PARBOABOA, Jakarta - Kekerasan dan intimidasi terhadap masyarakat Rempang atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN) masih marak terjadi.
Terbaru, masyarakat Rempang kembali mendapat intimidasi dan kekerasan dari belasan orang berpakaian preman pada Rabu (18/9/2024).
Berdasarkan laporan Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang, kejadian tersebut berlangsung pukul 10.45 WIB di kawasan Kampung Sungai Bulu.
"Insiden ini memperlihatkan eskalasi konflik antara masyarakat lokal dan pihak-pihak yang mendukung pembangunan Rempang Eco City," tulis laporan tersebut, Rabu (18/09/2024).
Rempang Eco City rencananya akan dibangun di atas area sekitar 165 kilometer persegi sebagai pusat industri, perdagangan, dan pariwisata yang kuat dan terintegrasi.
Pengembangan kawasan ini diharapkan mampu meningkatkan daya saing Indonesia, terutama dalam menghadapi persaingan regional dengan Singapura dan Malaysia.
Mega proyek Rempang diperkirakan akan menarik investasi sebesar Rp 43 triliun untuk mewujudkan visi Eco City Area Batam Rempang.
Menurut keterangan warga, insiden kekerasan bermula ketika sekelompok orang berpakaian preman mendatangi warga yang tengah berjaga di sebuah masjid di kawasan Goba.
Rombongan tersebut juga disertai beberapa anggota kepolisian berseragam yang menyatakan bahwa wilayah tersebut merupakan area kerja mereka.
"Namun, warga yang menolak pembangunan Rempang Eco City tetap bertahan di lokasi dan enggan meninggalkan tempat," sambung laporan Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang.
Akibatnya, terjadi bentrokan yang mengakibatkan tiga warga mengalami luka-luka, sementara belasan lainnya menjadi korban pemukulan.
Intimidasi dan kekerasan tersebut bukan kejadian pertama. Sebelumnya, alat peraga protes warga yang menolak PSN Rempang Eco City juga dirusak oknum yang tidak bertanggung jawab.
Amnesty International Indonesia juga mencatat telah terjadi delapan kasus serangan terhadap masyarakat adat antara Januari 2019 hingga Maret 2024.
Dalam periode ini, sedikitnya tercatat 90 korban yang terdampak kriminalisasi, intimidasi, hingga kekerasan fisik.
Atas kejadian tersebut, Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang mengeluarkan pernyataan resmi yang "menuntut penghentian cara-cara intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat."
Mereka meminta pihak kepolisian untuk lebih aktif dalam melindungi dan melayani warga sesuai dengan tugas pokok mereka sebagai pengayom masyarakat.
Selain itu, mereka juga mendesak agar pembangunan Rempang Eco City dihentikan hingga adanya solusi damai yang melibatkan masyarakat secara langsung.
Tim Advokasi menggarisbawahi pentingnya rasa hormat terhadap hak-hak masyarakat Pulau Rempang dan pembangunan tidak boleh dilanjutkan dengan cara-cara yang merugikan warga setempat.
"[Kami] meminta pihak kepolisian agar memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan tugas dan tanggung jawab utama mereka," ungkap Tim Advokasi.
Masyarakat yang terdampak harus mendapatkan keadilan dan perlindungan dari pemerintah, khususnya aparat penegak hukum.
Tragedi Rempang menjadi sorotan nasional dan menimbulkan pertanyaan besar tentang upaya pemerintah menangani pembangunan yang berbenturan dengan kepentingan masyarakat lokal.
Tragedi Rempang
Pada 7 September 2023 lalu, terjadi bentrokan antara ratusan warga Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau dengan pihak aparat.
Bentrokan ini muncul akibat protes masyarakat terhadap aktivitas penggusuran tanah untuk kepentingan proyek PSN bernama Rempang Eco City.
Akibatnya, 11 orang warga tercatat mengalami luka serius, termasuk 10 siswa dan seorang guru yang dilarikan ke rumah sakit.
Bentrok tak berhenti di situ saja. Beberapa hari berikutnya, warga kembali melakukan perlawanan terhadap Badan Pengusahaan (BP) Batam dan mengakibatkan enam orang mengalami luka.
Peristiwa yang dikenal sebagai Tragedi Rempang ini mencerminkan permasalahan agraria di Indonesia yang pelik, di mana rakyat dan pemerintah berselisih soal hak atas tanah.
Pemerintah mengklaim bahwa tanah di Pulau Rempang adalah milik entitas swasta, sementara warga menegaskan mereka telah tinggal di sana secara turun-temurun selama ratusan tahun.
Pemicu utama bentrokan adalah rencana pemerintah menjadikan Pulau Rempang sebagai pusat ekonomi baru yang disebut "The New Engine of Indonesia’s Economic Growth".
Rencana tersebut masuk dalam PSN dan diatur melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023.
Proyek Rempang merupakan kerja sama antara pemerintah pusat, BP Batam, Pemerintah Kota Batam, dan PT MEG selaku anak usaha Artha Graha, yang menggandeng Xinyi International Investment Limited sebagai investor.
Nilai investasi yang dilaporkan mencapai Rp 381 triliun hingga tahun 2080, dengan target mampu menyerap 306.000 tenaga kerja.
Namun, rencana pemerintah menghadapi penolakan dari masyarakat adat Pulau Rempang yang menempati 16 kampung tua.
Mereka menolak direlokasi ke Pulau Galang, dengan alasan sejarah dan budaya yang melekat di tanah tersebut.
Bentrokan pertama terjadi ketika aparat gabungan TNI dan Polri memaksa masuk ke kampung untuk memasang tanda batas lahan proyek.
Warga menolak dan melakukan blokade jalan. Namun aparat tetap masuk dengan menembakkan gas air mata sampai ke sekolah terdekat, sehingga membuat para guru harus mengevakuasi murid-murid.
Sejak peristiwa tersebut, konflik terus memanas. Pada 11 September 2023, ribuan masyarakat adat Melayu Kepri mendatangi kantor BP Batam untuk menyampaikan penolakan penggusuran.
Aksi mereka berujung ricuh. Meski demikian, pemerintah tetap berdiri di belakang klaim bahwa tanah tersebut telah diberikan kepada entitas swasta sejak 2001-2002.
Mereka juga berdalih, proses yang terjadi di Rempang bukanlah penggusuran, melainkan pengosongan lahan oleh pemegang hak ulayat.
Konflik Rempang mencapai puncaknya pada Agustus 2024, ketika warga kembali mengambil alih posko Tim Terpadu PSN di Simpang Dapur 6, Sembulang.
Meski sempat terjadi cekcok, Tim Terpadu akhirnya meninggalkan pos tersebut. Namun, mereka kembali dengan membangun gardu baru di lokasi yang sama sehingga memicu kemarahan warga.
Tragedi Rempang menandai kemelut di akhir masa pemerintahan Joko Widodo, sekaligus menegaskan bahwa proyek yang bernaung di balik PSN justru berdampak mematikan harapan hidup masyarakat.
Editor: Defri Ngo