PARBOABOA - Pria paruh baya berperawakan tinggi sedang itu menyapa dengan logat jawanya yang medok. Setelah obrolan singkat dan sedikit berbasa-basi, ia menawarkan sebidang tanah miliknya yang terletak tak jauh dari tempat kami berdiri.
"Itu ada di sebelah sana lahan 6 rante, mau dijual Rp120 juta, kalau mau, nanti bisa hubungi bapak," ucapnya kepada Parboaboa suatu sore pertengahan April lalu.
Ia menunjuk ke arah sebidang tanah di Kampong Klambir V, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara. Lokasinya terletak paling ujung.
Hamparan rumput hijau yang tampak terawat menyelimuti seluruh lahan itu. Sementara barisan pohon rambutan berukuran besar dan berbagai tanaman sayur-mayur juga berderet rapi di sana.
Kampong Klambir V masuk dalam kawasan adat Rakyat Penunggu. "Rakyat Penunggu" adalah sebutan bagi masyarakat adat berumpun melayu yang menempati sebagian wilayah di Kabupaten Deli Serdang.
Di sana, masyarakat Rakyat Penunggu tersebar di puluhan kampung yang tanahnya mereka klaim sebagai milik adat. Beberapa kampung yang menjadi lokasi penyebaran mereka, berdasarkan data dari Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), seperti di Kampong Bandar Kelipah, Kampong Bandar Setia, Kampong Klambir V dan Kampong Menteng Tualang Pusu.
Rakyat Penunggu sampai sekarang masih berjuang mendapatkan pengakuan hak ulayat dari pemerintah atas tanah adatnya. Anggotanya menghimpun diri dalam naungan Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Republik Indonesia (BPRPI), organisasi yang dibentuk sejak 1953 sebagai wadah perjuangan.
Seperti di Kampung Klambir V, tidak sulit menemukan orang yang menawarkan tanah adat di kampung-kampung tempat Rakyat Penunggu. Harga yang ditawarkan bervariasi.
Parboaboa sempat ditawari tanah ukuran 10x30-an meter persegi seharga Rp 30-35 juta di dua kampung Rakyat Penunggu yang berbeda, Bandar Setia dan Menteng.
Karena belum ada pengakuan pemerintah terhadap masyarakat adat Rakyat Penunggu, pembeli tanah hanya akan mendapatkan Sertifikat Pengelolaan Tanah Adat (SPKTA) yang dikeluarkan BPRPI sebagai dasar alas hak.
Pengurusan surat itu, menurut Pria yang Parboaboa temui di Klambir V, "Biayanya Rp1,5-2 juta." Angka itu di luar harga tanah yang dipatok. Di kampung lain, harga pengurusan surat BPRPI bisa berbeda lagi.
Di kampung Bandar Setia, misalnya, pembeli harus merogoh kocek Rp3 juta untuk mendapat surat sertifikat dari BPRPI. Seorang sumber di internal masyarakat adat mengatakan bahwa praktik semacam itu sudah berlangsung lama.
Semula pembukaan lahan dilakukan masyarakat adat untuk dikelola sendiri. Belakangan, muncul oknum-oknum masyarakat adat yang mengalihkan lahan kepada pihak lain dengan nominal tertentu.
Mereka, kata sumber itu, beralasan tidak sanggup lagi mengelola tanah. Alhasil, lahan yang berada di bawah kuasa mereka pun dipindahtangankan ke pihak lain.
Mekanisme transaksinya pun sangat longgar. Calon pembeli hanya diminta memenuhi persyaratan administratif seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK).
Namun, tidak dilakukan verifikasi identitas lebih lanjut yang memadai. Celah tersebut dimanfaatkan sejumlah pihak untuk melakukan rekayasa kepemilikan. Hal ini membuka ruang bagi orang tertentu untuk menguasai lebih dari satu bidang tanah.
"Ada misalnya 20 orang (pembeli) katanya yang mau dimasukkan, ternyata kan itu fiktif, malah yang menguasai 20 tanah tadi cuma satu orang," jelas sumber tadi.
Praktik semacam itu sebenarnya menyalahi aturan internal masyarakat adat. Jual-beli dan pengalihan lahan, mengacu AD/ART BPRPI, pada dasarnya merupakan hal terlarang.
Hal itu termaktub dalam pasal 18 poin 6 AD/ART. Di sana dinyatakan, "Warga Kampong dan Pengurus Organisasi BPRPI Sumut dapat dikenakan sanksi apabila melakukan perbuatan atau tindakan yang merusak dan membahayakan BPRPI Sumut, seperti melakukan pengalihan dan penjualan tanah adat tanpa melalui mekanisme yang diatur oleh Hukum Adat Kampung dan AD/ART BPRPI Sumut."
Menurut sumber Parboaboa, pengalihan lahan diperbolehkan dalam aturan BPRPI. Tapi, ia menegaskan, hal itu dilakukan dengan melalui serangkaian prosedur yang ketat.
"Bukan dijualnya secara diam-diam, semua mekanisme itu memang harus diatur dalam sebuah organisasi, bukan sesuka hati, ini punyaku ini punyakulah," imbuhnya.
Ketika seseorang anggota masyarakat adat tidak lagi mampu mengelola lahan adat, ia tidak bisa serta-merta menjual atau mengalihkannya ke pihak lain tanpa sepengetahuan pengurus BPRPI.
Ia seharusnya mengembalikan lahan ke organisasi BPRPI. Kalaupun terjadi pengalihan lahan, pihak pemberi dan penerima harus diajak bermusyawarah terlebih dulu.
Dalam musyawarah itu akan dijelaskan mengenai status lahan adat kepada pihak calon penerima. Barulah kemudian penerima akan mendapat sertifikat Pengelolahan Tanah Adat (SPTA).
Artinya, ia hanya punya kewenangan mengelola, bukan memiliki. Ia juga harus patuh dan mengikuti aturan adat yang berlaku.
Adapun kepemilikan lahan tetap berada di organisasi BPRPI sebagai organisasi yang mewadahi masyarakat adat Rakyat Penunggu. "Tapi faktanya kan tidak begitu, jual putus," ungkap sumber Parboaboa.
Prosedur yang asal-asalan memicu persoalan pelik di tubuh masyarakat adat. Para pendatang cenderung abai dengan aturan adat.
Yang terjadi di lapangan akhirnya konflik antara pengurus adat dengan "pengelola" lahan yang baru. Misalnya, muncul penolakan dari pengelola tanah ketika pengurus adat ingin melakukan pendataan untuk penertiban administrasi.
Dua orang pengurus adat dari dua kampung berbeda menceritakan fenomena serupa yang terjadi di kampungnya masing-masing kepada Parboaboa. Mereka kompak mengatakan bahwa di lingkungannya kini banyak bermukim orang-orang yang tidak mengerti adat setempat.
Di beberapa kampung, ada lahan yang malah dibeli orang luar untuk investasi. Begitu bangunan di atasnya berdiri, properti itu justru disewakan atau dikontrakan ke pihak lain.
Masalah makin ruwet ketika ada tanah yang kemudian dijual lagi setelah dialihkan ke orang di luar masyarakat adat. Sumber Parboboa mengendus permainan antara penjual, pembeli dan ketua kelompok di masing-masing kampung. Itu yang membuat pengalihan lahan menjadi seolah sangat mudah.
"’Udahlah, kasih aja SKPTA suratnya, aman itu,' selesai. Artinya kan sudah bekerja sama, berkolusilah," ujar sumber Parboaboa.
Parboaboa sudah berusaha menghubungi Ketua BPRPI untuk mengonfirmasi praktik jual-beli lahan di wilayah masyarakat adat Rakyat Penunggu. Namun, hingga artikel ini ditayangkan, ia belum merespons pesan dan panggilan telepon.
Ansyurdin, Ketua Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Sumatra Utara, menilai praktik pengalihan lahan sebagai persoalan internal di tubuh BPRPI. Hanya saja, ia khawatir hal itu dapat menghilangkan konsep adat dalam struktur masyarakat.
Bila dibiarkan berlarut-larut, bisa juga terjadi konflik akibat saling klaim atas tanah adat. "Kalau sudah seperti itu, ya, harus dibenahilah," ujarnya.
Sementara itu, Wina Kahirina, peneliti yang menaruh perhatian di isu masyarakat adat, menilai sulit mencegah fenomena jual-beli tanah ulayat. Hukum ekonomi berlaku dengan sendirinya.
Seiring dengan pertumbuhan kota, permintaan akan tanah terus naik. Sementara itu, pasokannya tetap terbatas.
Akibatnya, orang-orang cenderung bergerak dari pusat kota ke pinggiran kota, bahkan dari lingkungan perkotaan ke daerah pedesaan.
Wina setuju dengan Ansyurdin. Yang menurutnya perlu diantisipasi adalah kemungkinan munculnya konflik.
Bukan tidak mungkin terjadi pergeseran sumbu konflik terkait tanah adat. Konflik yang biasanya terjadi secara vertikal antara pemerintah dan masyarakat adat bisa menjelma menjadi horizontal antara sesama masyarakat.
Masalah itu juga muncul karena ketidakhadiran regulasi pemerintah dalam melindungi masyarakat adat. Ia mendesak pemerintah segera memberikan memberi payung hukum kepada masyarakat adat.
Salah satu opsi yang bisa ditempuh adalah dengan pemberian hak komunal. Tanah adat yang menjadi milik masyarakat adat secara kolektif tidak akan bisa dipindahtangankan.
Dengan begitu, ada kepastian hukum yang mampu mencegah kemungkinan oknum-oknum tertentu melakukan pengalihan lahan secara perorangan. "Problemnya kan negara tidak menggunakan mekanisme yang tersedia untuk menyelesaikan konflik ini," katanya.
Reporter: Ghiyatuddin Yauzar
Editor: Andy Tandang