PARBOABOA, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut bahwa faktor turunnya indek korupsi bukan hanya penilaian terhadap pemerintah saja, tapi juga pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan lembaga peradilan.
Mahfud menyatakan bahwa eksekutif telah bertindak secara maksimal dalam pemberantasan korupsi dengan mengutip penangkapan-penangkapan koruptor oleh lembaga-lembaga negara, khususnya oleh Kejaksaan Agung.
"Harus diketahui juga bahwa turunnya indeks persepsi korupsi bukan hanya penilaian ke pemerintah tapi terhadap legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kalau di eksekutif, rasanya kita sudah habis-habisan dan buktinya naik penegakan hukumnya," kata Mahfud dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat (03/02/2023).
"Korupsi itu, ketika pembuatan undang-undang, korupsi ketika proses peradilan, dan sebagainya," sambungnya.
Ia mengatakan bahwa tidak banyak tahu soal ini dan serta-merta menyalahkan eksekutif atas turunnya indeks persepsi korupsi.
Apalagi, pemerintah tidak bisa terlalu dominan dalam proses-proses legislasi di parlemen. Begitu pula dalam proses peradilan di meja hijau, yang mana proses-proses itu tak menutup kemungkinan adanya risiko korupsi. Selain itu, kata dia, tindakan korupsi telah melekat dalam sistem politik di Indonesia.
Menko Polhukam kemudian mengutip perkataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengklaim bahwa penegakan hukum dalam kasus korupsi jangan pandang bulu sebagai pembelaan bahwa pemerintah sudah memiliki niat yang kuat untuk memberantas korupsi, dan kinerja Kejaksaan Agung belakangan ini dianggap cukup untuk menunjukkan itu.
"Kejagung, seperti Saudara tahu, sudah melakukan cukup untuk itu," ujarnya.
"Dalam 3 tahun terakhir, pemberantasan korupsi yang dilakukan negara itu luar biasa. Kejaksaan Agung itu seperti melakukan amputasi terhadap tangan pemerintah sendiri: (kasus) Asuransi Jiwasraya, Asabri, proyek satelit, Kemhan. Pemerintah sudah sungguh-sungguh memberantas dalam arti tindakan," jelasnya menambahkan.
Mahfud MD juga mengungkapkan bahwa turunnya indeks korupsi bukan disebabkan oleh penegakan hukum yang lemah, melainkan praktik kolusi dalam proses izin usaha yang rentan terjadinya suap dan lain-lain.
"Itu yang dirasakan oleh persepsi masyarakat internasional, kepastian berusaha di Indonesia bagaimana. Bukannya kita tidak menindak. Kita menindak, tapi kepastian-kepastian itu harus diatur dengan kebijakan baru yang sifatnya strategis," pungkasnya.
Sebelumnya, berdasarkan data dari Transparency International Indonesia (TII), Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2022 meraih skor 34/100. Kemudian, perolehan itu menurun sebanyak 4 poin dari pencapaian pada tahun 2021 yakni dengan skor 38/100.
Akibatnya, Indonesia saat ini berada di urutan 110 dari 180 negara dalam hal IPK dari yang sebelumnya berada pada peringkat 96 dari 180 negara terkait dengan tingkat korupsi.
Penurunan skor Indeks Persepsi Korupsi juga membuat Indonesia kalah dari negara tetangga, yakni Singapura (83), Malaysia (47), Timor Leste (42), Vietnam (42), dan Thailand (36).
Editor: Maesa