Memutus Rantai Terorisme dengan Pendekatan Soft Approach

Ilustrasi anggota Jamaah Islamiyah (JI) dengan ideologinya yang ekstrim (Foto: Unsplash)

PARBOABOA, Jakarta - Salah satu organisasi yang terafiliasi dengan terorisme, yaitu Jamaah Islamiyah (JI) baru saja mendeklarasikan pembubaran.

Sejumlah tokoh penting organisasi itu menyatakan, keputusan tersebut bukan karena tekanan dari pihak manapun, melainkan karena adanya kesadaran bersama akan pentingnya cinta tanah air dan menjaga ideologi pancasila.

Kendati demikian, pembubaran JI tidak berarti aksi terorisme akan berhenti dengan sendirinya. Buktinya, di awal bulan ini, Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti-Teror Polri berhasil mengungkap rencana teror dari kelompok radikal lain, yaitu Anshor Daulah di wilayah Jawa Tengah.

Dalam operasi tersebut, Densus 88 berhasil menangkap tiga terduga teroris berinisial BI, ST, dan SQ di Kudus, Demak, dan Karanganyar. Ketiganya diduga terkait dengan kelompok radikal yang aktif menyebarkan propaganda dan merencanakan aksi teror.

Selain merencanakan tindakan kekerasan, mereka juga diketahui menggunakan media sosial untuk menyebarkan narasi provokatif. 

Dari terduga pelaku, polisi menyita berbagai barang bukti, seperti senjata tajam, busur panah, perangkat elektronik, buku radikalisme, dan spanduk berisi propaganda.

Anshor Daulah adalah kelompok teroris yang telah dilarang sejak 2018. Namun, meski dinyatakan ilegal, aktivitas mereka tetap berlangsung, mulai dari perekrutan hingga penyebaran ideologi radikal. Kelompok ini juga memiliki sejarah keterlibatan dalam berbagai serangan besar di Indonesia.

Mengacu pada ancaman inilah kewaspadaan harus tetap ditingkatkan. Ada banyak cara untuk memutus rantai terorisme di Indonesia, salah satunya melalui strategi atau pendekatan Soft Approach.

Secara sederhana, pendekatan soft approach dalam terorisme adalah cara penyelesaian konflik dengan cara damai dan terukur.

Peneliti The Indonesian Strategic Policy Institute/CTSC-UI, sekaligus penulis buku 'NII sampai JI: Salafi Jihadisme di Indonesia', Solahudin menerangkan, di Indonesia pendekatan model ini belum maksimal.

Padahal, kata dia, pendekatan soft approach sangat penting karena bertujuan untuk menyelesaikan akar masalah terorisme, melalui deradikalisasi dan kontra radikalisme.

"Jika akar masalah benar-benar bisa diselesaikan, kita bisa berharap dan optimis bahwa terorisme di Indonesia akan menurun drastis," tegasnya.

Menurutnya, pengabaian terhadap aspek ini sangat terasa. Buktinya, meski banyak tersangka teroris yang berhasil ditangkap atau bahkan ditembak mati, kasus terorisme masih terus bermunculan. 

Hal itu, tegasnya, menunjukkan bahwa penanganan tidak cukup hanya mengandalkan hard approach melalui  "penindakan, penyergapan dan penangkapan" tetapi juga perlu strategi yang lebih menyeluruh untuk mencegah terorisme sejak awal.

Tiga Kategori Pelaku Teror

Solahudin, yang sering berinteraksi dengan mantan pelaku terorisme, membagi pelaku ke dalam tiga kategori berdasarkan sikap mereka setelah menjalani masa hukuman.

Pertama, kelompok yang masih radikal. Mereka tetap meyakini bahwa aksi teror yang dilakukan sesuai dengan tuntutan syariat dan tidak menyesali perbuatannya. 

Di dalam penjara, kata dia, mereka cenderung tidak kooperatif, menolak program pembinaan, bahkan enggan beribadah di masjid Lapas karena menganggapnya sebagai masjid yang tidak sah menurut ajaran mereka.

Kedua, kelompok yang sudah melalui proses disengagement atau pelepasan dari kelompoknya. Mereka tidak lagi mendukung kekerasan, tetapi sikap ini bersifat sementara dan situasional. 

Biasanya, mereka menilai bahwa saat ini aksi teror lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Berbeda dengan kelompok pertama, jelas Solahudin,  mereka lebih kooperatif, mengikuti pembinaan di Lapas, dan beribadah di masjid tanpa keberatan.

Ketiga, kelompok yang benar-benar bertobat. Mereka meninggalkan paham kekerasan secara total dan bahkan ada yang aktif melawan terorisme. 

Jumlah mereka tidak banyak, tetapi proses pertobatan ini biasanya terjadi setelah melalui refleksi mendalam terhadap paham mereka, disertai diskusi dengan keluarga atau orang terdekat. 

Beberapa di antaranya mulai mempertanyakan ideologi mereka setelah melihat dampak buruk dari aksi mereka, terutama ketika korban yang jatuh adalah sesama Muslim. 

Pola perubahan ini, menurut Solahudin, perlu diteliti lebih lanjut untuk mendukung upaya moderasi yang lebih efektif.

Ia menegaskan, dalam konteks inilah pendekatan soft approach menjadi sangat relevan, dimana posisi korban sebagai agen perdamaian memiliki peran yang sangat penting "karena mereka memiliki otoritas untuk menunjukkan bahwa kekerasan bukanlah solusi."

Dengan kata lain, pengalaman penderitaan mereka menjadi narasi kuat yang tidak hanya menyentuh masyarakat luas, tetapi juga berdampak besar pada para pelaku kekerasan.

Solahudin bercerita, ada mantan pelaku yang merasa sangat tertekan setelah bertemu dengan korban Muslim yang kehidupannya hancur akibat aksi teror. Hal ini membuatnya stres karena menyadari dampak buruk tindakannya terhadap sesama Muslim, sekaligus memikirkan konsep dosa jariyah.

Dosa jariyah ini terus bertambah selama korban dan keluarganya mengalami penderitaan. Misalnya, jika kehidupan ekonomi korban hancur sehingga ada anggota keluarga yang terpaksa melakukan tindakan kriminal seperti menjual narkoba untuk bertahan hidup, maka dosa itu juga dianggap menjadi tanggungan pelaku. 

Bahkan, semakin besar dampak dari tindakan tersebut, seperti banyaknya orang yang terkena dampak narkoba, semakin berat pula dosa yang harus ditanggung oleh pelaku.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS