PARBOABOA, Jakarta - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat hingga Mei 2023, sekitar 22 kasus dengan 202 anak jadi korban kekerasan seksual di satuan pendidikan, baik di lingkungan Kemendikbud Ristek maupun Kementerian Agama.
Data FSGI juga mencatat, guru masih menjadi pelaku kekerasan tertinggi sebanyak 31,80 persen, pemilik atau pimpinan pondok pesantren sebanyak 18,20 persen, kepala sekolah 13,63 persen, guru ngaji sebanyak 13,63 persen, pengasuh asrama atau pondok sebanyak 4,5 persen, kepala madrasah sebanyak 4,5 persen dan penjaga sekolah 4,5 persen.
"Pelaku kekerasan seksual adalah orang-orang yang seharusnya dihormati dan melindungi para peserta didik selama berada di satuan pendidikan," kata Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti dalam keterangannya, Kamis (8/6/2023).
Retno merinci, dari 22 kasus kekerasan seksual yang terjadi di satuan pendidikan, 50 persen di antaranya atau 11 kasus terjadi di bawah Kemendikbud Ristek.
"Dari 11 kasus tersebut, ada satu kasus kekerasan seksual terjadi di luar sekolah. Namun pihak sekolah melakukan dugaan kekerasan dengan 'memaksa orang tua membuat surat pengunduran diri' karena dianggap memalukan sekolah. Apalagi korban anak merupakan siswa dari keluarga tidak mampu dan merupakan korban rudapaksa delapan orang tetangganya di Banyumas," jelas dia.
Kemudian, lanjut Retno, delapan kasus atau 36,36 persen terjadi di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama dan tiga kasus atau 13,63 terjadi di lembaga pendidikan informal.
"Yaitu tempat pengajian di lingkungan perumahan di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Korban mencapai 21 korban," katanya.
Sementara di Sleman, Yogyakarta, korban kekerasan seksual guru ngaji mencapai 15 korban dan di Garut, Jawa Barat mencapai 17 korban dengan usia korban berkisar antara 5 hingga 13 tahun.
"Perlu dipikirkan mekanisme pengawasan lembaga pendidikan informal seperti tempat mengaji ini agar anak-anak tidak lagi menjadi korban kekerasan seksual," tegas Retno.
Ia juga menyesalkan masih adanya kasus siswi yang dikeluarkan dari sekolah karena hamil. Retno menyebut, kasus rudapaksa yang berakhir siswi hamil di Banyumas bukan satu-satunya tahun ini. Di awal 2023, seorang siswi kelas enam SD di Binjai, Sumatra Utara diusir warga hingga putus sekolah. Padahal, anak-anak tersebut berhak melanjutkan pendidikannya demi masa depan yang lebih baik.
"Putus sekolah setelah diketahui hamil karena mengalami rudapaksa. Pada 2021, dua santriwati korban pemerkosaan guru pesantren di Garut dikeluarkan sekolah setelah diketahui mempunyai bayi. Dengan memaksa orang tua korban mengundurkan diri, berarti pihak sekolah sudah menghilangkan hak atas pendidikan anak korban rudapaksa tersebut," imbuh Retno.
Lima Rekomendasi FSGI Atasi Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan
Maraknya kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan, FSGI lantas menyampaikan lima rekomendasi bagi pemerintah.
Pertama, kata Retno, FSGI mendukung Kemendikbud Ristek melakukan perubahan terhadap Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan tindak kekerasan di satuan pendidikan, terutama merinci apa saja perilaku di sekolah yang termasuk kekerasan seksual.
Kedua, FSGI mendorong Kementerian PPPA terus menyosialisasikan hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau Whatsapp 08111-129-129.
"Hotline untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialami dan mendorong pembentukan sekolah-sekolah ramah anak," ujarnya.
Ketiga, FSGI mendorong Kementerian Agama melakukan sosialisasi dan implementasi kebijakan PMA No. 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan penanggulangan Kekerasan seksual di Madrasah dan pondok pesantren atau satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemenag.
"Mengingat kasus kekerasan seksual lebih tinggi jika dibandingkan dengan satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemendikbud Ristek," jelas Retno.
Keempat, FSGI juga mendorong dinas-dinas pendidikan di kabupaten, kota, provinsi dan Kantor Kemenag wilayah untuk melakukan Kerjasama dengan SKPD di daerah.
"Seperti Dinas PPPA dan P2TP2A Kabupaten/Kota/Provinsi dalam penanganan psikologi anak-anak korban kekerasan seksual, mengingat guru-guru BK tidak ada di jenjang Pendidikan Sekolah Dasar (SD)," ujar Retno.
Kelima, FSGI mendorong pemerintah daerah untuk melakukan Kerjasama dengan sejumlah Perguruan Tinggi di wilayahnya yang memiliki Fakultas Psikologi. Hal itu, tambah Retno, untuk membantu pemulihan psikologi anak-anak korban kekerasan seksual.
"Apalagi proses pemulihan psikologis anak korban KS umumnya membutuhkan waktu pemulihan yang cukup panjang dan harus tuntas," imbuh dia.