Pemecatan Ipda Rudi Soik dan Wajah Kusam Polda NTT

Pemecatan Ipda Rudi Soik yang bongkar mafia BBM dinilai perburuk citra Polda NTT (Foto: Unsplash)

PARBOABOA, Jakarta - Kasus pemecatan Ipda Rudi Soik menarik perhatian publik lantaran memiliki kaitan dengan upaya mengungkap jaringan mafia Bahan Bakar Minyak (BBM) di NTT.

Rudi diketahui menjadi salah satu anggota polisi yang belakangan getol mengusut kasus kelangkaan BBM dan sejumlah persoalan lain, seperti Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Proses penyelidikan yang berujung pemecatan dirinya dimulai pada 15 Juni 2024 lalu, ketika Rudi menerima informasi mengenai kelangkaan BBM di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan Belu. 

Ia segera melaporkan situasi ini kepada Kapolresta Kupang Kota, Kombes Aldinan Manurung, yang kemudian memerintahkan Rudi untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.

"Saya menerima informasi soal penimbunan solar yang akan disalurkan ke daerah perbatasan. Ketika melaporkan hal ini kepada Kapolresta, beliau memberikan dukungan penuh untuk menindak mafia BBM," ungkap Rudi pada Selasa (03/09/2024) lalu.

Tak hanya dukungan, eks KBO Satreskrim Polresta Kupang Kota itu juga menerima surat perintah tugas yang sah dan dikeluarkan langsung oleh Kapolresta.

Berdasarkan hasil penyelidikan sementara, diketahui bahwa para pengepul menggunakan kode QR milik Law A Gwan, seorang pengusaha asal Cilacap, Jawa Tengah.

"Setelah kami telusuri, siapa sebenarnya Law A Gwan? Inilah Law A Gwan (yang kode QR-nya dipakai untuk membeli BBM subsidi di NTT)," jelas Rudi.

Ia bersama 12 anggota lain lekas melakukan penyelidikan lebih lanjut dan menemukan drum serta jerigen yang digunakan untuk menimbun BBM di Kelurahan Fatukoa, Kupang pada 25 Juni 2024. 

Rudi meyakini bahwa beberapa anggota Polresta Kupang Kota dan Ditkrimsus Polda NTT terlibat dalam praktik ilegal tersebut.

“Saya menduga adanya keterlibatan anggota [polisi] dalam kasus ini, dan saya segera memerintahkan tim untuk memeriksa tempat penyimpanan BBM milik Ahmad Ansar,” imbuh Rudi. 

Ia kemudian memutuskan untuk memasang garis polisi di rumah Ahmad Ansar, tempat penimbunan BBM, setelah mendapatkan informasi bahwa anggota timnya telah menerima suap dari Ahmad. 

"Alasannya dikarenakan anggota saya, Bripka Muhamad Sukalumba alias Ados, terbukti menerima suap dari Ahmad Ansar. Ahmad ini menggunakan kode QR milik orang lain untuk membeli BBM yang jelas melanggar hukum."

Rudi menerangkan bahwa Ahmad Ansar bekerja sama dengan Algazali Munandar dalam membentuk jejaring mafia BBM yang jelas berisiko merusak citra institusi kepolisian.

Karena itu, tindakan memasang garis polisi sangat penting untuk mencegah kejahatan lebih lanjut, mengingat maraknya kelangkaan BBM yang terjadi di NTT.

Namun demikian, tanpa diketahui, Polda NTT secara diam-diam akhirnya mengumumkan pemecatan Rudi pada 11 Oktober 2024 melalui proses sidang Kode Etik Profesi Polri (KKEP). 

Beda Versi

Keputusan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) terhadap Ipda Rudi Soik yang dilakukan pasca membongkar mafia BBM dianulir pihak Polda NTT. 

Kabid Humas Polda NTT, Kombes Ariasandy, berkilah keputusan PDTH atas Rudi diambil berdasarkan pelanggaran yang terdaftar dalam beberapa peraturan yang mengatur disiplin anggota Polri. 

“Dia di-PTDH setelah sidang KKEP yang dilakukan pada Rabu, 10 Oktober, dan putusan dibacakan pada 11 Oktober,” ungkap Ariasandy pada Minggu (13/10/2024).

Rudi tidak terima dengan pemecatan tersebut dan berencana mengajukan banding. Ia menegaskan bahwa tindakan yang diambilnya selama penyelidikan sudah sesuai prosedur.

"Saya akan mematuhi mekanisme yang ada dan melawan keputusan ini melalui jalur hukum," ujarnya menimpali. 

Tabel cerita yang berbeda dari Ipda Rudi Soik dan Polda NTT soal kasus yang terjadi. (Foto: PARBOABOA/Defri Ngo)

Rudi juga menyampaikan bahwa selama persidangan, fakta menunjukkan bahwa Ahmad mengaku telah melakukan pembelian solar subsidi secara ilegal dan menyuap seorang anggota polisi.

Dengan tegas, Rudi menjelaskan bahwa pemasangan garis polisi di rumah Ahmad adalah langkah yang tepat untuk menindaklanjuti kasus penyelidikan yang sedang berlangsung.

Meski demikian, Polda NTT berdalih bahwa keputusan memberhentikan Ipda Rudi Soik tidak ada kaitannya dengan kasus mafia BBM.

"Pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) terhadap Ipda Rudi Soik tidak ada hubungannya dengan mafia BBM," tegas Ariasandy.

Ia menjelaskan bahwa pemecatan tersebut lebih berkaitan dengan tujuh laporan pelanggaran yang masuk ke Bidang Propam Polda NTT selama dua bulan terakhir. 

Beberapa pelanggaran tersebut, antara lain termasuk penundaan pendidikan, teguran tertulis, dan mutasi demosi selama lima tahun.

Proses penanganan laporan-laporan ini melibatkan pemeriksaan yang dilakukan oleh Subbidpaminal Polda NTT, yang menilai adanya pelanggaran kode etik dan disiplin yang dilakukan oleh Rudi.

"Serangkaian pelanggaran kode etik dan disiplin yang berulang menunjukkan, Ipda Rudi Soik tidak layak dipertahankan sebagai anggota Polri," ujarnya pada Kamis (17/10/2024).

Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) yang dilakukan terhadap Rudi mencakup evaluasi komprehensif terkait profesionalitasnya, sikap, dan dampak perilakunya terhadap citra Polri. 

Ariasandy menekankan bahwa keputusan PTDH tersebut diambil setelah melalui proses panjang yang melibatkan evaluasi seluruh aspek pelanggaran.

"Namun, jika keputusan itu diambil, berarti anggota tersebut sudah tidak memenuhi standar etika dan profesi sebagai anggota Polri," tegasnya.

Ia juga mengakui bahwa keputusan tersebut tidak mudah, sebab didasarkan pada pertimbangan yang matang dari hasil sidang tersebut.

Preseden Buruk

PTHD terhadap Ipda Rudi Soik dinilai sejumlah pihak sebagai keputusan yang terlampau buru-buru dan berpotensi mencoreng wajah instansi kepolisian.

Model pemecatan tersebut, alih-alih berlindung di balik alasan etik, tetapi justru berdampak negatif terhadap semangat anggota polisi dalam menindak pelanggaran hukum di lapangan. 

Penjegalan terhadap anggota yang mengungkap pelanggaran seperti yang dilakukan Rudi, tanpa pertimbangan yang adil, bisa merusak kepercayaan publik terhadap integritas institusi kepolisian.

Humas Polda NTT menggelar konferensi pers soal putusan PTDH terhadap Ipda Rudi Soik. (Foto: tribratanewsntt)

Anggota Fraksi Gerindra DPR RI, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, mempertanyakan keputusan Polri yang memecat Ipda Rudi Soik dari Polres Kupang Kota.

Ia melihat langkah ini sebagai sebuah kemunduran bagi institusi penegak hukum di Indonesia, terutama mengingat peran Rudi dalam mengungkap kasus penyelundupan BBM ilegal di NTT.

Saraswati menyoroti bahwa seharusnya Polri memberikan apresiasi atas upaya yang dilakukan Rudi yang dinilai berhasil membuka tabir kasus-kasus yang merugikan masyarakat. 

"Ini merupakan kemunduran institusi penegak hukum. Kepolisian seharusnya memberikan apresiasi kepada anggota polisi seperti Rudi Soik yang berani mengungkap kasus-kasus yang merugikan banyak orang," kata Saraswati dalam pernyataan tertulisnya pada Rabu (16/10/2024).

Keponakan Presiden Prabowo itu juga menggarisbawahi bahwa Ipda Rudi Soik memiliki rekam jejak yang baik selama bertugas sebagai anggota kepolisian. 

Selain mengungkap kasus penyelundupan BBM di NTT, Rudi sebelumnya dikenal karena keberhasilannya dalam mengungkap kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di wilayah yang sama. 

Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran bahwa pemecatan Rudi mungkin dipengaruhi oleh pihak-pihak yang merasa terganggu oleh upayanya dalam membongkar bisnis-bisnis ilegal.

"Saudara Rudi memiliki track record yang baik dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai anggota Kepolisian," ujar Saraswati. 

Ia juga mempertanyakan beratnya pelanggaran yang dituduhkan kepada Rudi sehingga menyebabkan pemberhentiannya secara tidak hormat.

Lebih lanjut, Saraswati mendesak agar institusi Polri, khususnya tim Etik melakukan evaluasi mendalam terhadap pelanggaran yang dituduhkan kepada Ipda Rudi Soik. 

Menurutnya, penting bagi Polri untuk mengklarifikasi pelanggaran yang dianggap berat sehingga menyebabkan keputusan pemberhentian tidak dengan hormat. 

Ia berharap Polri dapat memastikan bahwa proses tersebut berjalan dengan transparan agar tidak merugikan integritas anggota yang berdedikasi.

“Saya mengimbau seharusnya Kepolisian, khususnya tim Etik, melakukan evaluasi pelanggaran seperti apa sehingga sampai pada pemberhentian,” pungkas Saraswati.

Serupa, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISSES), Bambang Rukminto, menyoroti PTDH terhadap Ipda Rudi Soik sebagai bentuk tindakan yang tidak adil. 

“Ini tentu sangat berat. Kalau kita membandingkan dengan anggota kepolisian yang melakukan obstruction of justice dalam kasus Sambo, tapi tidak diberi sanksi PTDH, tentu hal ini dirasa tidak adil,” ujar Bambang Rukminto dalam keterangan tertulisnya, Senin (14/10/2024).

Menurut Bambang, terdapat dua versi terkait kasus yang menimpa Ipda Rudi Soik. Di satu sisi, pihak Polda NTT menyebutkan bahwa Ipda Rudi Soik telah melanggar prosedur operasional standar (SOP). 

Sedangkan versi Ipda Rudi Soik sendiri mengklaim bahwa ia telah menjalankan tugas dengan benar, termasuk melakukan police line pada BBM yang diduga ilegal.

“Jika hal ini terus terjadi tanpa transparansi dan penjelasan kepada masyarakat, dampaknya akan terus menggerus kepercayaan publik terhadap kepolisian,” imbuh Bambang.

Dengan pendasaran ini, Bambang mendesak agar Mabes Polri segera turun tangan melalui Divisi Propam dan Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) untuk melakukan penyelidikan yang lebih menyeluruh terkait kasus Ipda Rudi Soik. 

Jika tidak ada kejelasan dalam penanganan kasus ini, ia khawatir hal tersebut akan menjadi blunder bagi kepolisian.

“Jika tidak ada penjelasan dan penuntasan, [hal] ini akan menjadi blunder bagi kepolisian sendiri,” tegasnya.

Bambang juga menyoroti pentingnya rasa keadilan dalam institusi kepolisian. Jika kepolisian tidak mampu berlaku adil kepada anggotanya sendiri, masyarakat akan sulit mengharapkan keadilan dari institusi tersebut.

“Jika kepolisian tidak bisa adil pada anggotanya, bagaimana mereka bisa adil kepada masyarakat? Hal itu tentu akan memperburuk citra kepolisian di mata publik,” ungkap Bambang.

Terakhir, Bambang menekankan pentingnya sebuah lembaga independen untuk mengawasi dan melindungi anggota kepolisian yang sedang bermasalah dengan institusinya sendiri. 

Hal itu perlu dilakukan untuk menghindari adanya bias dalam penanganan kasus yang melibatkan orang-orang dalam internal lembaga.

“Makanya ke depan, harus ada lembaga yang lebih independen untuk mengawal dan melindungi personel kepolisian yang sedang bermasalah dengan institusinya sendiri,” tutup Bambang.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS