Mengurai Kompleksitas Penanganan Gelandangan dan Pengemis di Perkotaan

Potret pengemis di Kota Jakarta. (Foto: PARBOABOA/Calvin)

PARBOABOA, Jakarta - Pengemis merupakan fenomena sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, terutama di kota-kota besar.

Di Indonesia, berdasarkan UU, mereka yang masuk kategori pengemis maupun gelandangan disebut sebagai kelompok Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS).

Adapun jumlah PPKS saat ini sangat bervariasi di masing-masing kota. Jakarta merupakan kota dengan jumlah PPKS terbanyak.

Berdasarkan data pemprov DKI, jumlah PPKS di daerah itu selama rentang waktu Januari hingga April 2024 sebanyak 2.070 orang.

Kepala Dinas Sosial DKI, Premi Lasari merinci dari jumlah tersebut di atas, penjangkauan pengemis oleh Dinas Sosial tingkat Provinsi sebanyak 425 orang.

Lalu penjangkauan oleh Suku Dinas Sosial atau Sudinsos Jakarta Pusat 269 orang dan penjangkauan oleh Sudinsos Jakarta Utara sebanyak 257 orang.

Selanjutnya, penjaringan atau penjangkuan oleh Sudinsos Jakarta Barat sebanyak 513 orang dan penjaringan oleh Sudinsos Jakarta Timur sebanyak 331 orang.

Premi menjelaskan, upaya yang dilakukan terhadap kelompok ini berupa pembinaan di lembaga kesejahteraan sosial, reunifikasi dengan keluarga, serta pemulangan ke daerah asal. 

Kata dia, Dinsos juga memfasilitasi pemulangan PPKS yang berada dalam kondisi terlantar dan tidak memiliki biaya, dengan persyaratan adanya kelengkapan surat keterangan dari kepolisian.

Sementara itu, jika PPKS ditemukan dan masih memiliki keluarga, mereka akan dikembalikan kepada keluarga setelah memenuhi persyaratan tertentu. 

Reunifikasi juga dilakukan untuk PPKS yang dicari oleh keluarganya, misalnya lansia atau individu dengan gangguan disabilitas.

Dalam keterangan terpisah, Sosiolog Universitas Nasional (Unas), Sigit Rochadi memberi sudut pandang lain.

Ia menjelaskan, banyaknya pengemis menunjukkan amanat konstitusi agar fakir miskin dipelihara oleh negara belum sepenuhnya terwujud.

Di sisi lain, kondisi tersebut mencerminkan kondisi ketimpangan sosial yang tinggi di Tanah Air.

"Sekelompok kecil orang menguasai sumber daya ekonomi, tapi sebagian besar orang tidak punya pendapatan," ungkap Sigit.

Sebagai akibatnya, lanjut dia, hal ini menyebabkan  masih banyak fakir miskin dan anak terlantar di jalanan, khususnya di kota-kota besar.

Mengubah Paradigma

Menurut Sigit, model pembinaan terhadap fakir miskin, termasuk pengemis oleh pemerintah selama ini selalu pendekatan proyek.

Pendekatan seperti ini, kata dia, harus diubah. Pemerintah harus bekerjasama atau bermitra dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dengan memfasilitasi mereka. 

LSM inilah nantinya yang berada di garda terdepan, sedangkan pemerintah cukup dengan menyiapkan aturan dan anggaran.

"Sinergi pemerintah dengan LSM ini belum berjalan," katanya sembari menegaskan, banyak panti asuhan dan panti sosial yang dikelola masyarakat sukses mengelola dan membina pengemis dan anak terlantar.

"Karena mereka menjadikannya sebagai pekerjaan 24 jam," sambungnya. 

Ia menambahkan penanganan terhadap kelompok rentan ini sebenarnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, karena mereka memiliki data paling lengkap tentang kondisi penduduknya. 

Program-program dari pemerintah pusat, tegasnya, seperti yang dikoordinasikan melalui Kementerian Sosial dan kementerian terkait lainnya, sudah mengarah pada pengentasan kemiskinan. 

Namun, pemerintah daerah sering kali tidak menjadikan masalah sosial sebagai prioritas utama. Mereka lebih fokus pada pertumbuhan ekonomi, meskipun menyelesaikan masalah sosial bisa mendukung pertumbuhan ekonomi itu sendiri.

Karena itu, lagi-lagi ia mengingatkan paradigma pembangunan harus diubah dengan menempatkan penanganan masalah sosial sebagai prioritas utama, bukan sebagai urusan sekunder. 

Kurangnya perhatian terhadap masalah ini, menurutnya terlihat dari posisi Dinas Sosial yang sering ditempatkan di bawah sektor-sektor lain seperti sektor ketenagakerjaan. 

Lemahnya posisi lembaga-lembaga tersebut membuat alokasi anggaran untuk penanganan masalah sosial menjadi sangat terbatas. 

Akibatnya, tindakan untuk menangani masalah sosial cenderung seadanya dan tidak terencana, sehingga anak-anak terlantar dan kelompok rentan lainnya harus terus berpindah-pindah untuk bertahan hidup.

Ia mengingatkan tantangan terbesar bagi pemerintah adalah memiliki keberanian untuk mengubah cara pandang terhadap penanganan masalah sosial. 

Isu ini harus menjadi prioritas dan bukan hanya dianggap sebagai beban yang menunggu anggaran sisa dari program-program lain. Dengan pendekatan yang lebih proaktif, diharapkan solusi penanganan masalah sosial dapat lebih efektif dan berkelanjutan.

Mengubah Mental

Muhadjir Darwin, peneliti senior di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, memandang bahwa keberadaan anak terlantar, gelandangan, dan pengemis tidak selalu mencerminkan kondisi ekonomi mereka yang sebenarnya. 

Dalam beberapa kasus, kata dia, fenomena ini justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Sebagai contoh, ada pengemis di Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, yang ditemukan memiliki mobil, kartu ATM, dan kartu kredit. 

Hal ini menunjukkan bahwa mengemis, bagi sebagian orang, bukan disebabkan oleh kemiskinan, melainkan dijadikan profesi. Bahkan, di kota-kota besar, tidak jarang ditemukan pengemis yang memiliki kondisi hidup layak di rumahnya.

Fenomena mengemis yang melibatkan anak-anak terlantar, menurut dia sering kali juga dikaitkan dengan praktik yang diatur oleh pihak-pihak tertentu, atau mafia, yang mengkoordinasi kegiatan ini. 

Untuk mengurainya, ia mengusulkan pemberantasan harus mencakup perubahan sikap dan mental, serta melibatkan penegakan hukum secara menyeluruh. 

Upaya ini tidak cukup hanya dengan menangkap para pengemis di jalan, tetapi harus menyasar aktor-aktor di balik layar yang mengatur kegiatan tersebut.

Ia mengangkat contoh fenomena di Yogyakarta, dimana mengemis sudah menjadi praktik lama yang terorganisasi, terutama selama bulan puasa atau hari besar keagamaan.

Agus Joko Pitoyo, peneliti PSKK lainnya, menyoroti bahwa jika fenomena gelandangan dan pengemis dikaitkan dengan kemiskinan, masalah utamanya terletak pada keterbatasan akses penduduk miskin ke lapangan kerja serta efektivitas program sosial pemerintah. 

Panti sosial, sebutnya memang memberikan bantuan, tetapi belum sepenuhnya menyelesaikan persoalan ini.

Agus juga menggarisbawahi bahwa kemiskinan di Indonesia umumnya bersumber dari pedesaan, yang disebabkan oleh minimnya penguasaan lahan dan tingginya biaya sosial. Untuk itu, strategi pengentasan kemiskinan harus mempertimbangkan pendekatan lokal yang efektif. 

Menurutnya, solusi kemiskinan tidak bisa hanya dilihat dari aspek moneter, karena kemiskinan di Indonesia bersifat multidimensi, terutama dengan adanya tantangan bonus demografi yang mulai muncul sejak 2020. 

Dengan peningkatan jumlah penduduk produktif, permasalahan utama yang muncul adalah akses terhadap lapangan kerja yang memadai.

Untuk diketahui, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980, gelandangan adalah individu yang hidup tanpa norma kehidupan layak, tidak memiliki tempat tinggal tetap, dan mengembara di tempat umum. 

Sementara itu, pengemis adalah mereka yang mencari penghasilan dengan meminta-minta demi belas kasihan orang lain.

Sastraatmadja (1978), menjelaskan gelandangan sebagai kelompok yang hidup terisolasi dan sering ditemukan di tempat-tempat tidak layak seperti kolong jembatan atau pinggiran rel kereta api. 

Lalau Kuntari dan Hikmawati (2017) mendefinisikan pengemis sebagai orang yang mengandalkan belas kasihan publik untuk penghidupan mereka. 

Mereka juga memandang gelandangan dan pengemis sebagai bagian dari komunitas marginal yang bertahan dalam lingkungan informal karena kesulitan bersaing di sektor formal.

Pada intinya, mereka semua sepakat kemunculan gelandangan dan pengemis dipengaruhi oleh kemiskinan baik secara kultural maupun struktural, yang memperkuat posisi mereka di pinggiran masyarakat.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS