PARBOABOA - Jamaah Islamiyah (JI) secara resmi mengumumkan pembubarannya dalam deklarasi puncak di Surakarta, Jawa Tengah, pada Sabtu (21/12/2024).
Acara ini dihadiri ribuan mantan anggota JI dari wilayah Surakarta, Kedu, dan Semarang. Sebanyak 1.400 perwakilan eks anggota JI menyatakan siap kembali ke pangkuan NKRI, mematuhi hukum yang berlaku, serta berkomitmen untuk menjauhkan diri dari paham dan kelompok ekstrem.
Menyusul pembubaran tersebut, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, mengungkapkan bahwa Kemenko Kumham Imipas akan melakukan pendataan terhadap narapidana anggota JI.
Pendataan ini bertujuan untuk menentukan jumlah narapidana yang dapat dibebaskan bersyarat dan yang bisa mengajukan grasi kepada Presiden.
Yusril mengatakan, Prabowo Subianto akan memprioritaskan anak-anak dan yang berada dalam usia produktif untuk diberikan amnesti.
Sementara narapidana berkebangsaan asing akan dipindahkan ke negara asalnya secara selektif. Saat ini, proses amnesti serta abolisi sedang dirumuskan dan diupayakan rampung pada awal 2025.
Di balik pengumuman pembubaran JI, terdapat dua tokoh utama yang selama ini memegang peran penting dalam perjalanan kelompok ini, yakni Abu Rusydan dan Para Wijayanto.
Keduanya merupakan figur yang tak terpisahkan dari sejarah JI, baik dalam hal ideologi maupun operasional.
Pembubaran JI dan pendataan narapidana ini membuka peluang bagi keduanya untuk dibebaskan bersyarat, tetapi apakah keduanya layak mendapatkan kesempatan itu? Mari simak sepak terjang keduanya!
Abu Rusydan: Pemimpin Ideologis Jamaah Islamiyah
Abu Rusydan, yang lahir pada 16 Agustus 1960 di Kudus, merupakan salah satu tokoh paling berbahaya dalam jaringan terorisme Jamaah Islamiyah (JI).
Dikenal dengan nama alias seperti Bap Suyata, Salim, dan Mukti Wibowo, ia bukan hanya seorang ulama radikal, tetapi juga merupakan bagian dari Dewan Syuro JI, yang bertugas memberikan arahan strategis untuk kelompok teroris tersebut.
Rusydan pertama kali mencuri perhatian aparat keamanan pada 2004, ketika ia ditangkap oleh Densus 88 karena terlibat dalam penyembunyian Ali Gufron alias Muklas, pelaku utama bom Natal tahun 2000 yang menewaskan puluhan orang.
Keputusan hukuman 3,5 tahun penjara yang dijalaninya tampaknya tidak cukup untuk memadamkan semangat jihad yang terus menyala dalam dirinya.
Setelah bebas, Abu Rusydan semakin aktif dengan berkeliling Indonesia untuk menyebarkan ideologi kekerasan dan radikalisasi melalui ceramah-ceramah ekstremis.
Ia dikenal dengan ajaran yang mengutuk sistem Pancasila, bahkan dalam beberapa ceramahnya, ia menyatakan bahwa Pancasila bukanlah ideologi yang sesuai dengan ajaran Islam.
Keberadaannya semakin menambah ketegangan, dengan pengikut yang semakin banyak, terutama di media sosial.
Selain itu, Abu Rusydan bukan hanya seorang penceramah, tetapi juga telah berlatih militer di Afghanistan pada 1990, berinteraksi langsung dengan Osama bin Laden, dan mengikuti pelatihan militer di Camp Sadda, Pakistan.
Pelatihan ini menjadikannya bukan hanya sekedar pengajar, tetapi juga sosok yang memahami taktik kekerasan dengan sangat baik.
Pada 2021, penangkapannya di Babelan, Bekasi, oleh Densus 88 menandakan bahwa meskipun sudah sering dipenjara, Abu Rusydan tetap menjadi ancaman besar.
Sebagai anggota Dewan Syuro JI, ia berperan langsung dalam merancang strategi operasional kelompok teroris ini, memberikan arahan kepada para anggotanya untuk melanjutkan aksi-aksi teror yang telah merenggut banyak nyawa di Indonesia.
Para Wijayanto: Figur Kunci dalam Jaringan Operasional JI
Para Wijayanto adalah mantan pemimpin Jamaah Islamiyah (JI) yang bertanggung jawab atas berbagai aksi teror di Indonesia.
Lahir di Subang, Jawa Barat, pada 8 Agustus 1964, ia memiliki latar belakang pendidikan sebagai lulusan S-1 Teknik Sipil dari Universitas Diponegoro, Semarang.
Ia kemudian mengikuti pelatihan militer di Moro, Filipina, pada 2000, yang memperkuat keterampilannya dalam perakitan bom dan taktik militer.
Sebagai pemimpin JI sejak 2008, Para Wijayanto berperan penting dalam merancang dan melaksanakan berbagai aksi teror di Indonesia.
Ia terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan serangan bom di Bali pada tahun 2002 yang menewaskan 202 orang, serta serangan bom di Kedutaan Besar Australia pada tahun 2004 yang menewaskan sembilan orang.
Selain itu, ia juga terlibat dalam kerusuhan di Poso, Sulawesi Tengah, antara 2005 hingga 2007, yang menyebabkan banyak korban jiwa dan kerusakan.
Salah satu peranannya yang paling berbahaya adalah dalam pembentukan "Strategi Tamkin," yang bertujuan mendirikan pemerintahan Islam secara bertahap, dimulai dari dakwah dan membangun komunitas yang mendukung ideologi ekstremis.
Para Wijayanto juga terhubung dengan jaringan teroris internasional, termasuk Al-Qaeda dan kelompok-kelompok radikal di Filipina, yang memperkuat dampak dari kegiatan teroris yang ia pimpin.
Pada 2019, setelah lebih dari satu dekade menjadi buronan, Para Wijayanto akhirnya ditangkap oleh Densus 88 di sebuah hotel di Bekasi, Jawa Barat.
Jejak keduanya yang begitu kelam meninggalkan banyak pertanyaan, apakah mereka layak mendapatkan kesempatan bebas bersyarat.
Mengingat amnesti yang masih dalam proses penyusunan, nasib Abu Rusydan dan Para Wijayanto pun belum dapat dipastikan, menunggu keputusan akhir yang akan menentukan arah kebijakan ini ke depan.