MK Tolak Gugatan Batas Usia Capres dan Cawapres, Dua Hakim Berbeda Pendapat

Suasana sidang Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memutuskan gugatan batas usia minimal 40 tahun Capres dan Cawapres di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023). (Foto: PARBOABOA/Muazam)

PARBOABOA, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi atau judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengenai batas usia minimal 40 tahun calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres).

"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Anwar Usman dalam sidang terbuka di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).

Dalam pertimbangannya, mahkamah menilai aturan batas usia minimal 40 tahun itu merupakan wewenang pembuat undang-undang yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Sehingga, menurut Hakim Konstitusi Saldi Isra, perubahan batas usia minimal 40 tahun capres dan cawapres semestinya dilakukan DPR lewat perubahan undang-undang.

"Menjadi ranah DPR dan presiden untuk membentuk undang-undang terkait batas usia minimal capres dan cawapres," kata Saldi Isra dalam membacakan pertimbangan Mahkamah Konstitusi.

Ia menegaskan, Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sebab, Pasal 6 UUD 1945 tidak menyebut gamblang ihwal batas usia minimal capres dan cawapres.

"Pasal 6 UUD 1945 hanya menyebut calon presiden dan calon wakil presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden," ucap Saldi.

Sementara Pasal 6 UUD 1945, juga menegaskan syarat-syarat menjadi presiden dan wakil presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

Dua Hakim Berbeda Pendapat

Keputusan MK soal permohonan batas usia minimal juga diwarnai dissenting opinion atau perbedaan pendapat.

Perbedaan pendapat tersebut datang dari dua Hakim Konstitusi, yakni Suhartoyo dan M. Guntur Hamzah.

Hakim Suhartoyo berpendapat, seharusnya permohonan pemohon tidak dapat diterima karena yang bersangkutan tidak mempunyai legal standing dalam mengajukan gugatan tersebut.

"Seharusnya mahkamah menegaskan, permohonan a quo tidak memenuhi syarat formil dan menyatakan permohonan tidak dapat diterima," tegas Suhartoyo.

Sementara itu, hakim Guntur berpendapat beda. Ia menilai mestinya permohonan judicial review Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengenai batas usia dapat dikabulkan sebagian.

"Permohonan a quo seharusnya dikabulkan sebagian. Sehingga pasal a quo dinyatakan inkonstitusional bersyarat, sepanjang tidak dimaknai usia paling rendah 40 tahun atau pernah dan menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk kepala daerah," ujar Guntur dalam membacakan perbedaan pendapatannya.

Ia berpendapat, batas usia minimal 40 tahun bisa dikesampingkan bila capres dan cawapres pernah atau sedang menjabat kepala daerah yang dipilih langsung rakyat.

Dalam pertimbangannya, Guntur menyebut di negara lain juga terdapat pemimpin yang usianya di bawah 40 tahun.

"Menurut hemat saya, perlu dipertimbangkan kebutuhan pemimpin dan batas usia sesuai perkembangan zaman," ucapnya.

Dia menganggap, orang di bawah usia 40 tahun tidak serta-merta tidak layak menjadi capres dan cawapres. Padahal, ia bisa saja layak sepanjang berpengalaman sebagai kepala daerah.

Uji materi ini berdasarkan permohonan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), terutama terkait Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Pasal 169 mengatur perihal batas usia minimal 40 tahun capres dan cawapres.

Dalam petitumnya, PSI meminta MK mengubah batas usia tersebut menjadi 35 tahun. Mereka beranggapan, batas usia minimal 40 tahun itu membatasi hak warga negara untuk dipilih sebagai capres dan cawapres.

PSI menilai, pembatasan tersebut juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Editor: Kurniati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS