PARBOABOA, Jakarta – Kabar mengenai Agus Rahardjo, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang pernah diminta oleh Presiden Jokowi untuk menghentikan kasus korupsi e-KTP Setya Novanto (Setnov) sedang menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat.
Cerita ini pertama kali muncul ke publik dalam wawancara Agus bersama jurnalis Rossi di kanal YouTube Kompas TV yang tayang pada Jumat (1/12/2023).
Agus menceritakan pengalaman ketika dipanggil oleh Jokowi saat menangani kasus korupsi yang menyeret Setnov pada 2017 lalu.
Saat itu, Agus dipanggil sendirian tanpa kehadiran pimpinan KPK lainnya untuk menghadap Jokowi. Ketika tiba di lokasi, Jokowi sudah dalam keadaan marah dan meneriakkan kata ‘hentikan’.
Agus mengakui bahwa ia merasa bingung dengan pernyataan Presiden kala itu. Setelah mereka berbicara, Agus baru memahami bahwa ia diminta untuk menghentikan penyelidikan kasus e-KTP Setya Novanto.
Namun, Agus tidak menuruti permintaan Jokowi untuk menghentikan kasus tersebut dengan alasan sudah ada Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) yang sudah ditandatangani oleh pimpinan KPK.
Ia menyebut, KPK tidak memiliki Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Itu tandanya, penyelidikan kasus tersebut tidak bisa dihentikan.
Agus juga membagikan pengalaman ini kepada rekannya, Saut Situmorang, yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua KPK periode 2015-2019.
Menanggapi kejadian ini, Pengamat Hukum Edi Hardum menyambut baik keberanian Agus dalam mengungkapkan peristiwa tersebut.
Ia juga menyatakan bahwa insiden ini telah merugikan KPK sebagai lembaga yang dibentuk untuk memberantas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) hingga akar-akarnya.
“Jika ini benar terjadi dan terungkap, itu benar-benar merendahkan martabat masyarakat karena KPK adalah lembaga yang didirikan berdasarkan amanat reformasi,” jelas Edi kepada PARBOABOA, Sabtu (2/12/2023).
Edi juga menambahkan bahwa intervensi Jokowi terhadap Agus merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi yang selama ini telah diperjuangkan oleh masyarakat.
“Jokowi melakukan intervensi ini sama dengan mengkhianati reformasi. Hal itu juga dapat terlihat dari upaya Jokowi dalam memajukan anaknya sebagai calon wakil presiden,” tambahnya.
Di sisi lain, pihak Istana melalui Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, meminta Agus harus menyertakan bukti saat mengklaim bahwa ia pernah diintervensi oleh Jokowi dalam kasus Setnov.
Meskipun demikian, menurut Edi, tindakan ini dapat dibalik. Jika Jokowi merasa tuduhan yang disampaikan oleh Agus Raharjo tidak benar, sebaiknya membuktikannya secara hukum.
“Jika Jokowi merasa bahwa itu tidak benar, silakan Jokowi melaporkan Agus Rahardjo atas dugaan pencemaran nama baik. Namun, saya yakin bahwa Agus Rahardjo dan rekan-rekannya memiliki bukti yang memadai,” tutur Edi.
Edi menekankan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seharusnya segera memanggil Agus agar dapat menyampaikan bukti-bukti tersebut secara terbuka kepada publik.