PARBOABOA, Jakarta - Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen akan mulai diberlakukan pada 1 Januari 2025.
Kebijakan ini dipastikan akan berdampak pada peningkatan biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk membeli barang dan jasa, kecuali untuk sembako dan beberapa barang yang telah dikecualikan dari pengenaan pajak.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan bahkan telah membuat simulasi penghitungan PPN dengan tarif baru ini.
Penghitungan PPN dilakukan dengan rumus Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dikalikan tarif PPN. DPP sendiri merupakan harga barang atau jasa yang diberikan penjual kepada konsumen.
Sebagai ilustrasi, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menjelaskan bahwa jika barang seharga Rp5 juta dikenakan tarif PPN 11 persen, maka pajak yang dibayarkan adalah Rp550 ribu, sehingga total harga menjadi Rp5,55 juta.
Dengan tarif baru sebesar 12 persen, pajak yang harus dibayar naik menjadi Rp600 ribu, sehingga total harga mencapai Rp5,6 juta. Dwi menegaskan bahwa kenaikan ini hanya menambah biaya sebesar 0,9 persen dari total harga.
Tarif baru PPN ini akan berlaku untuk semua barang dan jasa yang sebelumnya dikenakan tarif 11 persen. Beberapa barang dan jasa seperti handphone, laptop, serta layanan digital seperti Netflix dan Spotify juga akan terdampak.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menambahkan, PPN sebesar 12 persen juga akan dikenakan pada barang kebutuhan pokok dan jasa tertentu yang tergolong mewah, seperti beras dan daging premium, rumah sakit eksklusif, serta sekolah premium.
Namun, untuk beberapa komoditas seperti minyak goreng bermerek Minyakita, tepung terigu, dan gula industri, pemerintah akan menanggung kenaikan sebesar 1 persen. Artinya, tarif efektif yang dibayarkan masyarakat tetap sebesar 11 persen.
Pemerintah juga mengumumkan 15 program insentif fiskal untuk 2025, termasuk PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor properti dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) DTP untuk kendaraan listrik.
Meski demikian, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai bahwa kebijakan ini belum cukup untuk mengatasi potensi penurunan daya beli masyarakat akibat kenaikan tarif PPN.
Menurut Bhima, kebijakan ini lebih banyak merupakan kelanjutan dari program insentif yang sudah ada sebelumnya, tanpa terobosan baru.
Kenaikan tarif PPN juga akan memengaruhi transaksi non-tunai, termasuk pembayaran menggunakan dompet digital dan sistem QRIS.
PPN dikenakan pada biaya layanan dalam transaksi tersebut, bukan pada saldo digital. Misalnya, untuk biaya layanan Rp5.000, PPN sebesar 12 persen adalah Rp600. Kebijakan ini menuai kritik dari masyarakat yang merasa beban pajak semakin berat, terutama bagi konsumen digital.
Menurut Direktorat Jenderal Pajak, pengenaan PPN pada transaksi non-tunai telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69 Tahun 2022. PPN berlaku untuk biaya layanan seperti registrasi, top-up saldo, pembayaran transaksi, transfer dana, dan penarikan tunai. Namun, saldo elektronik dan reward point tidak termasuk dalam objek pajak.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen merupakan bagian dari amanat UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Meski begitu, implementasi kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat, terutama terkait daya beli.
Pemerintah diharapkan dapat memberikan kebijakan pendukung untuk mengurangi dampak ekonomi yang mungkin timbul.