PARBOABOA - Pernahkah kamu mendengar istilah musafir? Menurut pendapat para ulama, yang dilansir dari laman resmi moraref.kemenag, salah satu faktor yang memungkinkan seseorang untuk menjalankan shalat qashar yaitu ketika sedang melakukan musafir.
Musafir adalah orang yang sedang dalam keadaan perjalanan jauh sepanjang 85 KM. Nah, selama perjalanan, penting untuk tidak memiliki niatan tinggal di suatu wilayah lebih dari empat hari.
Jika, ada niatan bagi seseorang untuk menjadikan suatu wilayah sebagai tempat tinggal selama lebih dari empat hari, dan perjalanan yang ditempuh kurang dari 85 km, maka statusnya sebagai seorang dalam pandangan fikih akan berubah.
Dalam kondisi seperti ini, seseorang dianggap sebagai musafir artinya diberikan kemudahan dalam melaksanakan beberapa kewajiban agama, terutama dalam hal ibadah shalat.
Sehingga, mereka diizinkan untuk mempersingkat dan menggabungkan beberapa rakaat shalat. Shalat musafir adalah ibadah yang memiliki empat rakaat, seperti Dzuhur dan Ashar, dapat dipersingkat menjadi dua rakaat.
Begitu pula, shalat yang biasanya dijalankan sendiri, seperti Maghrib dan Isya, dapat digabungkan menjadi satu waktu jika berada dalam kondisi di perjalanan.
Namun, jangan menganggap kemudahan ini sebagai keringanan tanpa syarat. Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi agar seseorang dikatakan sah.
Lalu, apa saja syarat seseorang bisa dikatakan sebagai musafir? Berikut Parboaboa telah menyajikan berbagai informasinya. Yuk, simak selengkapnya dibawah ini agar kamu tidak hanya berandai-andai.
Mengenal Apa itu Musafir?
Seorang musafir adalah individu yang melakukan perjalanan dari lokasi asalnya ke tempat lain yang memiliki jarak yang signifikan jauh dari tempat asalnya. Dalam konteks agama Islam, musafir adalah kepada individu yang memenuhi kriteria tertentu dalam melakukan perjalanan jauh yang disebut "safar".
Arti musafir diambil dari bahasa Arab, sebagai isim Fa'il dimana musafir adalah orang yang sedang dalam keadaan di perjalanan jauh. Seorang musafir artinya diberikan keringanan dalam menjalankan ibadah, seperti shalat dan puasa. Namun, terdapat syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi untuk mendapatkan keringanan ini.
Salah satunya adalah jarak perjalanan yang harus mencapai sejumlah tertentu. Umumnya, mayoritas ulama setuju bahwa seseorang dapat dianggap menjalani perjalanan jauh jika jarak perjalanan yang ditempuh mencapai minimal 85 km, dan ini memungkinkan mereka untuk mendapatkan kemudahan dalam beribadah.
Sebagai contoh, seorang perantau diperbolehkan untuk tidak menjalankan puasa wajib dan boleh tidak mengikuti shalat Jumat, tetapi mereka tetap diwajibkan menjalankan shalat musafir adalah menggabungkan atau mengurangkan rakaat shalat wajib.
Penting untuk dicatat bahwa keringanan yang diberikan kepada mereka hanya berlaku jika tujuan perjalanannya tidak bertentangan dengan ajaran agama dan tidak melibatkan tindakan maksiat kepada Allah.
Terdapat penjelasan yang telah ditulis dalam dalil Al-Qur'an yang mengatur tentang puasa bagi mereka yang dalam keadaan perjalanan jauh adalah sebagai berikut:
Ùَمَنْ كَانَ Ù…ÙنْكÙمْ مَرÙيضًا أَوْ عَلَىٰ سَÙَر٠ÙَعÙدَّةٌ Ù…Ùنْ أَيَّام٠أÙخَرَ
Artinya: "Allah berfirman, 'Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (Al-Baqarah/2: 184)
Ùَمَنْ Ø´ÙŽÙ‡Ùدَ Ù…ÙنْكÙم٠الشَّهْرَ ÙَلْيَصÙمْه٠ۖ وَمَنْ كَانَ مَرÙيضًا أَوْ عَلَىٰ سَÙَر٠ÙَعÙدَّةٌ Ù…Ùنْ أَيَّام٠أÙخَرَ Û— ÙŠÙرÙيد٠اللَّه٠بÙÙƒÙم٠الْيÙسْرَ وَلَا ÙŠÙرÙيد٠بÙÙƒÙم٠الْعÙسْرَ
Artinya: "Maka siapa saja di antara kalian yang berada di tempat tersebut selama bulan itu, hendaklah ia berpuasa selama bulan tersebut. Dan barangsiapa yang sakit atau sedang dalam perjalanan (dan kemudian berbuka), maka ia wajib menggantinya dengan berpuasa pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan bukan kesulitan." [Al-Baqarah/2: 185]
Hukum Shalat Jamak dan Qashar Bagi Musafir
Hukum melaksanakan menjama shalat bagi seorang musafir adalah sebuah keringanan dalam pelaksanaan ibadah shalat bagi individu yang sedang dalam dalam perjalanan jauh.
Dalam konteks hukum agama Islam, shalat jamak merujuk pada menggabungkan dua jenis shalat dalam satu waktu tertentu. Ini termasuk menggabungkan shalat Dzuhur dan Ashar, serta Maghrib dan Isya.
Di sisi lain, shalat qashar melibatkan mempersingkat jumlah rakaat shalat yang biasanya empat rakaat, menjadi dua rakaat untuk shalat Dzuhur, Ashar, dan Isya.
Hukum shalat jamak dan qashar ini berlaku untuk musafir artinya yang memenuhi beberapa syarat.
Pertama, mereka harus benar-benar meninggalkan daerah tempat tinggal mereka. Hanya dengan pergi dari wilayah tersebut, seseorang bisa dianggap.
Meskipun mereka telah menempuh jarak tertentu, jika belum keluar dari daerah tempat tinggal, keringanan-keringanan ini tidak berlaku.
Selanjutnya, mereka juga harus memiliki tujuan yang pasti dalam perjalanannya. Artinya, perjalanan ini harus memiliki arah dan tujuan yang spesifik, bukan hanya sekedar berkeliaran tanpa tujuan yang jelas.
Selain itu, perjalanan tersebut haruslah tidak bertentangan dengan ajaran agama, sehingga tujuan seperti melakukan dosa atau perbuatan yang dilarang oleh Islam tidak diperbolehkan.
Terakhir, ada jarak minimal yang harus ditempuh oleh perantau dari wilayah tempat tinggalnya hingga ke tempat tujuannya.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang ukuran jarak minimal ini. Menurut mazhab Syafi’i dan Maliki, jarak minimal adalah 77 kilometer, sedangkan menurut Madzhab Abu Hanifah, jarak minimalnya adalah 115 kilometer.
Jadi, hukum melaksanakan menjama shalat bagi mereka yang melakukan perjalan jauh terutama shalat jamak dan qashar memberikan kelonggaran dalam menjalankan ibadah shalat bagi mereka yang sedang dalam perjalanan, namun tetap terikat pada syarat yang telah ditentukan.
Tujuan Musafir
Terdapat beberapa tujuan yang menjadi landasan bagi seseorang dalam menjalani perjalanan sebagai seorang musafir dalam Islam:
1. Mengambil Pelajaran dan Menambah Pengalaman dalam Kehidupan
Perjalanan sebagai musafir memberikan peluang untuk mengenal budaya, lingkungan, dan masyarakat yang berbeda. Ini memungkinkan seseorang untuk memperluas wawasan dan pengalaman hidup mereka, sehingga memperkaya perspektif mereka terhadap dunia.
2. Melatih Kesabaran
Perjalanan seringkali membawa tantangan, termasuk keterbatasan dan ketidaknyamanan. Sebagai musafir, seseorang dapat mengalami kendala dalam transportasi, akomodasi, dan situasi lainnya yang memerlukan kesabaran dalam menghadapinya. Ini adalah peluang untuk melatih kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi berbagai ujian.
3. Menambah Teman dan Saudara serta Memperluas Rezeki
Dalam perjalanan, seseorang dapat bertemu dengan orang-orang baru dan menjalin hubungan dengan mereka. Terutama dalam lingkungan yang berbeda, ini membuka peluang untuk mengembangkan ikatan persaudaraan dan persahabatan. Selain itu, perjalanan juga dapat membuka pintu rezeki dengan cara yang tidak terduga, karena Allah SWT diketahui memberkahi dan memberikan berlimpah rezeki-Nya kepada mereka yang berusaha.
4. Meningkatkan Rasa Syukur kepada Allah
Melalui perjalanan, seseorang dapat melihat berbagai kondisi kehidupan di tempat lain, baik yang lebih baik maupun lebih sulit. Ini mengingatkan mereka akan nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT di tempat asalnya. Perbandingan ini dapat meningkatkan rasa syukur dan penghargaan terhadap apa yang dimilikinya, serta meningkatkan kesadaran akan karunia Allah dalam kehidupan sehari-hari.
Syarat Musafir
Tidak semua individu yang melakukan perjalanan bisa disebut sebagai musafir adalah mendapatkan kemudahan dalam menjalankan ibadah. Ahmad Sarwat dalam karyanya, Seri Fiqih Kehidupan 3, menguraikan tiga persyaratan pokok, di antaranya:
1. Pergi dari Tempat Tinggal
Seseorang baru dapat disebut sebagai perantau jauh jika ia meninggalkan watan atau daerah asalnya. Meskipun ia telah melalui jarak yang menandakan status tersebut, jika ia belum meninggalkan wilayah tempat tinggalnya, maka ia tidak bisa dianggap. Inilah sebabnya keringanan-keringanan yang berlaku bagi mereka tidak berlaku yang belum meninggalkan daerah asalnya.
