Peringati Hari HAM-Hari Anti Korupsi, Koalisi Masyarakat Sipil Sorot Regresi Demokrasi, Minimnya Agenda HAM, dan Buruknya Penegakan Korupsi

Koalisi Masyarakat Sipil memperingati Hari HAM Internasional dan Hari Anti Korupsi menggelar diskusi publik bertema: Kemunduran Demokrasi dan Pembajakan Konstitusi di Sadjoe Café and Resto, Minggu (10/12/2023). (Foto: PARBOABOA/Faisal Bachri)

PARBOABOA,Jakarta-Koalisi Masyarakat Sipil memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional dan Hari Anti Korupsi menggelar diskusi publik bertema: Kemunduran Demokrasi dan Pembajakan Konstitusi di Sadjoe Café and Resto, Minggu (10/12/2023).

Dalam diskusi, sejumlah Koalisi Masyarakat Sipil menyoal potensi regresi demokrasi, minimnya agenda HAM, dan buruknya preseden penegakan korupsi.

Kepala Divisi Pemantauan dan Impunitas Kontras, Jane Rosalina Rumpia, menyoroti minimnya dorongan negara menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.

Menurutnya, penghormatan terhadap HAM telah dikikis habis oleh negara.Salah satu bentuk pengabaian negara terhadap HAM adalah nihilnya hukuman terhadap para penjahat HAM.

Walaupun pada awal tahun Presiden Joko Widodo telah mengumumkan 12 kasus pelanggaran HAM. 

“Pengakuan ini tidak ada artinya jika tidak ikut bertanggung jawab. Presiden juga tidak menghukum para pelaku (sampai) hari ini,” ucap Rosalina.

Rosalina menyebutkan, bahwa keputusan melepas para terduga pelanggar HAM ini menyebabkan potensi keberulangan pelanggaran serupa.

Sebagai contoh, putusan dalam peristiwa Kanjuruhan yang menyalahkan angin dan peristiwa kekerasan aparat selama demonstrasi reformasi di korupsi. Potensi keberulangan ini berkaitan erat dengan keadaan impunitas terhadap pelaku.

Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), Zainal Muttaqin, menyoroti kegagalan reformasi hukum Indonesia.

Hal tersebut berkaitan dengan banyaknya terduga pelanggar HAM berada di lingkaran kekuasaan.

“Pelanggar HAM masih menentukan pos-pos strategis. Kenapa mereka mau menguasai negara? Supaya bisa tetap berkuasa dan tidak bisa kena hukum,” ujar Ketua IKOHI tegas.

Sementara itu, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Agus Sunaryanto, menyinggung lima menteri era Presiden Jokowi terlibat kasus korupsi.

Hal tersebut terjadi karena keputusan presiden memilih pembantunya tidak berdasarkan track record atau integritas. Melainkan, balas jasa politik. 

“Memilih itu berbasis pada balas jasa partai pendukung,” ujar Koordinator ICW itu.

Internal KPK yang problematis pun merupakan salah satu hambatan dalam penegakan korupsi. Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri telah ditetapkan tersangka dugaan pemerasan dalam kasus bekas Mentan Syahrul Yasin Limpo.

“Firli baru ditetapkan tersangka. Sebelumnya, Lili Pintauli harusnya diproses hukum ketika pengunduran diri,” ucap Agus Sunaryanto.

ICW juga menyoroti RUU Perampasan Aset yang tersendat dalam meja legislasi.

Menurut Agus, DPR dan pemerintah memperlakukan berbeda RUU Perampasan Aset jika dibanding UU KPK atau Cipta Kerja.

“Saya pikir tidak cukup sekedar mengirimkan surpres. Pemerintah harus dorong percepatan di DPR,” tuturnya.

Lebih lanjut, YLBHI menyinggung peran militer dan polisi di era reformasi.

Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI, Arif Maulana, mengungkapkan bahwa militer bukan hanya sekedar memiliki dwifungsi. Tapi, sekarang memiliki multi fungsi.

“Mereka jadi apa pun dan ini menerabas UU Polisi dan batasan dalam UU TNI,” ungkapnya.

YLBHI juga menyoroti peran kontrol kekuasaan terutama oleh lembaga legislatif. DPR tidak berfungsi sebagai pengawas kebijakan pemerintah.

Arif mencontohkan, proses pengesahan UU KPK pada 2019 melemahkan KPK sampai saat ini. Begitupun Mahkamah Konstitusi memberi putusan karpet merah pencalonan Cawapres Gibran Rakabuming di Pemilu 2024.

“Saya kira, tahu dampaknya Keputusan MK yang ajaib. Seperti hal putusan memberi karpet merah sebagai cawapres. Itu jelas putusan bermasalah. Tetapi, anehnya yang jadi pelaku dibiarkan,” ungkap Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI.

Editor: Ferry Sabsidi
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS