Lulusan SMK di antara Tuntutan Kerja dan Kualitas SDM

Potret para siswa SMK di salah satu sekolah di DKI Jakarta (Foto: stmstrada.sch.id)

PARBOABOA, Jakarta - Para peserta didik lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) rupanya belum bisa bernafas lega.

Pasalnya, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Agustus 2023, sebanyak 2,2 juta lulusan SMK masuk dalam kategori not in employment, education, and training (NEET). 

Secara sederhana, NEET adalah individu yang tidak melanjutkan pendidikan, tidak bekerja, atau tidak mengikuti pelatihan. 

“Golongan NEET dari lulusan SMK tercatat sebanyak 2.292.189 orang,” demikian data yang dirilis BPS pada Minggu (26/05/2024).  

Selain lulusan SMK, kelompok NEET juga menyasar lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 3,5 juta orang. 

Sementara itu, lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 1,8 juta orang dan lulusan Sekolah Dasar (SD) sebesar 1,6 juta orang.   

Dengan kata lain, jumlah anak muda berusia 15 hingga 24 tahun yang tergolong NEET mencapai 9,9 juta orang, atau setara 22,25 persen dari total 44,7 juta anak muda di kelompok usia tersebut.    

Berdasarkan lokasi tempat tinggal, jumlah anak muda NEET lebih banyak berada di perkotaan dengan angka mencapai 5,2 juta orang, sementara di daerah pedesaan tercatat sebanyak 4,6 juta orang.  

Dari segi jenis kelamin, perempuan mendominasi angka NEET dengan jumlah 5,73 juta orang atau setara 26,54 persen, sedangkan laki-laki sebanyak 4,17 juta orang atau 18,21 persen.  

Kelompok usia NEET tertinggi berada di rentang 20-24 tahun, yaitu sebanyak 6,46 juta orang, diikuti kelompok usia 15-19 tahun dengan jumlah 3,44 juta orang.  

Data ini mencerminkan tantangan besar dalam memberdayakan anak muda Indonesia, khususnya lulusan SMK yang diharapkan memiliki keterampilan siap kerja. 

Sebagian besar mereka akhirnya memilih bekerja di sektor industri Food and Beverage (FnB) dan berpotensi mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakan dari majikan.

Liputan khusus PARBOABOA pada Senin (02/12/2024) memperlihatkan bahwa para pekerja di industri FnB memiliki beban kerja yang berat dengan waktu yang panjang.

Mereka disebut bekerja selama 20 jam penuh tanpa ada tunjangan kesehatan yang jelas. Gaji yang diperoleh juga tidak sesuai Upah Minimum Regional (UMR). 

Persoalan-persoalan demikian kerap luput dari perhatian pemerintah. Ketentuan dalam UU ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja juga tak kunjung memberi sanksi hukum yang jelas.

Sekretaris Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) Regional Jabodetabek dan Lampung, Muhammad Husni Mubarok, mengafirmasi lemahnya pengawasan pemerintah terhadap perusahaan FnB. 

Ia mengungkapkan bahwa di Jakarta Pusat saja, terdapat sekitar 4.500 perusahaan yang diawasi oleh hanya 3 hingga 5 petugas. 

“Dengan jumlah pengawas yang sangat terbatas, mustahil memastikan seluruh perusahaan mematuhi aturan ketenagakerjaan,” ujar Husni kepada PARBOABOA belum lama ini.

Selain itu, Husni juga mengkritisi berbagai bentuk kontrak kerja yang diterapkan di sektor FnB, seperti part-time, magang, dan pekerja harian lepas. 

Menurutnya, variasi jenis kontrak kerap berdampak pada hak-hak pekerja, di mana banyak dari mereka tidak mendapatkan perlindungan maupun kompensasi yang layak. 

“Pegawai tetap di sektor FnB jarang sekali diangkat oleh perusahaan,” ujarnya.

Belum Siap Bersaing

Pakar ketenagakerjaan, Ade Hanie, mengungkapkan bahwa lulusan SMK masih menghadapi tantangan besar untuk bersaing di era revolusi industri 4.0. 

Menurutnya, sistem pembelajaran di SMK lebih menitikberatkan pada nilai akademis dibandingkan penguasaan keterampilan praktis, sehingga menyulitkan mereka untuk bersaing di dunia kerja.  

“Lulusan SMK rata-rata berusia 17-18 tahun, dan ini menjadi tantangan bagi perusahaan dalam menerima mereka," kata Ade awal 2019 lalu. 

Ade yang juga seorang psikolog industri dan organisasi pernah berkolaborasi dengan Jojoba untuk melakukan tes psikometri guna mengukur kompetensi lulusan SMK. 

Hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata lulusan SMK lemah dalam 12 aspek soft skill, termasuk perencanaan, evaluasi, kepemimpinan, kemampuan berkomunikasi, dan persuasi.  

“Hal ini terjadi karena sekolah jarang menyediakan peluang bagi siswa untuk bereksplorasi. Pola pikir sekolah masih berorientasi pada penilaian akademis, padahal dunia industri tidak hanya melihat itu,” jelasnya.  

Tes psikometri tersebut juga mengungkapkan bahwa sebagian besar lulusan SMK lebih berminat pada pekerjaan administrasi, perkantoran, dan penjualan. 

Ade menambahkan, hasil tes ini dapat digunakan sebagai peta bagi para pencari kerja untuk memahami posisi mereka dan menentukan langkah pengembangan diri agar lebih kompetitif di pasar kerja.  

Sementara itu, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian berupaya meningkatkan daya saing lulusan SMK dengan menginisiasi program pendidikan vokasi berbasis link and match. 

Program ini telah melibatkan sekitar 400 ribu peserta didik SMK dengan tujuan meningkatkan kompetensi sumber daya manusia (SDM) dan menekan angka pengangguran.  

“Program ini memberikan porsi 70 persen untuk praktik dan 30 persen teori, sehingga diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang lebih siap kerja,” ujar Mujiyono, Koordinator Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Industri (BPSDMI) pada Maret 2019 lalu.  

Langkah ini menunjukkan bahwa kolaborasi antara dunia pendidikan dan industri terus diupayakan untuk mempersiapkan generasi muda dalam menghadapi kebutuhan pasar kerja di era revolusi industri 4.0.  

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS