PARBOABOA Jakarta – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan 10 orang tersangka kasus penyuapan di Mahkamah Agung (MA) yang diamankan saat Operasi Tangkap Tangan (OTT) di dua lokasi, yaitu di Semarang dan Jakarta.
Ketua KPK Firli Bahuri menyebutkan inisial dari 10 tersangka tersebut yakni, SD seorang Hakim Agung di MA, ETP Panitera Pengganti MA, DY dan MH seorang PNS pada Kepaniteraan MA, RD dan AB merupakan PNS Mahkamah Agung, YP dan ES seorang pengacara, lalu tersangka HT dan IDKS yang merupakan Debitur Koperasi Simpan Pinjam ID.
Para tersangka tersebut dibagi menjadi dua, yaitu pemberi suap dan penerima suap. Dari 10 tersangka yang telah ditetapkan, 6 diantaranya akan ditahan selama 20 hari ke depan, yakni, ETP, DY, MH, AB, YP dan ES.
“Terhitung mulai tanggal 23 September 2022 sampai dengan 12 Oktober 2022," ucap Firli dikutip dari kanal YouTube Kompas TV, Jumat (23/09/2022).
10 tersangka yang telah diamankan beserta barang bukti kemudian dibawa ke Jakarta untuk dilakukan pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK.
Selain mengamankan para tersangka, KPK juga mengamankan uang tunai sebesar SGD205.000 dari tangan tersangka DY. Lalu, tersangka AB menyerahkan uang tunai sebesar Rp50 juta saat menjalani pemeriksaan.
"Selain itu, AB juga hadir ke Gedung Merah Putih KPK dan menyerahkan uang tunai Rp50 juta," katanya.
Adapun kasus suap yang terjadi di lingkungan Mahkamah Agung ini berawal dari laporan pidana dan gugatan perdata terkait aktivitas dari Koperasi Simpan Pinjam Intidana (ID) di Pengadilan Negeri Semarang yang diajukan HT dan IDKS, selaku debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana dengan diwakili kuasa hukumnya yakni YS dan ES.
Namun, putusan hakim pada kedua laporan tersebut, sehingga Ht dann IDKS melanjutkan proses hukum dengan mengajukan kasasi pada MA. Melalui kuasa hukum. Melalui kuasa hukumnya, HT menyampaikan ingin negoisasi kepada keputusan hakim agar sesuai dengan keinginannya.
"Dalam pengurusan kasasi ini, diduga YP dan ES melakukan pertemuan dan komunikasi dengan beberapa pegawai di Kepaniteraan MA yang dinilai mampu menjadi penghubung hingga fasilitator dengan majelis hakim yang nantinya bisa mengondisikan putusan sesuai dengan keinginan YP dan ES," tutur Firli.
Pegawai MA yang bersedia dan bersepakat, yaitu DY dengan pemberian sejumlah uang dan DY juga mengajak PNS pada Kepaniteraan MA, MH dan Hakim Yustisial/Panitera Pengganti MA ETP untuk ikut menjadi penghubung penyerahan uang ke majelis hakim. Desy dan kawan-kawan diduga sebagai representasi Sudrajad dan beberapa pihak di MA untuk menerima uang dari pihak-pihak yang mengurus perkara di MA.
"Dalam pengurusan kasasi ini, diduga YP dan ES melakukan pertemuan dan komunikasi dengan beberapa pegawai di Kepaniteraan MA yang dinilai mampu menjadi penghubung hingga fasilitator dengan majelis hakim yang nantinya bisa mengondisikan putusan sesuai dengan keinginan YP dan ES," ungkap Firli.
Terkait sumber dana yang diberikan YP dan ES pada majelis hakim berasal dari HT dan IDKS dan jumlah uang yang diserahkan secara tunai oleh YP dan ES pada DY sekitar SGD202.000 (Rp2,2 miliar).
"Kemudian oleh DY dibagi lagi dengan pembagian DY menerima sekitar sejumlah Rp250 juta, MH menerima sekitar Rp850 juta, ETP menerima sekitar Rp100 juta dan SD menerima sekitar Rp800 juta yang penerimaannya melalui ETP," sebut Firli.
Ketika tim KPK melakukan penangkapan, dari DY ditemukan dan diamankan uang sejumlah sekitar SGD205.000 dan adanya penyerahan uang dari AB sekitar Rp50 juta. KPK juga menduga DY dkk juga menerima pemberian lain dari pihak-pihak yang berperkara di Mahkamah Agung
Sementara itu, HT, YS, ES, dan IDK disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 atau Pasal 6 huruf a Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sementara SD, DY, ETP, MH, RD, dan AB sebagai penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau b Jo Pasal 11 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Dan hal ini akan terus didalami lebih lanjut oleh tim penyidik.