PARBOABOA, Jakarta - Pekerja rumah tangga (PRT) asal Pemalang, Jawa Tengah, Siti Khotimah, disebut tak boleh keluar apartemen oleh majikannya selama berbulan-bulan. Siti juga mendapat siksaan dari majikannya yang merupakan pasangan suami istri, So Kasander dan Metty Kapantow.
Fakta itu diungkapkan Ahmad Effendi, seorang petugas keamanan atau satpam di Apartemen Simprug Indah di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (12/6/2023).
Effendi melihat majikan laki-laki Khotimah, So Kasander turun ke lobi apartemen Simprug Indah bersama dengan seorang laki-laki, dua perempuan dan anak kecil.
Salah satu perempuan yang dibawa itu adalah Khotimah. Menurut Effendi, kondisi Khotimah ketika itu sangat memprihatinkan.
"Waktu itu saya melihat ada wanita rambutnya sebahu, tinggi kurang lebih 160 centimeter, itu jalannya terbata-bata, kayak orang kesakitan," ujarnya.
Tidak hanya itu, dalam kesaksiannya, Effendi menyebut, majikan perempuan Khotimah, Metty Kapantow juga kerap menitip pesan untuk menjaga PRT-nya agar tak boleh keluar dari kawasan apartemen Simprug Indah. Metty hanya membolehkan satu PRT saja yang keluar apartemen yakni Epi.
"Bu Metty bilang, Pak, saya mau liburan ke Bali, itu pembantu saya kalau ada yang mau keluar tolong ditahan," jelas Effendi menirukan perintah Metty kepadanya.
Yang boleh keluar dari apartemen itu hanya Epi, imbuh Effendi.
Sebelumnya, seorang pekerja rumah tangga, Siti Khotimah dipukul, ditendang, dikerangkeng dalam kandang anjing oleh majikannya. Selain itu, tangan Khotimah juga diborgol dan kakinya dirantai. Khotimah juga mengalami kekerasan seksual selama ia bekerja dengan majikannya, Metty Kapantow.
Khotimah sempat berusaha kabur dari apartemen yang berada di unit 1 Lantai 12 Apartemen Simprug Indah itu, namun tidak berhasil.
Kasus kekerasan terhadap Siti Khotimah telah bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Jaksa penuntut umum (JPU) menyeret 9 pelaku penyiksaan Khotimah, yaitu Metty dan So Kasander yang merupakan majikan Siti Khotimah, kemudian anak majikannya, dan enam pekerja rumah tangga lain yang ikut membantu majikannya melakukan penyiksaan.
Para terdakwa dijerat Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta Pasal 43 dan 45 Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Kasus yang menimpa Siti Khotimah ini menyiratkan agar Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) harus segera disahkan. Apalagi sebelumnya, Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) terus mendesak DPR untuk segera menyidangkan RUU tersebut, karena Daftar Inventaris Masalah (DIM) telah diserahkan, 15 Mei lalu.
"Bamus segera mengagendakan agar RUU PPRT dapat dibahas pada sidang tingkat satu, antara DPR dengan pemerintah. Kemudian, dibawa ke rapat paripurna pada masa sidang ini, sehingga bisa disidangkan dalam masa sidang Mei sampai pertengahan Juli ini," kata Koordinator Nasional Jala PRT, Lita Anggraini, kepada Parboaboa di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (5/6/2023).
Lita berharap RUU PPRT bisa disahkan pada masa sidang tahun ini sebelum fraksi Partai Politik di DPR sibuk dengan agenda Pemilu 2024. Pasalnya, lanjut dia, pekerja rumah tangga telah menunggu selama 19 tahun terkait payung hukum perlindungan mereka.
Bahkan dalam kurun waktu itu, banyak PRT yang mendapatkan penyiksaan oleh pemberi kerja.
"Kami itu setiap hari mendapatkan laporan PRT itu ada yang disandera oleh penyalur, kemudian ada PRT yang ditahan dokumennya, termasuk KK (kartu keluarga), Ijazah, bahkan surat nikah dan KTP (kartu tanda penduduk)," kesalnya.
Lebih lanjut Lita mengatakan dengan adanya UU PPRT kehidupan pekerja akan terjamin, sembari berharap tidak ada lagi korban penyiksaan PRT oleh majikan.
"Dengan UU PPRT ini harapannya akan mengubah situasi hidup pekerja," tegasnya.