Madilog: Warisan Brilian Tan Malaka Lawan Penindasan

Buku Madilog karya Tan Malaka. (Foto: PARBOABOA/Ahmad Ghozali)

PARBOABOA - Di tengah pergerakan revolusi, ada satu kekuatan yang tak selalu terlihat jelas, yaitu gagasan.

Lebih dari sekadar aksi fisik, perubahan besar kerap dimulai dari pemikiran yang mampu mengguncang tatanan dunia, di dalamnya termasuk aspek sosial, ekonomi dan politik.

Gagasan-gagasan itu bisa datang dari siapa saja, mulai dari kaum intelektual, para pejuang, atau bahkan seseorang yang hidupnya penuh dengan pengasingan dan perjuangan keras.

Pemikiran yang terstruktur, berani, dan progresif seringkali menjadi senjata yang lebih kuat dari pedang.

Seperti kata Napoleon Bonaparte, “pena lebih tajam daripada sebilah pedang karena itu saya lebih takut menghadapi tiga surat kabar daripada seribu ujung bayonet". Sebab, ide-ide yang tertuang dalam kata-kata dapat mengguncang dunia lebih dahsyat daripada kekuatan fisik.

Dalam konteks ini, muncul sebuah karya kontroversial yang menawarkan perspektif baru untuk melawan penindasan: Madilog.

Madilog, sebuah konsep yang tidak hanya berbicara tentang ilmu pengetahuan atau teori, melainkan cara berpikir kritis dan logis.

Karya ini menjadi jembatan bagi banyak aktivis dan pemikir masa itu untuk melawan hegemoni, baik kolonialisme maupun ide-ide konservatif yang mengekang kebebasan berpikir.

Dengan mengedepankan pentingnya materialisme dialektika, logika, dan penggunaan sains dalam kehidupan sehari-hari, Madilog membawa pengaruh besar bagi perubahan yang lebih revolusioner di Indonesia.

Tokoh di baliknya

Tan Malaka, sosok di balik Madilog, telah mencurahkan hidupnya demi kemerdekaan.

Pria dengan nama lengkap Sultan Ibrahim Datuk Tan Malaka ini lahir pada tahun 1897 di desa Pandan Gadang di Limopuluh Koto, Payakumbuh, Sumatra Barat.

Pada 10 Januari 1914, Tan Malaka tiba di Belanda untuk melanjutkan studi. Namun dia tidak merasa kerasan dengan kehidupan di negeri kincir angin tersebut. Kesehatannya kian menurun akibat ketidakmampuan fisiknya untuk beradaptasi di lingkungan itu.

Selama melanjutkan studi di Belanda inilah ia mulai mengenal paham sosialisme-komunisme dan kapitalisme-demokrasi. 

Melalui karyanya, ia menunjukkan bahwa perjuangan fisik dan politik harus dilandasi oleh pemahaman intelektual yang kuat. 

Inilah yang menjadikan Madilog sebagai warisan berharga dalam sejarah pemikiran Indonesia.

Tan Malaka adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, meski tidak pernah disebutkan dalam pelajaran sejarah di sekolah.

Perjuangannya dimulai sejak awal tahun 1920-an dan terus berlanjut hingga masa Perang Kemerdekaan.

Ia menulis banyak karya tentang gagasan Indonesia yang merdeka, bahkan jauh sebelum tahun 1945. Salah satu tulisannya yang terkenal berjudul Naar de Republiek Indonesia (Menudju Republik Indonesia) yang ditulis pada tahun 1924.

Selain itu, ia juga menulis karya lain seperti Gerpolek (Gerilya Politik dan Ekonomi), Massa Actie, Merdeka 100%, Dari Penjara ke Penjara, dan masih banyak lagi.

Mengutip jurnal STAI Terpadu Yogyakarta yang berjudul Telaah Kritis Terhadap Pemikiran Dialektika dan Materialisme dalam Buku Madilog Karya Tan Malaka (2020), Tan Malaka adalah sosok yang sering menimbulkan perdebatan.

Awalnya, ia aktif di Sarekat Islam yang berhaluan sosialis, lalu menjadi tokoh Komunis sejak muda.

Namun, ia kemudian dituduh sebagai pengkhianat karena menolak melakukan pemberontakan PKI pada tahun 1926-1927 di Jawa Tengah.

Selain itu, meski dikenal sebagai seorang Muslim yang tetap menjalankan sholat lima waktu, ia juga memegang teguh pemikiran materialisme hingga akhir hayatnya.

Satu lagi kontroversi dalam hidupnya adalah usaha untuk menghubungkan komunisme dengan gerakan Pan Islamisme Jamaludin Al-Afghani, seolah ada hubungan antara materialisme dan Islam.

Madilog: Materialisme, Dialektika dan Logika

Madilog adalah karya terbesar Tan Malaka, terutama di bidang filsafat, yang didalamnya memuat bagaimana sesungguhnya hakekat dunia itu.

Madilog adalah singkatan dari Materialisme, Dialektika, Logika. Buku yang ditulis pada tahun 1942 ini, menggabungkan berbagai pemikiran filsafat dan revolusioner untuk menyadarkan rakyat Indonesia tentang politik dan sosial.

Saat Tan Malaka menulis Madilog, Indonesia sedang berada di bawah kekuasaan Jepang. Banyak pejuang memilih jalur politik dan militer untuk melawan penjajahan.

Namun, ia merasa bahwa perjuangan fisik saja tidak cukup. Menurutnya, rakyat perlu disadarkan secara intelektual agar paham arti pentingnya kemerdekaan dan keadilan sosial.

Meskipun situasi saat itu berbahaya, Tan Malaka menulis Madilog dengan tujuan memberikan landasan teori yang kuat untuk gerakan kemerdekaan.

Dengan bahasa yang tegas, buku ini mengajarkan konsep penting seperti materialisme, dialektika, dan logika. 

Pemikiran tersebut diadaptasi dari ide-ide Karl Marx dan Lenin, dua tokoh besar dalam sejarah perjuangan kelas di dunia.

Tujuan Madilog sebagaimana disinggung dalam pengantarnya adalah untuk ‘menyediakan metode berpikir bagi bangsa terjajah’.

Dalam bukunya, Tan Malaka menyebutkan metode berpikir baru diperlukan oleh karena ‘bangsa Indonesia, dalam masa-masa kitab, masih terbelenggu kegelapan dan diselimuti kepercayaan mistika, logika akan menjadi barang baru yang seharusnya diterima dan diajarkan secara bersamaan dengan ide dialektika dan materialisme.

Tan Malaka merumuskan Madilog sebagai cara berpikir yang harus dimiliki setiap orang untuk memahami realitas sosial dan politik.

Materialisme mengajarkan bahwa segala sesuatu, termasuk masalah sosial dan politik, berasal dari kondisi materi, bukan kehendak Tuhan atau kekuatan gaib.

Dengan memahami konsep ini, rakyat dapat menyadari bahwa ketidakadilan sosial dan penindasan terjadi karena sistem ekonomi dan politik yang tidak adil.

Seperti Marx, Tan Malaka hendak menyinggung “kesadaran palsu” masyarakat bahwa penderitaan, penindasan, dan kekejaman di dunia adalah bagian dari kehendak Tuhan. Ia membalikan pemikiran yang terlampau ideologis dan transendental pada model berpikir yang bersifat materialis. 

Semua situasi batas yang dialami manusia, dengan kata lain menjadi bagian dari kekurangan materi

Sementara Dialektika mengajarkan bahwa segala hal di dunia selalu berubah melalui konflik. Dalam Madilog, Tan Malaka menjelaskan, perubahan sosial hanya terjadi jika ada perlawanan terhadap sistem yang ada, seperti penjajahan dan feodalisme di Indonesia saat itu.

Terakhir, Logika adalah cara berpikir yang rasional dan sistematis. Tan Malaka menekankan bahwa logika penting untuk memahami situasi yang rumit dan menyusun strategi perjuangan yang efektif.

Dengan logika, rakyat bisa membedakan mana yang benar dari yang salah dan membuat keputusan tepat dalam perjuangan.

Pengaruh Madilog sangat besar bagi pemikiran politik di Indonesia, terutama bagi para aktivis kemerdekaan yang kerap menjadikan buku sebagai salah satu bacaan penting.

Walau dianggap sulit dan kontroversial, Madilog berhasil membuka mata banyak orang tentang pentingnya pemikiran kritis dalam menghadapi masalah sosial dan politik.

Meskipun hidup Tan Malaka penuh pengasingan dan pelarian dari pemerintah kolonial, semangatnya untuk kemerdekaan Indonesia tidak pernah padam. 

Buku ini adalah wujud dari semangat itu, yang ditulis dengan tekad kuat untuk kemerdekaan bangsa.

Sampai sekarang, Madilog masih dianggap sebagai karya klasik dalam sejarah pemikiran Indonesia.

Buku ini tidak hanya memberi teori bagi gerakan kemerdekaan, tetapi juga menginspirasi generasi berikutnya untuk terus berpikir kritis dan melawan ketidakadilan.

Meski dunia semakin kompleks, ajaran Tan Malaka dalam Madilog tetap relevan dan penting untuk dipelajari.

Madilog menawarkan wawasan berharga tentang bagaimana sebuah bangsa bisa bangkit melawan penindasan dan mencapai kemerdekaan.

Tan Malaka, melalui Madilog, telah meninggalkan warisan intelektual yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia.

Editor: Wanovy
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS