PARBOABOA, Jakarta - Sindikat pemalsuan pelat dinas Polri terungkap setelah mendapatkan informasi dari masyarakat setempat yang mencurigai adanya praktik tersebut.
Kasubdit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya, AKBP Samian, mengonfirmasi bahwa tiga dari empat tersangka sudah berhasil diamankan.
Mereka adalah YY (44), seorang pegawai negeri sipil (PNS), HG (46), pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), dan seorang karyawan swasta dengan inisial PAW. Sementara itu, satu tersangka lainnya, IM, masih dalam pengejaran.
Saat ini, ketiga tersangka yang sudah ditangkap berada di Rutan Polda Metro Jaya, dan mereka dijerat dengan Pasal 263 KUHP juncto Pasal 56 KUHP, dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara.
Menurut Samian, pelaku mengaku bisa menerbitkan pelat khusus atau rahasia yang dikeluarkan Polri. Namun, setelah ditelusuri melalui sistem electronic registration and identification (ERI) Korlantas Polri, STNK tersebut tidak terdaftar.
Modus Operandi
Direktur Registrasi dan Identifikasi (Dirregident) Korlantas Polri Brigjen, Yusri Yunus mengungkapkan bahwa pelaku mempunyai tiga modus operandi dalam kasus tersebut.
Modus operandi tersebut, termasuk pembuatan STNK yang benar-benar palsu dan manipulasi STNK yang sudah habis masa berlaku.
Kemudian, para pelaku menjual pelat palsu ini dengan harga puluhan juta rupiah, mencapai angka fantastis Rp55 juta hingga Rp75 juta per pelat.
Yusri menegaskan bahwa pembeli pelat palsu ini umumnya berasal dari kalangan masyarakat ekonomi menengah ke atas.
Sehingga, kendaraan mewah yang menggunakan pelat nomor khusus patut dicurigai, karena syarat penggunaan pelat khusus adalah kendaraan dinas.
Untuk itu, Yusri meminta masyarakat tidak terlibat kasus jual beli pelat palsu tersebut dan menegaskan baik pembuat maupun pembeli pelat palsu akan dipidana.
Yusri mengimbau masyarakat untuk tidak terlibat dalam jual beli pelat palsu tersebut.
Ia juga meminta pihak kepolisian agar praktek pemalsuan pelat dinas Polri dapat dihentikan, dan siapa pun yang terlibat dalam kasus ini akan dikenakan sanksi hukum.
Editor: Wenti Ayu