PARBOABOA, Jakarta - Kasus korupsi mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL) telah memasuki tahap pembacaan putusan pada Jumat (28/06/2024).
Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara serta denda sebesar Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan bagi SYL.
SYL dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana pemerasan di lingkungan Kementerian Pertanian (Kementan).
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Syahrul Yasin Limpo berupa pidana penjara selama 12 tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dan pidana denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan," ungkap Jaksa KPK Meyer Simanjuntak pada Jumat (28/06/2024).
SYL dianggap melanggar Pasal 12 huruf e jo Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Tindak pidana tersebut dilakukan bersama-sama dengan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Kementan nonaktif Muhammad Hatta serta Sekretaris Jenderal Kementan nonaktif Kasdi Subagyono.
Menurut jaksa, SYL, Kasdi, dan Hatta diduga melakukan pemerasan hingga mencapai Rp 44,269,777,204 dan USD 30 ribu.
Selain hukuman penjara, jaksa juga menuntut agar SYL membayar uang pengganti sebesar jumlah tersebut.
Berdasarkan fakta persidangan, sejumlah saksi menyebutkan bahwa SYL memberi perintah kepada mantan anak buahnya, termasuk Hatta dan Kasdi, untuk menarik iuran sharing dari pejabat eselon I Kementan.
SYL juga mengancam akan mencopot pejabat Kementan dari jabatannya jika mereka tidak mematuhi perintah untuk mengumpulkan iuran tersebut.
Selain itu, SYL disebut menggunakan uang hasil pemerasan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya, serta mengalirkan uang tersebut ke Partai NasDem.
SYL juga menggunakan travel Suita dan Maktour untuk perjalanan ke luar negeri, termasuk untuk melaksanakan ibadah umrah.
Namun, di beberapa kesempatan persidangan, politikus Partai NasDem yang juga merupakan mantan Gubernur Sulawesi Selatan dua periode itu membantah keterangan saksi-saksi tersebut.
Ia merasa tidak sedang memeras anak buahnya dan tidak terlibat dalam kasus korupsi sebagaimana didakwakan kepadanya.
Tuntutan untuk Anak Buah SYL
Dalam sidang di hari yang sama, Muhammad Hatta dan Kasdi Subagyono, mantan pejabat Kementan juga menghadapi tuntutan pidana enam tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider tiga bulan kurungan.
Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) menilai keduanya terbukti terlibat dalam tindak pidana pemerasan di lingkungan Kementerian Pertanian.
Hatta adalah Direktur Alat dan Mesin Pertanian Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Kementan nonaktif, sementara Kasdi adalah Sekretaris Jenderal Kementan nonaktif.
"Menghukum terdakwa Muhammad Hatta dan Kasdi Subagyono dengan pidana penjara selama enam tahun, dikurangi masa tahanan yang telah dijalani, serta denda sebesar Rp250 juta dengan alternatif tiga bulan kurungan, sambil memerintahkan agar terdakwa tetap dalam tahanan," ujar Jaksa KPK.
Bersama dengan SYL, Hatta dan Kasdi dinilai terbukti melakukan pemerasan hingga mencapai Rp 44,2 miliar dan USD 30 ribu.
Mereka dianggap melanggar Pasal 12 huruf e jo Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Dalam persidangan, sejumlah saksi mengungkapkan bahwa SYL memerintahkan Hatta dan Kasdi untuk menarik iuran sharing dari pejabat eselon I Kementan, serta mengancam akan menonjobkan pejabat yang tidak patuh.
Kesaksian ini diperkuat oleh pengakuan Kasdi sebagai saksi mahkota dalam sidang pada 19 Juni 2024 lalu.
Kronologi Kasus SYL
Kasus dugaan korupsi yang melibatkan SYL bermula pada Januari 2023 ketika KPK mulai menyelidiki dugaan korupsi di Kementan setelah menerima laporan masyarakat pada pertengahan 2020.
Kasus ini mulai mencuat pada Juni 2023 setelah pimpinan KPK menyetujui peningkatan penanganan kasus ke tahap penyidikan.
Pada 13 Juni 2023, KPK menggelar perkara dan mengidentifikasi tiga calon tersangka, yakni SYL, Kasdi Subagyono, dan Muhammad Hatta.
Penanganan kasus tersebut telah menemukan bukti yang cukup lengkap sejak tahap penyelidikan.
SYL memenuhi panggilan KPK pada 19 Juni 2023 untuk memberikan keterangan, di mana ia menyatakan siap untuk bersikap kooperatif.
Pada 28 September 2023, KPK menggeledah rumah dinas SYL, yang mengungkap dugaan pemalsuan surat perintah perjalanan dinas (SPPD) dan pemangkasan belanja perjalanan dinas untuk mengumpulkan uang.
Pada 4 Oktober 2023, SYL kembali ke Indonesia setelah sempat hilang kontak. Ia berangkat dari Eropa menggunakan pesawat Singapore Airlines.
KPK kemudian menjadwalkan ulang pemanggilan SYL pada 11 Oktober 2023, namun SYL kembali mangkir dengan alasan menjenguk ibunya.
Akhirnya, pada 12 Oktober 2023, KPK menciduk SYL di sebuah apartemen di Jakarta Selatan setelah dia kembali dari Makassar. Surat penangkapan ditandatangani oleh Ketua KPK, Firli Bahuri.
Penangkapan SYL menimbulkan kontroversi dan kritik dari berbagai pihak, yang menilai tindakan ini sarat dengan konflik kepentingan.
Sebab utamanya adalah pada saat yang sama Firli sedang diselidiki Polda Metro Jaya atas dugaan pemerasan terhadap SYL.
ICW dan eks penyidik KPK, Novel Baswedan, menilai surat penangkapan menyalahi aturan, karena pimpinan KPK tidak lagi memiliki posisi sebagai penyidik sesuai UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Pihak SYL juga mempertanyakan keabsahan surat penangkapan, terutama karena dikeluarkan bersamaan dengan surat panggilan kedua.
Namun, langkah KPK merupakan bagian dari upaya penegakan hukum terhadap dugaan korupsi yang melibatkan pejabat tinggi di Kementan.
Kasus tersebut menambah daftar panjang dugaan korupsi di lingkungan Kementan dengan tiga tersangka utama yang sudah ditahan.
Editor: Defri Ngo