Contohnya, seseorang yang mengendarai mobil dan memasuki jalan tol di Jakarta. Sekalipun alat ukur jarak menunjukkan bahwa ia telah menempuh lebih dari 100 kilometer, jika ia hanya berkeliaran di dalam kota dan kemudian pulang ke rumah, ia tidak dianggap sebagai pejalan jauh.
2. Memiliki Tujuan yang Spesifik
Mereka juga harus memiliki tujuan perjalanan yang pasti dan terperinci, bukan sekadar berjalan tanpa arah atau tujuan yang jelas. Selain itu, perjalanan tersebut juga tidak boleh memiliki tujuan yang bertentangan dengan ajaran agama, seperti tujuan untuk melakukan dosa atau perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT.
Perjalanan dengan niat mencuri, berjudi, melakukan transaksi riba, mengamalkan sihir, atau perbuatan dosa lainnya tidak dibenarkan. Dalam hal ini, keringanan seperti jama' atau qashar dalam shalat tidak berlaku bagi mereka yang melakukan tindakan-tindakan tersebut.
3. Menempuh Jarak Minimal ke Tujuan
Seseorang dianggap sebagai musafir adalah jika ia telah menempuh jarak minimal dari wilayah tempat tinggalnya hingga ke tujuan perjalanan. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai besaran jarak minimal ini.
Menurut Quraish Shihab dalam bukunya "Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut kamu Ketahui," mazhab Syafi'i dan Maliki menyatakan bahwa jarak minimal yang harus ditempuh oleh seorang musafir adalah 77 kilometer. Sementara menurut Madzhab Abu Hanifah, jarak minimalnya adalah 115 kilometer.
Menurut pandangan Imam Ahmad, status seorang individu tidak berlaku lagi apabila dia berniat untuk tinggal selama empat hari atau lebih di suatu lokasi. Imam Syafi’i dan Malik juga berpendapat demikian. Sementara Imam Abu Hanifah membenarkan sampai lima belas hari
Tiga Keringanan Sholat
Menurut penjelasan yang diberikan oleh Ustaz Abdurrahim dalam bukunya berjudul "Panduan Pelaksanaan Salat Wajib," terdapat beberapa keringanan dalam pelaksanaan shalat musafir adalah tercantum tiga jenis keringanan shalat yang bisa diterapkan, yaitu:
1. Salat Jamak
Salat Jamak adalah bentuk shalat yang dilakukan dengan menggabungkan dua salat wajib pada waktu yang sama. Dalam hal ini, shalat dzuhur dapat digabungkan dengan salat ashar, serta shalat maghrib dengan sholat isya. Terdapat dua variasi dalam Salat Jamak:
- Shalat Jamak Taqdim, yaitu melakukan shalat yang pertama pada waktu shalat pertama, seperti menggabungkan shalat dzuhur dan ashar pada waktu dzuhur. Kemudian, shalat yang kedua dilaksanakan sesudahnya, misalnya shalat ashar.
- Shalat Jamak Takhir, yaitu melaksanakan shalat yang pertama pada waktu shalat kedua, seperti menggabungkan salat zuhur dan ashar pada waktu ashar. Setelah itu, melaksanakan salat yang kedua, seperti salat zuhur.
2. Salat Qasar
Shalat Qasar melibatkan pengurangan dua rakaat dalam shalat yang biasanya memiliki empat rakaat. Dalam Salat Qasar, tasyahud awal tidak dilakukan, melainkan langsung melakukan tasyahud akhir. Keringanan ini hanya berlaku untuk shalat wajib yang normalnya memiliki empat rakaat, seperti shalat dzuhur, ashar, dan isya.
3. Salat Jamak Qasar
Salat Jamak Qasar merupakan kombinasi antara Salat Jamak dan Salat Qasar. Dalam hal ini, kita dapat menggabungkan dua jenis shalat pada waktu shalat pertama (Jamak Taqdim) atau pada waktu shalat kedua (Jamak Takhir), dengan mengurangi jumlah rakaat menjadi dua rakaat saja.
Itulah informasi terkait seluk beluk seorang musafir. Semua kelonggaran yang diberikan ini tetap diikuti oleh aturan-aturan yang ditetapkan oleh agama.
Mari bersama-sama mengeksplorasi lebih dalam mengenai perantau dalam melakukan perjalanan jauh pada Islam agar tidak salah mengartikannya, ya! Semoga bermanfaat dan nantikan artikel menarik lainnya hanya di sini!