anies Baswedan menegaskan bahwa fokusnya ke depan tidak akan mengarah pada konsep food estate sebagaimana yang dilakukan pemerintah saat ini.
Ia menjelaskan, pendekatan food estate dianggap tidak sesuai karena negara menguasai produksi secara sentralistik, yang dapat memunculkan ketidakpastian dan ketidaksetaraan.
"Kita ingin kontrak farming itu dibangun untuk Indonesia ke depan. Mengapa food estate bukan menjadi opsi? Karena ini adalah pendekatan di mana negara menguasai produksi secara sentralistik," katanya.
Anies Baswedan menyoroti, food estate berpotensi memberikan kepastian hasil tani hanya kepada mereka yang berada di sekitar kawasan tersebut, yang pada akhirnya menjadikan produksi pertanian berbasis korporasi.