PARBOABOA, Jakarta - Pengungsi etnis Rohingya kini menjadi sasaran narasi negatif sekaligus kebencian di media sosial. Hal itu turut disoroti Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI).
Disinformasi dan narasi kebencian yang beredar, seperti etnis Rohingya yang akan menjajah Indonesia, hingga konten yang membingkai perilaku buruk pengungsi Rohingya yang kemudian digeneralisasi secara bias.
Adapun yang teranyar, ketika sejumlah pemuda yang menamakan dirinya Mahasiswa Nusantara melakukan pengusiran terhadap 173 orang pengungsi Rohingya.
Pengungsi tersebut diketahui didominasi perempuan dan anak-anak yang berada di Balai Meusara Aceh (BMA) pada Rabu, 27 Desember 2023.
Atas kondisi itu, AJI Indonesia dan AJI Kota Banda Aceh meminta seluruh media untuk tidak turut membesarkan kampanye disinformasi dan narasi kebencian itu.
Sebaliknya, media sejatinya berperan sangat vital untuk memverifikasi seluruh konten disinformasi, sekaligus mengawasi setiap tindakan kekerasan dan diskriminatif dengan target pengungsi.
AJI hingga kini masih menemukan pemberitaan media yang mengembangkan disinformasi dan narasi kebencian.
Kondisi itu berpotensi memperkuat diskriminasi dan kebencian di masyarakat hingga mengarah pada tindak kekerasan, baik secara langsung maupun tidak kepada pengungsi etnis Rohingya.
“Media harus berhati-hati di tengah banjirnya hoaks dan narasi kebencian terhadap etnis Rohingya yang terjadi menjelang Pemilu 2024, sehingga isu ini mudah dipolitisasi demi tujuan elektoral,” kata Sasmito melalui keterangan tertulisnya yang diterima PARBOABOA, Kamis (28/12/2023).
Menurutnya, pemberitaan media sejatinya mengedepankan perspektif pemenuhan hak-hak pengungsi, termasuk pengungsi anak-anak dan perempuan.
Selain itu juga memberitakan fakta-fakta situasi kekerasan yang dialami etnis Rohingya di negara asalnya, termasuk kondisi pengungsian sebelumnya yang membuat mereka mencari keselamatan ke negara lain, hingga bagaimana tanggung jawab pemerintah daerah dan pemerintah Indonesia untuk menangani pengungsi.
Sasmito menuturkan, media harus memahami meskipun Indonesia belum menandatangani Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, namun Indonesia memiliki Undang-undang Hak Asasi Manusia.
Dalam hak ini, Indonesia terikat pada prinsip hukum internasional yaitu non-refoulement yang melarang penolakan suaka dan meminta perlindungan dari masyarakat internasional akibat menghadapi persekusi dan penganiayaan di negara asalnya, serta instrumen hukum internasional yang sudah diratifikasi, seperti Konvensi Anti Penyiksaan.
Apalagi kata Sasmito, pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.
Perpres tersebut menjadi acuan pemerintah menangani pengungsi dari luar negeri. Perpres 125 sendiri sudah secara komprehensif mengatur pembagian peran dan tanggung jawab, antara pemerintah pusat dan daerah dengan pembiayaan dari organisasi internasional dalam menangani kondisi darurat seperti yang terjadi saat ini.
Ingat Kode Etik Jurnalistik
Ketua AJI Kota Banda Aceh, Juli Amin, menekankan media harus lebih banyak mengawasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Khususnya dalam menjalankan Perpres No 125/2016 dan berbagai
prinsip hukum internasional demi menangani dan menjamin hak-hak pengungsi etnis Rohingya sebelum mereka mendapat suaka di negara lain.
Menurut Juli, melihat pada pengalaman 2015, pemerintah daerah dan masyarakat Aceh menyambut baik dan menerima pengungsi etnis Rohingya. Pengalaman dan praktik baik masyarakat Aceh untuk menerima pengungsi etnis Rohingya tersebut harus diperkuat melalui pemberitaan media agar dapat meredam narasi kebencian.
Kode Etik Jurnalistik Pasal 1, Pasal 3, dan Pasal 8 bisa menjadi acuan jurnalis dalam memberitakan isu pengungsi.
Lebih rinci, Pasal 3 mengatur agar wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Kemudian Pasal 8 Kode Etik Jurnalistik yang mengatur agar Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi.
Dalam hal ini, terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
“Selain memberitakan tentang fakta yang sudah dicek kebenarannya, media juga harus mampu menyuarakan nilai-nilai dasar kemanusiaan, termasuk keragaman, saling berbagi, dialog, bertukar ide dan pengetahuan, saling toleransi dan saling menghormati, saling bergantung, dan saling terhubung sebagai sesama manusia,” kata Juli Amin.
Untuk diketahui, kini terdapat 14 ribu pengungsi dari berbagai negara di Indonesia yang belum jelas masa depannya. Mereka juga menderita atas berbagai konflik dan kekerasan termasuk pengungsi dari etnis Rohingya maupun Afghanistan.
Editor: Aprilia Rahapit