PARBOABOA, Jakarta - Persepsi negatif terhadap Presiden Jokowi kerap kali mendominasi ruang diskusi di media sosial.
Di berbagai platform, khususnya di kalangan pengguna kelas menengah atas, kritik terhadap kebijakan dan kepemimpinan mantan Gubernur DKI Jakarta itu terlihat begitu mencolok.
Banyak pengguna media sosial yang secara terbuka mengungkapkan ketidakpuasan mereka terhadap berbagai aspek pemerintahan, mulai dari ekonomi, politik, hingga isu-isu sosial yang dianggap belum tertangani dengan baik.
Platform seperti X (sebelumnya dikenal sebagai Twitter) menjadi wadah utama bagi kelompok ini untuk mengekspresikan pandangan mereka.
Salah satu sentimen negatif terhadap Jokowi terjadi jelang pilpres 2024. Menurut laporan Cakradata, pada periode 23-26 Januari 2024, terpantau banyak perbincangan kontroversial terkait pernyataan Jokowi di media sosial.
Laporan ini mencatat adanya 60.097 percakapan, dengan puncaknya terjadi pada 25 Januari 2024, yang mayoritas didominasi oleh sentimen negatif.
Kata-kata seperti 'salah' dan 'penyalahgunaan' menjadi dominan dalam perbincangan tersebut, menunjukkan bahwa banyak warganet merasa tindakan atau pernyataan Presiden Jokowi tidak tepat dan tidak adil.
Selain itu, kata-kata seperti bohong, curang, dan palsu juga sering muncul, menggambarkan kekhawatiran akan kemungkinan pemilu yang tidak berlangsung secara jujur dan adil kala itu.
Namun survei terbaru Litbang Kompas menunjukkan, mayoritas responden, yaitu sebesar 75,6 persen, menyatakan puas terhadap kinerja Jokowi.
General Manager Litbang Kompas, Ignatius Kristanto, mengatakan jika dipersempit pada pertanyaan 'puas' atau 'tidak puas' hasilnya lebih dari 70 persen yang menyatakan puas.
Kristanto menjelaskan, kepuasan masyarakat terhadap Jokowi lebih dominan di sektor politik-keamanan, kesejahteraan sosial, dan ekonomi. Angka kepuasan di sektor politik-keamanan mencapai 85%, sedangkan di sektor kesejahteraan sosial berada di 82%.
"Jika dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu politik, keamanan, ekonomi, kesejahteraan sosial, dan penegakan hukum, tiga sektor pertama menunjukkan tren positif," kata dia dalam diskusi daring bersama FMB9 di Jakarta, Jumat (4/10/2024).
Ia menambahkan, masyarakat kelas bawah, yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia, cenderung memiliki pandangan positif terhadap Jokowi.
Hal ini berbeda dengan masyarakat kelas menengah atas yang aktif di media sosial dan lebih sering menyampaikan kritikan.
“Ada disparitas antara kenyataan di lapangan dengan apa yang berkembang di media sosial. Kelas bawah lebih menilai dari pengalaman langsung yang mereka rasakan,” ujarnya.
Perbedaan ini, kata dia, menggambarkan adanya jarak antara opini publik di dunia maya dan realitas sehari-hari.
Kristanto mengakui, sentimen negatif terhadap Jokowi yang banyak muncul di platform seperti X, penggunaannya lebih populer di kalangan menengah atas.
Sementara itu, di Facebook, yang lebih banyak digunakan oleh kelas menengah bawah, nada positif terhadap Jokowi justru lebih tinggi.
Struktur demografi pengguna media sosial di Indonesia, tambahnya, turut mempengaruhi sentimen yang berkembang di platform-platform tersebut.
Setiap platform memiliki audiens yang berbeda, dan masyarakat kelas bawah yang terbatas aksesnya ke media sosial lebih terpapar pengalaman nyata dibandingkan opini yang terbentuk di dunia maya.
Pencapaian di sektor ekonomi, seperti pembangunan infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan sosial, dalam temuan Litbang Kompas menjadi faktor utama yang diapresiasi oleh masyarakat kelas bawah.
"Publik harus memahami bahwa sentimen di media sosial tidak selalu mencerminkan pandangan masyarakat secara keseluruhan," tegas Kristanto.
Baginya, persepsi yang berkembang di media sosial seringkali tidak mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan, karena setiap platform memiliki karakteristik audiens yang berbeda.
Editor: Gregorius Agung