PARBOABOA, Jakarta- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan UU Ciptakerja yang ditengarai menuai banyak kontroversi, terutama karena dinilai sangat merugikan buruh. Dalam rapat paripurna DPR pada 21 Maret 2023 menghasilkan kesepakatan untuk menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) menjadi Undang-Undang.
Dalam rapat tersebut, hanya dua fraksi yang menolak untuk menyetujui yakni Fraksi Demokrat dan PKS, selebihnya bersepakat untuk menyetujui Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Akan tetapi UU Ciptakerja tetap meluncur lancar menjadi undang-undang.
Pelbagai penolakan terus mencuat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta melalui Citra Referandum, menjelaskan jika dalam banyak hal, DPR seperti mengkhianati rakyat. “DPR RI telah mengkonfirmasi ketidakberpihakannya terhadap suara-suara rakyat, terkhusus kelas pekerja/buruh,” kata Direktur LBH Jakarta itu kepada Parboaboa di Jakarta, Jumat (24/3/2023).
LBH Jakarta menilai ada empat hal yang perlu disoroti dalam pengesahan UU Ciptakerja. Pertama yakni, Presiden memilih jalan pintas untuk memberlakukan kembali Omnibus Law Cipta Kerja yang sudah dinyatakan inkonstitusional dengan menetapkan Perpu Cipta Kerja yang muatan materinya identik (10 klaster).
“Jika kita melihat dalam penjelasan umum dan Pasal 184 pada Perppu Cipta Kerja yang juga tetap memberlakukan peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja,” tutur Citra.
“Selain itu, tindakan Presiden tersebut juga telah melanggar Konstitusi karena telah menghilangkan objek Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yaitu perbaikan terhadap pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja,” imbuhnya.
Kedua, gagalnya DPR RI untuk menguji pemenuhan syarat dalam hal Presiden menetapkan Perppu Cipta Kerja. Presiden dan DPR RI bermain-main dengan penafsiran dan pemenuhan syarat objektif “ikhwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD NRI 1945 dan Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 yakni,
“Jika mengukur kemendesakan, Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020 sudah memberikan jangka waktu yang cukup selama dua tahun bagi pemerintah untuk melakukan perbaikan sejak putusan diucapkan yang akan jatuh pada 23 November 2023,” lanjut Citra menjelaskan.
“Alasan kekosongan hukum juga tidak terpenuhi karena masih terdapat UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja yang dianggap berlaku pasca dinyatakan inkonstitusional oleh pemerintah, berbeda dengan apa yang diyakini masyarakat,” pungkasnya.
Sementara itu, UU Ciptakerja berimplikasi terhadap kehidupan masyarakat luas di lintas sektor ketenagakerjaan, masyarakat adat dan lingkungan hidup. Praktik-praktik yang melanggar hak rakyat seperti pasar tenaga kerja fleksibel, politik upah murah dan sentralistik, perluasan sistem outsourcing, ancaman lingkungan hidup dan perampasan wilayah adat akan berlanjut dan dilegitimasi melalui tindakan persetujuan Perppu Cipta Kerja oleh DPR RI.
Keputusan DPR RI yang menyetujui Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang merupakan preseden buruk dalam menormalisasi status keadaan oleh Presiden di kemudian hari tanpa adanya pertanggungjawaban.
“Agamben dalam State of Exception menjelaskan bahwa kebiasaan ini merupakan cara-cara dimana keadaan darurat, krisis, dan bencana digunakan oleh pemerintah untuk menangguhkan proses hukum yang harus berjalan sebagaimana mestinya,” jelasnya.
“Kondisi ini apabila tidak diuji dengan serius sebagai sebuah bentuk pelaksanaan check and balances oleh DPR RI karena terletak dalam garis batas yang ambigu, tidak pasti, dan di persimpangan antara hukum dan politik,” tutup Citra.
Editor: Bina Karos