PARBOABOA, Pematangsiantar - Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) belum lama ini menunjukkan ada peningkatan kasus HIV/AIDS yang signifikan di Pematangsiantar.
Peningkatan tersebut terjadi dalam rentang waktu dari tahun 2021 hingga 2023. Pada 2021, terdapat 35 kasus dan meningkat menjadi 132 kasus di tahun 2023.
Koordinator Pencegahan Penyakit Menular Dinas Kesehatan Pematangsiantar, Esriani Saragih mengatakan tren kenaikan pengidap HIV/AIDS di daerah itu sebagai pertanda baik.
Paling tidak kata dia, ini mencerminkan ada upaya yang efektif dalam mendeteksi penyakit menular tersebut, sekaligus hasil dari sosialisasi yang rutin dilakukan.
"Karena itu menunjukkan kalau program dinas kesehatan, yaitu layanan PDP (Pencegahan dan Pengendalian) HIV/AIDS sudah berjalan baik," katanya pada Parboaboa, Senin (10/6/2024).
Esriani menjelaskan, sebelumnya, tidak semua Puskesmas dan Rumah Sakit di Pematangsiantar dilengkapi dengan fasilitas yang memadai untuk mendeteksi HIV/AIDS.
Tapi saat ini ketersedian fasilitas hampir merata di setiap Rumah Sakit - tidak hanya terdapat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Djasamen Saragih dan Puskesmas Tomuan di Pematangsiantar.
"Sekarang penanggulangan HIV/AIDS itu sudah banyak, sudah hampir di semua puskesmas dan rumah sakit," tegas Esriani.
Hingga sekarang, terhitung hanya tersisa dua Puskesmas yang belum aktif dalam menyediakan layanan tersebut karena masih kekurangan tenaga analis.
Namun begitu tegasnya, "program Pencegahan dan Pengendalian HIV/AIDS (PDP) sudah berjalan cukup lama". Hanya saja demikian ia menambahkan prosesnya "terus diekspansi."
Selain fasilitas yang memadai, upaya edukasi serta sosialisasi ke masyarakat terkait HIV/AIDS semakin gencar. Tujuannya untuk memberi pelayanan sesuai standar bagi orang yang terinfeksi.
Di Pematangsiantar sendiri, mayoritas yang terkena HIV/AIDS adalah usia produktif. Karena itu Esriani menyoroti pentingnya memberikan pelayanan standar kepada populasi kunci.
Populasi kunci ini mencakup ibu hamil, penderita TBC, dan warga binaan di lapas. Mereka dianggap sebagai kelompok prioritas dalam upaya pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS.
Tak hanya itu, setiap petugas di Puskesmas, jelas Esriani, juga diminta untuk memberikan sosialisasi tentang stigma terhadap orang yang terinfeksi.
Materi sosialisasi meliputi informasi tentang HIV dan cara penularannya guna meningkatkan pemahaman masyarakat sekaligus mengurangi diskriminasi terhadap penderita.
"Kami ingin menyampaikan pesan bahwa kita bisa hidup berdampingan dengan mereka yang terkena HIV/AIDS," ungkapnya.
Esriani menjelaskan tidak perlu takut untuk hidup berdampingan dengan penderita HIV/AIDS. Pun kalau harus bersalaman atau berenang bersama.
Sebab HIV/AIDS tidak menular melalui sentuhan seperti itu melainkan melalui kontak cairan seperti darah yang terinfeksi. Lantas ia menyarankan agar menghindari penggunaan jarum suntik yang tidak steril dan hubungan seks bebas.
Kekurangan edukasi dan sosialisasi terang Esriani membuat banyak orang sering salah paham sehingga enggan berobat dan selalu merasa diri didiskriminasi.
"Stigma HIV membuat penderita enggan memeriksakan diri untuk berobat. Mereka merasa terdiskriminasi," katanya.
Ia menyarankan agar siapapun yang merasa terinfeksi, silahkan datang ke puskesmas untuk mendapatkan pelayanan. Tidak perlu takut karena hasilnya tidak akan diungkapkan kepada orang lain.
"Jadi, jangan langsung berpikir tentang kematian ketika mendengar HIV/AIDS. Dengan menjalani perawatan secara teratur, meskipun perawatan untuk HIV berlangsung seumur hidup, seseorang bisa tetap sehat," tutupnya.
Editor: Gregorius Agung