Apa Saja Keunggulan UU TPKS dalam Mengusut Kasus Kekerasan Seksual?

Ilustrasi penerapan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) (Foto: ykp.or.id)

PARBOABOA, Jakarta - Gebrakan baru dalam dunia hukum muncul pasca DPR RI mengesahkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). 

Kehadiran UU TPKS dinilai sebagai bukti keberpihakan pemerintah terhadap perempuan dan anak yang kerap mengalami kekerasan seksual dari waktu ke waktu.

Laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), misalnya menyebutkan per Januari 2023, angka korban kekerasan seksual telah mencapai 21.886 orang. 

Dari jumlah tersebut, 4491 korban adalah laki-laki dan 19.360 korban adalah perempuan. Mereka berisiko mengalami gangguan fisik dan mental yang menghambat masa depan.

Karena itu, kehadiran UU TPKS menjadi mercusuar harapan yang memperkuat upaya penegakan keadilan di Indonesia, khususnya bagi korban kekerasan seksual.

Advokat Senior TRUK-F, Valentinus Pogon saat menangani masalah YPT (15), korban pemerkosaan di Polres Lembata menyebut UU TPKS sebagai instrumen hukum yang komprehensif.

Dibandingkan sejumlah aturan hukum lain, "TPKS justru lebih lengkap. Selain sanksi yang besar, ada unsur restitusi dan rehabilitasi," ungkapnya pada pertengahan 2023 lalu.

Oleh karena itu, ketika penyidik PPA Polres Lembata condong menggunakan ketentuan dalam UU Perlindungan Anak (UU PA), dirinya menilai mereka belum berpihak kepada para korban.

Beleid tersebut, "alih-alih menjatuhkan sanksi yang cukup berat terhadap pelaku, malah melupakan sisi perlindungan dan rehabilitasi terhadap korban dan keluarganya," lanjut Valentinus.

Kenyataan serupa dialami Pendamping Korban dari TRUK-F, Epy Karwayu dalam menangani kasus AL (15) di Polres Sikka. Pihak penyidik nyatanya lebih menggunakan UU PA dibanding UU TPKS.

"Alasannya sama. Mereka berpatokan bahwa korban merupakan anak di bawah umur. Padahal kalau mau gunakan UU TPKS, justru aturannya lebih lengkap," terang Epy.

Alpanya penggunaan UU TPKS oleh penyidik menunjukkan sikap negara yang belum berpihak kepada korban kekerasan seksual. Negara seperti 'setengah hati' dalam menangani isu perempuan.

"UU sudah ada. Aturannya pun lebih lengkap, mulai dari sanksi kepada pelaku sampai restitusi untuk korban. Sangat disayangkan kalau penyidik belum menerapkannya," pungkasnya.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apa sebenarnya UU TPKS? Adakah penekanan-penekanan tertentu yang menjadi kelebihan UU TPKS dibanding perangkat hukum lain?

Keunggulan UU TPKS

Dalam sejarah hukum di Indonesia, instrumen yang mengatur tentang pidana kekerasan seksual sesungguhnya bukan hanya UU No. 12 Tahun 2022 tentang TPKS.

Sebelum TPKS, beberapa instrumen lain seperti UU No. 39 Tahun 1999, UU No. 23 Tahun 2004, UU Nomor 11 Tahun 2012, dan UU Nomor 35 Tahun 2014, juga mengatur tentang pidana kekerasan seksual.

Namun, berbeda dengan empat UU terdahulu, TPKS memiliki aturan yang lebih komprehensif dan mengakomodir banyak ketentuan yang bermaksud melindungi korban sekaligus rehabilitasi pelaku. 

UU TPKS hadir sebagai salah satu upaya hukum yang paling progresif di Indonesia untuk melindungi perempuan dari kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender lainnya, termasuk femisida. 

Merujuk pada dokumen resmi UU TPKS yang disahkan pada 12 April 2022, beberapa kelebihan tersebut dapat diringkas sebagai berikut. 

Pertama, definisi kekerasan seksual yang lebih luas. Dalam UU TPKS, kekerasan seksual mencakup berbagai bentuk pelecehan, pemaksaan, dan eksploitasi seksual yang sebelumnya tidak diatur dalam hukum Indonesia. 

Dengan definisi yang lebih luas, UU TPKS bermaksud menutup celah hukum yang kerap dimanfaatkan pelaku kekerasan untuk lolos dari jerat pidana.

Kedua, pengakuan atas hak korban. UU TPKS menekankan pentingnya perlindungan hak-hak korban, termasuk hak atas pemulihan fisik, psikologis, dan sosial. 

Korban tidak hanya dilihat sebagai objek penderita, tetapi sebagai subyek yang memiliki hak untuk mendapatkan keadilan, keamanan, dan pemulihan. 

Pendekatan yang berfokus pada korban merupakan langkah maju dalam upaya pencegahan kekerasan, karena memberikan dukungan kepada mereka untuk melaporkan kejadian yang dialami.

Ketiga, penyediaan layanan terpadu. UU TPKS mewajibkan pemerintah untuk menyediakan layanan terpadu bagi korban kekerasan seksual, termasuk layanan medis, psikologis, dan hukum. 

Dengan adanya layanan terpadu ini, korban diharapkan dapat lebih mudah mendapatkan bantuan dan perlindungan. 

Hal tersebut penting untuk mencegah terjadinya kekerasan, di mana banyak korban yang sebelumnya tidak melaporkan kejadian yang dialami karena takut akan stigma atau kurangnya dukungan.

Keempat, penegakan hukum yang lebih kuat. UU TPKS juga memberikan sanksi yang lebih berat bagi pelaku kekerasan seksual, termasuk hukuman pidana dan denda. 

Selain itu, UU ini memungkinkan penerapan hukuman tambahan seperti rehabilitasi pelaku dan perintah untuk tidak mendekati korban. Hal-hal tersebut dapat menjadi pencegah bagi calon pelaku kekerasan seksual.

Empat kelebihan UU TPKS menyiratkan sebuah langkah maju dalam upaya mencegah kekerasan seksual dan memberikan perlindungan yang lebih baik bagi perempuan.

Definisi yang lebih luas, pengakuan hak-hak korban, penyediaan layanan terpadu, dan penegakan hukum yang lebih kuat, menjadikan UU TPKS berpotensi menekan angka kekerasan di Indonesia. 

Namun, keberhasilan implementasi UU ini sangat bergantung pada sosialisasi yang efektif, kesiapan aparat penegak hukum, dan perubahan budaya masyarakat. 

Oleh karena itu, kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat sangat diperlukan untuk memastikan UU TPKS dapat melindungi perempuan dari ancaman kekerasan seksual.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS