Silang Sengkarut Izin Pendirian Rumah Ibadah, SETARA Institute Usul Penghapusan Rekomendasi FKUB

SETARA Institute usul penghapusan rekomendasi FKUB untuk pendirian rumah ibadah (Foto: PARBOABOA/Defri)

PARBOABOA, Jakarta - Pembangunan rumah ibadah di Indonesia kerap mengalami hambatan serius beberapa waktu terakhir.

Laporan mengenai Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) yang dirilis SETARA Institute pada 2023, menyebut sebanyak 65 tempat ibadah mengalami berbagai bentuk gangguan. 

Gangguan tersebut meliputi penolakan pembangunan, pembatasan, pelarangan, hingga penyegelan tempat ibadah.

Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya, di mana hanya 50 tempat ibadah yang mengalami gangguan sepanjang 2022.

Jika merunut data SETARA Institute pada tahun 2007 hingga 2023, jumlah gangguan terhadap tempat ibadah dan peribadatan telah mencapai total 636 kasus.

Di antara tempat ibadah yang terkena dampak, gereja menjadi yang paling sering mengalami gangguan dengan 199 kasus, diikuti oleh masjid dengan jumlah 133 kasus. 

Komisioner Komnas HAM, Beka Hulung Hapsara pada Kamis (05/03/2020) lalu menyebut, tindakan diskriminatif tersebut terjadi karena efek mayoritarianisme.

“Fenomena ini berkaitan dengan mayoritarianisme, yaitu situasi di mana agama mayoritas menggunakan kekuatannya untuk menekan atau memaksa agama minoritas untuk tunduk,” jelasnya.

Meski demikian, tak dapat dipungkiri, silang sengkarut pembangunan rumah ibadah juga disinyalir sebagai akibat dari rumitnya sektor perizinan.  

Selama tiga setengah tahun terakhir, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas telah secara konsisten mengungkapkan komitmennya untuk menyederhanakan proses pengajuan izin pendirian rumah ibadah. 

Dalam Rancangan Peraturan Presiden tentang Kerukunan Umat Beragama (Raperpres KUB), Menag mengusulkan penghapusan rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai syarat pendirian rumah ibadah. 

Dengan perubahan ini, syarat rekomendasi hanya akan berasal dari Kementerian Agama (Kemenag) melalui Kantor Wilayahnya.

"Untuk menegaskan kehadiran pemerintah, kami memutuskan rekomendasi untuk pendirian rumah ibadah cukup dari Kementerian Agama saja, sementara rekomendasi dari FKUB dihapus," ungkap Yaqut, Sabtu (03/08/2024).

Ia menjelaskan, hambatan dalam pendirian rumah ibadah sering kali terletak pada rekomendasi FKUB. Oleh karena itu, rekomendasi sedianya hanya diberikan oleh Kemenag.

Yaqut menegaskan komitmennya untuk mempermudah proses pendirian rumah ibadah. Adapun aturan terbaru mengenai pendirian rumah ibadah akan segera diterbitkan.

“Kemarin, kami bersama Pak Menko Polhukam dan Pak Mendagri telah mencapai kesepakatan untuk menjadikannya sebagai perpres," pungkas Yaqut.

Dengan begitu, lanjutnya, mereka berharap pendirian rumah ibadah tidak akan mengalami kesulitan lagi dalam waktu dekat.

Meski demikian, hingga kini, Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 9 dan 8 tahun 2006 (PBM 2006) masih menyertakan dua bentuk rekomendasi, yakni Kantor Kemenag dan FKUB.

Gagasan tersebut mendapat dukungan Wakil Presiden, Ma’ruf Amin, yang meminta agar rekomendasi FKUB dipertahankan karena dianggap penting sebagai persetujuan dari pemuka-pemuka agama.

“Menteri Agama tidak bisa sembarangan mengubah aturan. Karena, peraturan tentang pendirian rumah ibadah seharusnya merupakan hasil kesepakatan dari berbagai majelis agama,” ungkapnya, Rabu (07/08/2024).

Ma’ruf menegaskan bahwa aturan yang diterapkan saat ini telah dirumuskan melalui proses yang matang bersama Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri. 

Sebagai bagian dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Ma'ruf menyebut bahwa dirinya sungguh memahami keseluruhan proses terkait.

“Prosesnya tidak terjadi begitu saja. Kesepakatan ini dibuat selama empat bulan melalui sebelas kali pertemuan. Saya ingat betul karena saya terlibat langsung dalam penyusunannya," ujarnya.

Kesepakatan yang lahir dari diskusi-diskusi panjang inilah yang kemudian dituangkan dalam peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.

Ma'ruf juga menekankan bahwa setiap aturan yang dirumuskan memiliki latar belakang yang mendalam, sehingga peraturan tersebut tidak boleh diubah sembarangan.

Desakan SETARA Institute

Persoalan izin pembangunan rumah ibadah juga mendapat perhatian SETARA Institute. Sebagai lembaga yang menaruh perhatian terhadap KBB, SETARA mengajukan lima sikap.

Pertama, mereka mengapresiasi langkah progresif pemerintah, khususnya Kemenag yang menghapus syarat rekomendasi FKUB dalam proses pendirian rumah ibadah. 

Langkah ini dinilai lebih sesuai dengan tata kebhinekaan Indonesia yang kaya akan berbagai identitas agama dan kepercayaan. 

SETARA Institute telah lama mendorong penyederhanaan proses perizinan dalam laporan tahunan KBB. 

Karena itu, "pemerintah sebaiknya juga menghapus ketentuan-ketentuan diskriminatif lainnya yang ada dalam PBM 2 Menteri tahun 2006," tulis SETARA dalam keterangan resmi, Sabtu (10/08/2024).

Di samping itu, lanjut keterangan tersebut, hambatan dalam perizinan pendirian rumah ibadah tidak hanya terletak pada rekomendasi FKUB. 

Syarat administratif seperti dukungan 90 orang Jemaat dan 60 orang di luar Jemaat juga membatasi kelompok minoritas. 

SETARA menilai, "formula 90/60 jelas menghambat hak konstitusional untuk beribadah sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (2)."

Kedua, SETARA Institute menilai, dengan rencana penghapusan syarat rekomendasi tersebut, FKUB lebih mengoptimalkan perannya dalam membangun dan memelihara kerukunan antar umat beragama. 

"FKUB seharusnya fokus pada edukasi dan kampanye toleransi, memperbanyak pertemuan lintas agama, serta mitigasi dan resolusi konflik, termasuk mediasi dalam kasus penolakan peribadatan dan pendirian tempat ibadah," pungkas mereka. 

Ketiga, dalam konteks kebhinekaan dan heterogenitas Indonesia, SETARA menilai FKUB belum optimal dalam menangani pelanggaran KBB, khususnya gangguan terhadap tempat ibadah. 

Dengan demikian, diperlukan transformasi kelembagaan dan peran FKUB, termasuk pergeseran dari asas proporsionalitas ke asas inklusi.

Selain itu, rekrutmen anggota yang lebih terbuka dan akuntabel, serta perluasan peran tokoh agama perempuan dengan kebijakan afirmatif juga diperlukan untuk mengoptimalkan peran FKUB.

Keempat, SETARA Institute mendesak percepatan kebijakan progresif dalam Raperpres FKUB yang lebih komprehensif dan berpihak pada jaminan hak KBB. 

"Janji pemerintah untuk mempermudah pendirian tempat ibadah kelompok minoritas dan meninjau PBM 2 Menteri tahun 2006 harus segera direalisasikan," tegas keterangan tersebut.

Kelima, SETARA Institute menilai pernyataan Wakil Presiden yang menolak penghapusan syarat rekomendasi FKUB sebagai sikap yang cenderung mendukung aspirasi kelompok mayoritas dan kurang sesuai dengan prinsip kebhinekaan Indonesia. 

Pernyataan tersebut dapat dipahami sebagai pandangan pribadi. Namun demikian, jika disampaikan dalam kapasitasnya sebagai Wakil Presiden, hal tersebut mencederai kebhinekaan.

"Justru mengungkapkan adanya ketidaksepahaman dalam paradigma kebhinekaan, serta ego sektoral antar institusi, yang telah berkontribusi pada stagnasi KBB selama dua dekade terakhir."

Sekilas tentang KBB

Diskursus kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) sesungguhnya telah berlangsung sejak lama dan berusia sama tuanya dengan deklarasi hak asasi manusia (HAM) Universal.

KBB dinilai sebagai hak fundamental masyarakat yang tidak bisa diganggu gugat oleh negara sebagaimana termuat dalam ketentuan Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999. 

Pada pasal 22 ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang memiliki "kebebasan untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaan" itu.

Ketentuan dalam Undang-Undang tersebut memiliki keserupaan dengan substansi pasal 18 Kovenan Internasional PBB tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

Di dalamnya tertulis hak setiap individu untuk berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini meliputi kebebasan untuk memilih atau mengadopsi agama atau kepercayaan yang diyakininya. 

Selain itu, termuat kebebasan individu untuk mengekspresikan keyakinannya, baik secara pribadi maupun dalam komunitas, di depan umum maupun secara pribadi, melalui ibadah, kepatuhan, praktik, dan pengajaran.

Implikasi langsung dari terjaminnya hak kebebasan beragama bagi setiap individu adalah terciptanya kerukunan antar umat beragama. 

Tri Yuliana Wijayanti (2019) menyebut, perdamaian dan kerukunan hanya dapat tercapai apabila setiap kelompok agama, selain menjaga identitas mereka sendiri, juga menjaga rasa hormat terhadap identitas agama lain dengan menghormati kebebasan beragama.

Negara juga memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak tersebut dan memastikan bahwa setiap warga negara dapat beribadah dalam suasana yang aman dan tenteram.

Namun, situasi toleransi keagamaan di Indonesia sering kali menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. 

Ketika pemeluk agama mayoritas memiliki kekuasaan, sering kali pemuka agama mayoritas cenderung menutup mata terhadap penindasan yang dilakukan oleh umatnya terhadap agama minoritas. 

Masalah seperti proses izin pendirian rumah ibadah yang dipersulit, serta ancaman dan tindakan kekerasan terhadap individu yang ingin beribadah, mencerminkan tantangan besar dalam menjamin kebebasan beragama.

Di beberapa daerah, pengajuan izin untuk mendirikan rumah ibadah seringkali menjadi proses yang rumit dan penuh hambatan. 

Bahkan, upaya untuk menghadiri tempat ibadah seperti gereja bisa dihalangi dengan kekerasan atau ancaman pembunuhan. 

Situasi ini menggambarkan bagaimana intoleransi dan diskriminasi masih menjadi masalah serius, sehingga diperlukan reformasi dan tindakan yang lebih efektif untuk melindungi hak-hak beragama semua warganya.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS