PARBOABOA, Jakarta - Pemberantasan korupsi di Indonesia masih menghadapi banyak hambatan, salah satunya tumpang tindih kewenangan antar lembaga yang menangani kasus ini.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, mengusulkan pembentukan lembaga tunggal untuk menanggulangi korupsi secara lebih efektif.
Namun, apakah rencana ini akan membawa perubahan signifikan atau justru menciptakan masalah baru?
Korupsi yang merajalela di Indonesia menjadi masalah besar yang merusak banyak sektor, mulai dari pemerintahan hingga sektor swasta.
Meski sudah ada tiga lembaga yang memiliki kewenangan untuk menangani kasus ini —KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri — efektivitas pemberantasan korupsi masih jauh dari harapan.
Salah satu penyebabnya adalah tumpang tindih kewenangan antar lembaga tersebut.
Yusril Ihza Mahendra, sebagai Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, baru-baru ini mengemukakan ide untuk membentuk sebuah lembaga tunggal yang fokus menangani korupsi.
Menurutnya, dengan hampir serupa kewenangan yang dimiliki oleh KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri, mengapa tidak menyatukan ketiganya dalam satu lembaga yang lebih efisien dan efektif?
Dari ketiga lembaga tersebut, KPK adalah yang paling menonjol dalam penanganan kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat tinggi.
Dibentuk pada tahun 2002, KPK memiliki kewenangan luar biasa, termasuk operasi tangkap tangan (OTT) terhadap pelaku korupsi.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 memberikan kekuatan ekstra kepada KPK untuk mengatasi masalah korupsi yang sudah sangat mengkhawatirkan.
Namun, meski KPK memiliki kewenangan besar, Kejaksaan Agung dan Polri juga ikut terlibat dalam pemberantasan korupsi.
Kejaksaan memiliki tugas sebagai penuntut umum dan dapat menyelidiki serta menyidik kasus korupsi, sementara Polri berfokus pada penyelidikan dan penyidikan kasus di tingkat lokal.
Karena itu, dalam praktiknya, sering terjadi tumpang tindih kewenangan antara ketiga lembaga ini.
Kasus yang seharusnya ditangani oleh satu lembaga seringkali melibatkan lembaga lainnya, yang justru memperlambat proses hukum.
Lembaga Tunggal
Yusril mengusulkan pembentukan lembaga tunggal yang akan menangani semua aspek korupsi, mulai dari penyelidikan hingga penuntutan.
Menurutnya, dengan hampir serupa kewenangan yang dimiliki oleh KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri, ide ini seharusnya layak dipertimbangkan.
Pembentukan lembaga tunggal akan mengurangi birokrasi yang rumit dan memungkinkan penegakan hukum berjalan lebih cepat dan efisien.
Namun, usulan ini tidak bisa dilakukan tanpa kajian mendalam. Yusril mengingatkan bahwa setiap perubahan besar dalam sistem hukum harus disesuaikan dengan perkembangan hukum internasional.
Hal ini khususnya terkait dengan Konvensi PBB tentang Pemberantasan Korupsi (UNCAC), yang mengatur soal pemulihan aset (asset recovery).
Selain itu, perubahan ini juga harus berlandaskan pada pembaruan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Meski ide ini terlihat menjanjikan, pemerintah harus mendengarkan masukan dari berbagai pihak, mulai dari akademisi hingga aktivis, sebelum mengambil keputusan.
Pembentukan lembaga tunggal ini harus mengutamakan prinsip independensi, profesionalisme, dan akuntabilitas agar tidak menimbulkan kekhawatiran tentang pemusatan kekuasaan yang bisa disalahgunakan.
Apalagi pemberantasan korupsi memang masih menjadi tantangan besar di Indonesia, namun gagasan tentang lembaga tunggal memberikan secercah harapan.
Jika dilaksanakan dengan tepat, penggabungan ketiga lembaga ini dapat mempercepat proses hukum, meningkatkan transparansi, dan pada akhirnya membawa perubahan nyata dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Dengan dukungan undang-undang yang tepat, serta komitmen semua pihak untuk menjalankan tugas dengan profesionalisme, ide lembaga tunggal ini bisa menjadi tonggak baru dalam sejarah pemberantasan korupsi di tanah air.