Pramoedya Ananta Toer dan Bumi Manusia: Kisah di Balik Kontroversi

Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. (Foto: Instagram/@lanraujay)

PARBOABOA – Di tahun-tahun penuh gejolak ketika perubahan sosial dan politik menggemuruh di Indonesia, seorang pria berkacamata, dengan tatapan penuh determinasi, menyusun kalimat-kalimat yang mengguncang dunia sastra.

Karyanya menjadi cerminan zaman, menghadirkan potret Indonesia yang bergulat dengan identitas dan kemerdekaan.

Di antara sekian banyak karya yang ia hasilkan, ada satu novel yang bukan hanya menorehkan jejak dalam sejarah sastra, tetapi juga memicu perdebatan panjang yang tak kunjung padam. Novel itu adalah Bumi Manusia, yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer.

Pada 29 Mei 1981, pemerintah Orde Baru melalui Kejaksaan Agung melarang novel Bumi Manusia yang terbit pada 1980.

Novel ini dianggap kontroversial, dan siapa pun yang memiliki, membaca, atau menjual karya Pramoedya Ananta Toer berisiko dijebloskan ke penjara.

Sebagai bagian dari Tetralogi Pulau Buru, novel ini memang memancing perhatian besar, bukan hanya karena alur ceritanya yang menarik, tapi juga karena latar belakang sang penulis.

Gejolak Kehidupan Pram

Pramoedya, atau yang akrab disapa Pram, adalah seorang penulis terkemuka Indonesia yang dikenal karena kontribusinya dalam sastra dan pemikiran tentang isu-isu sosial-politik.

Lahir dari pasangan Mastoer dan Oemi Saidah, Pram memulai pendidikannya di Institut Boedi Oetomo di Blora sebelum melanjutkan ke Surabaya. Di sana, ia belajar di Radio Volkschool selama 1,5 tahun.

Selama pendudukan Jepang, Pram bekerja sebagai juru ketik di agensi berita Domei. Pada tahun 1942-1943, ia melanjutkan pendidikan di Taman Siswa dan kemudian mengikuti kursus stenografi pada tahun 1944-1945.

Setelah itu, ia melanjutkan studinya di Sekolah Tinggi Islam Jakarta yang berfokus pada filsafat, sosiologi, dan sejarah.

Setelah Indonesia merdeka pada 1945, Pram bergabung dengan angkatan bersenjata untuk melawan penjajah Belanda. Namun, pada 1947, ia ditangkap dan dipenjara selama dua tahun oleh Belanda.

Di balik jeruji besi, Pram menulis novel pertamanya, Perburuan (1950), yang bercerita tentang perjuangan seorang pemberontak anti-Jepang. Novel ini menjadi awal karier gemilangnya sebagai penulis.

Penjara bukannya tempat asing bagi Pram. Setelah dipenjara oleh Belanda, ia juga harus mendekam selama 10 tahun di Pulau Buru, yang dijadikan kamp konsentrasi tahanan politik oleh Orde Baru.

Di sana, Pram dan ribuan tahanan lainnya dipaksa bekerja tanpa bayaran, mulai dari memotong kayu hingga mengerjakan lahan milik pejabat kamp.

Kehidupan di Pulau Buru sangat keras. Makanan yang mereka terima sangat minim dan semakin hari semakin memburuk.

Pram ditahan sejak 13 Oktober 1965, hanya beberapa hari setelah peristiwa G30S. Sebelum ditahan, Pram adalah redaktur rubrik Lentera di Bintang Timur dan mengajar di beberapa akademi, termasuk Universitas Res Publika.

Ia juga menjadi anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang ideologinya dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Setelah peristiwa G30S, banyak anggota dan simpatisan PKI, termasuk Pram, ditangkap tanpa proses pengadilan.

Sebelum diasingkan ke Pulau Buru pada 1969, Pram sempat dipenjara di Tangerang dan Nusakambangan.

Setelah kunjungan Panglima Kopkamtib Soemitro pada 1973, di Buru, barulah ia diizinkan menulis. Salah satu karyanya adalah tetralogi Bumi Manusia yang mencakup Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988).

Bumi Manusia

Novel Bumi Manusia mengisahkan kehidupan Minke, seorang siswa HBS (sekolah setara SMA yang menggunakan bahasa Belanda).

Minke adalah satu-satunya pribumi di sekolah yang mayoritas siswanya adalah orang Belanda. Berkat kecerdasannya, Minke meraih peringkat pertama di seluruh Surabaya.

Sebagai seorang priyayi, Minke mendapat hak istimewa untuk bersekolah di HBS.

Di masa kolonial, pribumi yang tunduk pada penguasa kolonial dan mengikuti budaya yang dianggap terhormat diberi keuntungan khusus.

Dalam kisah ini, Minke jatuh cinta pada Annelies, putri dari Nyai Ontosoroh dan Herman Mellema. Hubungan mereka kemudian berlanjut ke pernikahan, meski tidak berjalan mulus.

Setelah kematian Herman Mellema, pengadilan di Amsterdam memutuskan untuk menyita semua harta miliknya di Hindia Belanda. Selain itu, pernikahan Minke dan Annelies tidak diakui karena Annelies masih di bawah umur menurut hukum Belanda.

Kisah tragis ini berakhir dengan perpisahan Minke dan Annelies yang sangat menyakitkan. Annelies jatuh sakit dan Nyai Ontosoroh, ibu Annelies, berusaha melawan sistem kolonial, meski akhirnya gagal.

Novel yang berhasil diangkat ke layar lebar pada tahun 2019 ini tidak hanya menggambarkan kehidupan pribadi tokoh-tokohnya, tapi juga bagaimana sistem sosial dan hukum yang berlaku di masa kolonial sangat memengaruhi nasib mereka.

Bumi Manusia adalah potret yang jelas tentang keadaan masyarakat Indonesia di bawah penjajahan Belanda, hubungan antar golongan, dan hukum yang berlaku pada masa itu.

Pram, begitu ia biasa dipanggil, tidak hanya sekadar menulis. Setiap kata yang ia goreskan bagaikan pedang yang mengiris tajam kondisi sosial dan politik zamannya.

Bumi Manusia pun lahir dari pergulatan panjang akan pemahaman diri dan bangsa, menjadi suara yang lantang di tengah kebisuan era Orde Baru.

Namun, di balik kemegahan kisah yang ia ciptakan, kontroversi pun tak terelakkan, membuat nama Pramoedya semakin kuat, sekaligus menghadapkan dirinya pada konsekuensi-konsekuensi yang tak mudah.

Kini, novel Bumi Manusia yang dulu dilarang di zaman Orde Baru itu akan segera masuk kurikulum sekolah. Mulai tahun ajaran baru, sastra akan menjadi bagian dari Kurikulum Merdeka untuk SD hingga SMA.

Walaupun tidak diajarkan sebagai mata pelajaran khusus, novel ini akan menjadi materi tambahan dalam pelajaran seperti bahasa Indonesia, IPS, dan IPA.

Penulis: Kristina Tia

Editor: Wanovy
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS