TBC di Indonesia: Pentingnya Kolaborasi dalam Penanganan

TBC di Indonesia perlu Kolaborasi untuk Penanganannya. (Foto:Dok.pkmbabakansaribdg)

PARBOABOA,Jakarta - Tuberkulosis (TBC) tetap menjadi ancaman kesehatan masyarakat di Indonesia, meskipun sudah ada berbagai upaya penanggulangan.

Penyakit ini, yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, menyebar melalui udara dan dapat menyerang organ vital, seperti paru-paru, otak, hingga ginjal.

Hubungan erat antara TBC dan HIV/AIDS membuat penanganan penyakit ini semakin kompleks.

Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zubairi Djoerban, menekankan bahwa pasien HIV/AIDS memiliki risiko lebih tinggi terkena TBC.

Sistem kekebalan tubuh yang lemah pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) membuka peluang bagi bakteri TBC untuk menyerang lebih parah.

Karena itu menurutnya, kalau jumlahnya terlalu sedikit, ODHA tidak bisa menangkal infeksi TBC dengan baik, “sehingga terjadi TBC yang sangat berat bahkan bisa menyebabkan kematian,” ujar Zubairi dalam media briefing (30/11/2023).

Meski begitu, ia menegaskan bahwa penderita HIV positif TBC tetap bisa sembuh total asalkan menjalani pengobatan secara rutin tanpa terputus.

Untuk pasien TBC biasa, pengobatan berlangsung 8-9 bulan, sedangkan pasien HIV/AIDS yang terkena TBC disarankan melanjutkan pengobatan hingga setahun.

Penyebaran dan Gejala TBC

TBC menular melalui udara, seperti saat penderita batuk atau berbicara. Namun, penyakit ini tidak menular lewat kontak fisik, makanan, atau minuman.

Ketika seseorang menghirup bakteri Mycobacterium tuberculosis, bakteri tersebut bersarang di paru-paru, lalu menyebar ke organ lain melalui aliran darah.

Secara umum, TBC terbagi menjadi dua jenis:

Pertama, TBC aktif, yang menimbulkan gejala seperti batuk lebih dari tiga minggu, batuk berdarah, nyeri dada, dan penurunan berat badan drastis. Jenis ini juga berpotensi menular.

Kedua, TBC tersembunyi, di mana bakteri tidak aktif sehingga tidak menyebabkan gejala atau penularan, tetapi bisa berkembang menjadi TBC aktif jika tidak diobati.

Gejala lainnya meliputi kelelahan, demam, keringat dingin di malam hari, kehilangan nafsu makan, dan menggigil.

Menurut data WHO 2023, Indonesia menjadi salah satu negara dengan kasus TBC tertinggi di dunia.

Kementerian Kesehatan mencatat lebih dari 840 ribu kasus TBC baru setiap tahun, dengan angka kematian mencapai 93 ribu jiwa.

Penyakit ini juga menjadi salah satu penyebab utama kematian terkait HIV/AIDS di negara berkembang.

Upaya Melawan TBC

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Pratikno, mengingatkan bahwa penanganan TBC tidak bisa hanya bergantung pada Kementerian Kesehatan.

Dalam sambutannya pada acara Diseminasi Memo Kebijakan TBC (28/11/2024), ia menegaskan pentingnya kerja sama lintas sektor, mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga sektor swasta.

Menurutnya, penanganan TBC tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan semata.

Perlu keterlibatan seluruh stakeholder, “baik di internal pemerintah maupun masyarakat, harus terlibat,” ujar Pratikno.

Ia juga menyoroti pentingnya edukasi masyarakat dan penguatan infrastruktur kesehatan.

Menurutnya, upaya ini tidak hanya membantu pengobatan, tetapi juga menciptakan lingkungan sehat yang dapat mencegah penyebaran TBC di masa depan.

Pratikno bahkan membandingkan dampak TBC dengan COVID-19.

Ia optimis Indonesia mampu menangani TBC seperti kesuksesan penanganan pandemi COVID-19 dengan pendekatan yang sama: sinergi antarsektor, penguatan edukasi, dan pemanfaatan layanan masyarakat.


Dalam upaya pengendalian, pemerintah merujuk pada UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang mengamanatkan setiap warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan, termasuk untuk penyakit menular seperti TBC.

Selain itu, Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis menegaskan pentingnya pendekatan komprehensif dari hulu ke hilir.

Kementerian Kesehatan juga menggencarkan program TOSS TBC (Temukan, Obati Sampai Sembuh), yang bertujuan memastikan pasien mendapatkan pengobatan hingga tuntas.

Namun, tantangan besar tetap ada, seperti stigma terhadap penderita TBC dan rendahnya kesadaran masyarakat untuk menjalani pengobatan hingga selesai.

Kerja sama berbagai pihak, edukasi masyarakat, dan akses pengobatan yang merata menjadi kunci pemberantasan TBC.

Meski tantangan masih besar, optimisme untuk menekan angka kasus TBC tetap tinggi.

Dengan pendekatan kolaboratif, TBC di Indonesia dapat ditekan, membawa harapan baru bagi pasien dan masyarakat.

                                                                                         

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS