PARBOABOA, Jakarta - Ketergantungan global pada energi fosil menimbulkan banyak masalah. Dampak paling dominan adalah terjadinya perubahan iklim dan melemahnya ketahanan energi.
Untuk mengatasi ini, transisi dari energi konvensional ke energi terbarukan atau EBT menjadi sangat penting dan mendesak.
Salah satu solusi dekarbonisasi yang efektif, juga sedang gencar dilakukan adalah pencampuran batubara dengan biomassa (Co-firing).
Langkah ini bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan CO2 yang dihasilkan dari penggunaan energi fosil.
Indonesia telah memulainya dengan sumber biomassa yang berlimpah.
Meiri Triani dan tim, dalam jurnal 'Potensi Dekarbonisasi Pembangkit Listrik Batubara Melalui Co-firing Biomassa dan Carbon Capture Utilization,' mengidentifikasi dua jenis biomassa yang tersedia di Indonesia: biomassa darat dan perairan.
Biomassa darat terbagi menjadi dua kategori. Kategori pertama meliputi biji jagung, tebu dan kacang kedelai. Kategori kedua mencakup biomassa selulosa seperti sisa pertanian, sisa hutan, dan tanaman energi.
Sementara itu, Raychaudhuri & Ghosh (2016) mengidentifikasi sumber biomassa potensial lainnya, termasuk kelapa sawit, beras, kayu dan sampah perkotaan sebagai sumber energi baru.
Sebagian besar biomassa ini terkonsentrasi di Sumatera (48%), diikuti oleh Jawa dan Bali (28%), serta Kalimantan (16%). Di antara semua jenis biomassa yang tersedia, kelapa sawit dan sekam padi memiliki potensi terbesar.
Co-Firing Biomassa di Indonesia
Di tengah kelimpahan sumber biomassa ini, bagaimana implementasinya di Indonesia?
Sebenarnya, program uji coba co-firing biomassa pada PLTU batubara milik PLN Group telah berjalan selama lebih dari satu tahun di lebih dari tiga puluh lokasi unit pembangkit.
Namun, dalam pelaksanaan, masih banyak masalah yang muncul, terutama dampaknya bagi masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU.
Parboaboa mencatat pengalaman warga Desa Mekarsari, Kecamatan Patrol, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, yang merasa kewalahan sejak PLTU mulai beroperasi.
Mereka mengeluhkan hasil panen padi yang terus menurun, dengan kontur tanah yang semakin mengering di area persawahan.
Warga juga merasakan penurunan kualitas hasil pertanian mereka, dengan padi yang berubah warna menjadi kemerahan, batang yang mengering dan daun yang diserang ulat.
Padahal, sebelum PLTU 1 Indramayu beroperasi, lahan pertanian di desa ini sangat subur dan para petani jarang menghadapi krisis. Mereka bahkan bisa menanam tanaman hortikultura di sawah setelah panen padi.
Selain dampak pada pertanian, kehadiran PLTU Indramayu juga memengaruhi kesehatan warga. Asap yang dihasilkan, menurut laporan WALHI, mengandung partikel berbahaya seperti SOx, NOx, PM10 dan PM2.5, yang dapat menyebabkan berbagai penyakit pernapasan dan memperburuk kualitas hidup masyarakat setempat.
Data dari Dinas Kesehatan Indramayu menunjukkan. peningkatan kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Kecamatan Patrol dan Sukra, wilayah di mana PLTU Indramayu beroperasi.
Pada tahun 2019, Kecamatan Patrol mencatat 145 kasus ISPA, yang meningkat menjadi 301 kasus pada 2020 dan 289 kasus pada 2021. Di Kecamatan Sukra, kasus ISPA meningkat dari 181 pada 2019 menjadi 183 pada 2020 dan 186 pada 2021.
Pekerjaan Rumah
Transisi energi mendesak terutama karena dampak lingkungan dan kesehatan manusia yang ditimbulkan oleh eksploitasi dan pembakaran bahan bakar fosil.
Dengan munculnya inovasi seperti co-firing biomassa, penting untuk memastikan keberlanjutan lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Pekerjaan rumah saat ini adalah memperbaiki kekurangan yang ada, termasuk dampak yang dirasakan oleh masyarakat di Indramayu.
Aspek keselamatan dan kesehatan kerja menjadi krusial dalam proses dekarbonisasi pembangkit listrik di Indonesia.
Penerapan teknologi energi terbarukan memiliki potensi besar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) yang berkontribusi terhadap perubahan iklim, sekaligus memberikan manfaat bagi lingkungan.
Namun, implementasi teknologi ini harus dilakukan dengan perhatian khusus pada keselamatan dan kesehatan kerja, termasuk dalam hal instalasi dan operasional pembangkit listrik.
Kegagalan sistem atau insiden tak terduga bisa berakibat fatal, seperti kerusakan lingkungan, hilangnya nyawa dan kerugian ekonomi yang besar.
Oleh karena itu, pengembangan teknologi harus fokus pada keamanan dan keandalan, serta memastikan bahwa operasional dan pemeliharaannya dilakukan dengan standar keselamatan yang tinggi.
Dengan demikian, transisi menuju energi terbarukan dapat berjalan dengan sukses dan berkelanjutan, sambil menjaga keselamatan dan kesehatan pekerja dan masyarakat
Editor: Gregorius Agung