parboaboa

Ketua AJI Indonesia: Pasal RUU Penyiaran Aneh dan Membingungkan!

Anna | Hukum | 20-05-2024

Ketua AJI Indonesia, Nany Afrida menilai bahwa sejumlah pasal dalam Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2022 tentang Penyiaran versi Maret 2024 dianggap bermasalah. (Foto: Dok Nany Afrida)

PARBOABOA - Draf Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2022 tentang Penyiaran tengah menjadi perdebatan lantaran dinilai berpeluang membahayakan kebebasan pers di Indonesia.

RUU yang digodok oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI ini pertama kali diusulkan oleh Komisi I DPR RI pada 22 Januari 2020, dan hingga kini pembahasannya masih bergulir.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, salah satu organisasi profesi jurnalis terbesar pun angkat suara dan menentang pembahasan RUU tersebut dilanjutkan, apalagi disahkan.

“AJI sudah menolak. Jadi, kita enggak sepakat dengan draf tersebut. Kita minta supaya ditunda pembahasannya sampai DPR baru terbentuk,” tegas Ketua Umum AJI Indonesia, Nany Afrida kepada PARBOABOA, Senin (20/5/2024).

Sejumlah pasal dalam draf versi Maret 2024 dianggap bermasalah. Salah satunya, terdapat kecondongan RUU ini tak hanya mengurus platform penyiaran, tapi juga isi kontennya.

“RUU Penyiaran ini cenderung bukan hanya mengurus tentang platform atau wadah di mana penyiaran itu berlangsung. Tetapi juga isi kontennya. Nah, itu yang kami khawatirkan,” ujarnya.

Sementara, menurut Nany, isi konten itu beragam, yaitu jurnalisme dan non-jurnalisme.

“Kita berharap, non-jurnalisme diurus sama KPI, sedangkan jurnalisme diurus oleh Dewan Pers,” tuturnya.

Selain itu, pihaknya juga mempertanyakan tentang tidak diizinkannya jurnalisme investigatif untuk disiarkan secara eksklusif melalui media penyiaran.

“Itu juga jadi tanda tanya buat kami. Ini aneh dan membingungkan pasalnya. Sehingga, kita pikir itu butuh untuk direvisi secara mendetail dan melibatkan partisipasi publik,” tegasnya.

Sejauh ini, Nany mengaku, AJI Indonesia tak melihat adanya partisipasi dalam pembahasan RUU Penyiaran.

“Karena sampai sekarang kita tidak melihat ada partisipasi di situ. Bahkan, kelompok masyarakat sipil itu mendapatkan drafnya susah sekali,” ucapnya.

Dengan adanya RUU Penyiaran yang masih bergulir di DPR RI hingga saat ini, Nany menyebut, jika dikaitkan dengan demokrasi, pihaknya merasa cemas.

“Nah, kalau dilihat dari sisi demokrasi kita khawatir. Ini bukan sekali dua kali pemerintah mencoba untuk memberangus pers. Ini kalau enggak salah sudah lebih dari lima kali terjadi”.

Meski begitu, Nany teguh mengatakan bahwa pihaknya akan tetap mempertahankan RUU ini dalam artian posisi pers harus merdeka, independen, dan tidak bisa diintervensi.

Larangan Jurnalisme Investigasi adalah Pembungkaman

Selaras dengan itu, seorang Pakar Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah atau akrab disapa Castro juga menyebut bahwa RUU Penyiaran ini adalah upaya pembungkaman.

“Klausul pelarangan jurnalisme investigasi dalam RUU Penyiaran itu, jelas adalah upaya untuk membungkam kebebasan pers,” ujarnya kepada PARBOABOA saat dihubungi melalui WhatsApp, Senin (20/5/2024).

Larangan ini, lanjutnya, terkesan memberikan ruang terhadap upaya untuk memonopoli pemberitaan, utamanya bagi kepolisian yang sedang menangani kasus tertentu.

Seorang yang lebih senang menyebut dirinya buruh di Fakultas Hukum Universitas Mulawarman ini menilai, pelarangan publikasi investigasi tersebut menumpulkan sikap kritis pers.

“Di bawah pelarangan ini, publik tidak akan pernah lagi mendapatkan laporan investigasi yang membongkar kasus kekerasan seksual di pesantren dan lembaga pendidikan, kasus pekerja migran dan perdagangan orang, kasus kilometer 50, kasus mafia olahraga, dan investigasi sejenisnya,” jelas Castro.

Kemudian, salah satu klausul dalam RUU ini juga dinilai tumpang tindih karena memberi kewenangan terhadap Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk membereskan sengketa pers di bidang penyiaran.

“Jelas overlapping [tumpang tindih] dengan kewenangan Dewan Pers,” tegas Castro.

Ia berpandangan bahwa situasi ini mengancam proses sengketa pers lantaran berdampak pada ketidakpastian hukum mengenai siapa yang akhirnya memiliki otoritas untuk menyelesaikan sengketa pers.

Sementara, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad melalui tayangan YouTube DPR RI, telah merespons soal isu pelarangan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi pada Kamis (16/5/2024) lalu.

“Namanya juga hal yang dijamin undang-undang, ya, mungkin kita akan konsultasikan dengan kawan-kawan bagaimana caranya supaya semuanya bisa berjalan dengan baik,” katanya.

Dia menegaskan bahwa pihaknya bakal meminta pendapat dari praktisi media dalam penyusunan RUU tersebut.

Selain itu, Ia juga mengatakan, RUU ini hanya akan mengatur agar pemberitaan yang ada bisa secara utuh memberitakan yang benar, tidak hanya setengah benar.

Editor : Anna

Tag : #AJI Indonesia    #RUU Penyiaran    #Hukum    #DPR RI    #Jurnalis    #Junalisme    #Kebebasan Pers    #Jurnalisme Investigatif   

BACA JUGA

BERITA TERBARU