Mengendus Keterlibatan Aparat dan Petugas Kesehatan Di Balik Peredaran Obat Ilegal

Mengendus keterlibatan aparat dalam peredaran obat ilegal daftar G. (Foto: PARBOABOA/Ahmad Ghozali)

PARBOABOA, Jakarta - Peredaran obat ilegal di Indonesia kian mengkhawatirkan. 

Walau berbagai upaya pencegahan telah dilakukan, rantai distribusi bisnis gelap ini belum bisa diputus. 

Salah satu alasan kuat mengapa peredaran obat terlarang tidak bisa diberantas adalah adanya keterlibatan oknum aparat.

Baru-baru ini, Parboaboa mengungkap kasus yang mengejutkan. Seorang perwira TNI di Jabodetabek diduga terlibat dalam bisnis obat-obatan terlarang golongan G.

Narasumber Parboaboa, sebut saja Udin, mengungkap, perwira TNI tersebut bahkan memiliki toko sendiri untuk menjual obat-obatan ini. 

Udin, yang pernah bekerja di toko itu, juga bercerita bahwa setiap bulan ia menerima pasokan sekitar 80 kotak obat golongan G dari sang perwira. Jenis obatnya pun beragam, mulai dari excimer, tramadol, zolam, double-Y, hingga dextro.

Saat stok obat menipis, Udin akan menghubungi bosnya melalui telepon. Tak lama berselang, anggota TNI berseragam lengkap akan datang membawa stok obat yang sudah dipesan. 

"Bukan kayak gojek. Ini orang berseragam yang datang bawa itu plastik, pakai baret," katanya, menggambarkan betapa mudahnya obat-obatan ini didistribusikan dengan bantuan oknum berseragam.

Pengakuan Udin ini hanyalah satu contoh dari banyaknya kasus keterlibatan aparat dalam peredaran obat-obatan terlarang. Beberapa kasus lain bahkan lebih mengejutkan. 

Pada 5 Desember 2022, misalnya, Sertu Yalpin Tarzun dari Kodim 0208/Asahan dan Pratu Rian Hermawan dari Yonif 125/Simbisa ditangkap karena membawa 75 kg sabu-sabu dan 40.000 butir pil ekstasi. 

Keduanya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh Pengadilan Militer Medan pada Mei 2023.

Di sisi lain, ada juga kasus besar yang menyeret nama Irjen Pol. Teddy Minahasa, mantan Kapolda Sumatra Barat, yang terlibat dalam peredaran 41,4 kg narkoba.

Setelah diperiksa oleh Komisi Kode Etik Polri, Teddy dikenai sanksi pemecatan tidak dengan hormat (PTDH) dan dihukum penjara seumur hidup. 

Mantan Kapolres Bukittinggi, AKBP Dody Prawiranegara, yang turut terlibat, divonis 17 tahun penjara atas keterlibatannya dalam memfasilitasi peredaran narkoba.

Dalam kasus Teddy Minahasa, bukti menunjukkan bahwa ia memerintahkan bawahannya untuk mengubah barang bukti sabu menjadi tawas, menyisakan lima kilogram yang kemudian dikirim ke Jakarta untuk dijual. 

Dari lima kilogram sabu tersebut, satu kilogram berhasil terjual seharga Rp 400 juta. Uang hasil penjualan ini kemudian dibagi-bagi dan sebagian diserahkan kembali kepada Teddy Minahasa.

Kasus-kasus ini menggambarkan bagaimana oknum aparat yang seharusnya menjaga keamanan dan ketertiban justru beralih menjadi pemain kunci dalam jaringan peredaran obat-obatan terlarang. 

Keterlibatan mereka membuat pemberantasan narkoba dan obat ilegal di Indonesia menjadi semakin sulit dan kompleks.

Tidak hanya melibatkan aparat penegak hukum, peredaran obat ilegal di Indonesia juga melibatkan tenaga medis dan apoteker. 

Pada akhir 2023, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya membongkar jaringan obat keras golongan G di Jabodetabek yang melibatkan asisten dokter dan apoteker.

Kasus ini terungkap dari penyelidikan terkait maraknya tawuran dan premanisme di Jakarta dan sekitarnya. Dalam penyelidikan, ditemukan bahwa pelaku tawuran sering mengkonsumsi obat keras golongan G sebelum beraksi. 

Obat ini, menurut aturan Kementerian Kesehatan, seharusnya hanya bisa didapatkan dengan resep dokter karena berisiko tinggi jika disalahgunakan.

Dari Januari hingga Agustus 2023, polisi menangkap 26 orang yang terlibat dalam jaringan ini. Mereka tersebar di berbagai tempat seperti toko obat, apotek, dan klinik di Jakarta Timur, Selatan, Pusat, Bekasi, dan Depok. 

Pelaku juga teridentifikasi sebagai importir, produsen obat, hingga penjual yang beroperasi tanpa izin.

Dalam penggerebekan, polisi menyita lebih dari 231.000 butir obat keras, seperti tramadol, hexymer, dan alprazolam, yang semuanya memiliki efek psikoaktif. 

Barang bukti lain termasuk uang tunai Rp 26 juta, ponsel, ribuan kapsul obat kosong, mobil, dan alat press obat untuk mengemas obat-obatan tersebut.

Beberapa tenaga kesehatan juga terlibat dalam praktik ilegal dengan memalsukan resep dokter. Resep palsu ini dijual dengan harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah, tergantung jumlah dan jenis obat yang dicantumkan. 

Praktik tersebut di atas sangat berbahaya karena memungkinkan siapa saja mendapatkan obat keras tanpa kontrol medis.

Selain memalsukan resep, pelaku menggunakan cara lain, seperti menjual obat tanpa izin edar atau mengubah tanggal kadaluarsa pada kemasan obat yang sudah kedaluwarsa. 

Kasus ini memperlihatkan bahwa peredaran obat ilegal di Indonesia tidak hanya dilakukan oleh pelaku kriminal biasa, tetapi juga oleh oknum yang seharusnya menjaga kesehatan masyarakat. 

Situasi ini membuat pemberantasan obat ilegal semakin sulit dan membutuhkan strategi lebih menyeluruh.

Karena itu, penegakan hukum yang tegas terhadap semua pelaku, termasuk tenaga kesehatan yang terlibat, sangat penting untuk memutus rantai peredaran obat ilegal.

Pengawasan distribusi obat-obatan, edukasi kepada masyarakat, serta sanksi tegas bagi pelanggar juga perlu diperkuat. 

Kerjasama antara pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat menjadi kunci untuk menghentikan peredaran obat ilegal dan menjaga kesehatan publik.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS