Reforma Ruang Agraria Tersandera Banyak Kepentingan

Reforma Agraria Era Jokowi Tersandra Banyak Kepentingan. (Foto:Dok.Kementerian Pertanian)

PARBOABOA, Jakarta – Sejumlah organisasi masyarakat sipil kembali mempertanyakan klaim pemerintah terkait reformasi agraria.

Hal itu disampaikan oleh kelompok ini, tepat pada peringatan Hari Tani Nasional (HTN) tahun ini, Selasa (24/9/2024).

Menurut mereka, selama masa kepemimpinan Jokowi, keadilan bagi petani dan buruh tani di seluruh Indonesia belum terwujud.

Padahal, pemerintahan Jokowi-Ma'ruf pernah berjanji  melalui program Nawacita kelima, tentang reforma agraria. 

Program ini direncanakan untuk mengatasi ketimpangan kepemilikan lahan dan menyelesaikan konflik agraria yang telah berlangsung selama puluhan tahun.

Lantas, akankah reforma agraria terselesaikan di bawah pemerintahan presiden terpilih, Prabowo Subianto?

Pada tahun 2014, Jokowi mengangkat agenda reforma agraria sebagai salah satu prioritas nasional.

Program ini diharapkan mampu mengurangi ketimpangan penguasaan tanah antara perusahaan besar dan masyarakat lokal, khususnya petani kecil.

Salah satu target utamanya adalah redistribusi lahan sebesar 9 juta hektar. Dengan demikian, konflik agraria yang sering terjadi di daerah pedesaan diharapkan dapat terselesaikan.

Namun, dalam prakteknya, program ini jauh dari harapan. Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa selama pemerintahan Jokowi, konflik agraria justru terus meningkat.

Sepanjang tahun 2021 saja, terdapat 212 konflik agraria yang melibatkan lahan seluas 500.000 hektar dan melibatkan lebih dari 200.000 keluarga.

Untuk mendukung pelaksanaan reforma agraria, Jokowi membentuk Tim Reforma Agraria (TRA) dan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA).

Kedua tim ini diharapkan mampu menjadi tulang punggung penyelesaian konflik agraria. Sayangnya, berbagai laporan menyebutkan bahwa tim ini tidak berfungsi optimal.

Salah satu penyebabnya adalah lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah serta minimnya pendanaan.

Dalam banyak kasus, redistribusi lahan terhenti karena tumpang tindih kepentingan antara pemerintah daerah, perusahaan swasta, dan masyarakat lokal.

Tak jarang, tanah yang sudah dijanjikan untuk redistribusi justru dialihkan kembali kepada perusahaan-perusahaan besar, yang berimbas pada semakin meluasnya konflik.

Reforma agraria di Indonesia diatur dalam beberapa regulasi, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

UUPA ini mengatur tentang pengelolaan tanah negara, termasuk redistribusi tanah yang dimiliki oleh perusahaan swasta kepada masyarakat.

Namun, implementasi dari undang-undang ini seringkali dihadapkan pada masalah-masalah teknis di lapangan, seperti kurangnya data tanah yang akurat dan resistensi dari pihak-pihak tertentu.

Selain UUPA, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria juga menjadi landasan hukum untuk redistribusi lahan.

Perpres ini mengatur tentang pelaksanaan reforma agraria yang mencakup legalisasi aset, redistribusi tanah, dan pemberdayaan masyarakat.

Namun, meski dasar hukum sudah ada, pelaksanaan reforma agraria sering tersendat oleh berbagai kendala birokrasi dan kepentingan ekonomi besar.

Banyak pihak yang mempertanyakan apakah pemerintah benar-benar serius dalam menjalankan reforma agraria atau hanya sekadar wacana politik.

Tersandera Kepentingan

Salah satu masalah besar yang dihadapi dalam pelaksanaan reforma agraria adalah tumpang tindih kepentingan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat.

Di satu sisi, pemerintah memiliki kepentingan untuk menarik investasi asing melalui penyediaan lahan untuk proyek infrastruktur dan industri.

 Di sisi lain, masyarakat lokal, terutama petani dan buruh tani, berjuang untuk mendapatkan hak atas tanah yang seharusnya menjadi milik mereka.

Tumpang tindih kepentingan ini membuat reforma agraria seringkali terjebak di tengah tarik-menarik antara kekuatan ekonomi besar dan kepentingan rakyat kecil.

Dalam banyak kasus, perusahaan-perusahaan besar justru mendapatkan keuntungan lebih besar, sementara masyarakat tetap menjadi korban ketimpangan.

Dengan terpilihnya Prabowo Subianto sebagai presiden pada pemilu mendatang, harapan baru muncul.

Sebagai seorang mantan militer yang kerap vokal tentang nasionalisme dan kemandirian bangsa, Prabowo diharapkan mampu membawa reforma agraria ke arah yang lebih baik.

Namun, skeptisisme tetap ada, mengingat latar belakang Prabowo yang dekat dengan beberapa kalangan pengusaha besar.

Reforma agraria bukan hanya sekedar persoalan redistribusi lahan. Lebih dari itu, ini adalah masalah keadilan sosial.

Tanpa penyelesaian yang adil dan merata, konflik agraria akan terus menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja.

Pembenahan reforma agraria membutuhkan komitmen politik yang kuat dan dukungan dari semua pihak, termasuk pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat.

Menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, hak atas tanah merupakan bagian dari hak ekonomi yang harus dilindungi negara.

Dalam konteks ini, pemerintah wajib memastikan bahwa setiap warga negara, terutama petani kecil, memiliki akses yang adil terhadap sumber daya alam.

Langkah konkret yang bisa diambil oleh pemerintah selanjutnya adalah memperbaiki sistem administrasi tanah melalui digitalisasi data tanah.

Dengan sistem yang lebih transparan dan terintegrasi, tumpang tindih lahan dan konflik agraria bisa diminimalisir.

Di samping itu, pemberdayaan masyarakat juga penting. Pemerintah harus memastikan bahwa tanah yang sudah didistribusikan benar-benar dikelola dengan baik oleh masyarakat melalui program-program pemberdayaan ekonomi.

Dengan demikian, reforma agraria tidak hanya menjadi janji politik, tetapi juga berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS