Ziarah ke Gunung Padang yang Masih Penuh Misteri

Situs Gunung Padang yang penuh misteri (foto: Dok. Lutfi Yondri)

PARBOABOA, Cianjur – Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) memang pendukung berat penelitian situs Gunung Padang. Di eranya, tim Terpadu Penelitian Mandiri Gunung Padang terbentuk. Andi Arief, politisi Parti Demokrat sekaligus Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana (SKP BSB) menjadi salah seorang anggota dewan pengarahnya. Para peneliti yang tergabung dalam tim ini antara lain Dr. Danny Hilman Natawidjadja, Dr. Ali Akbar, dan Dr. Andang Bachtiar.

Mereka adalah kelompok peneliti yang meyakini adanya piramida tertimbun di bawah Gunung Padang. Kegiatan penelitian ditujukan untuk menguak misteri itu.

Saat itu memang ramai dipercakapkan adanya bangunan raksasa yang tertimbun di bawah Gunung Padang. Piramida bentuknya, usianya lebih tua dari yang di Mesir. Bahkan ada isu yang tak kalah mencengangkan: katanya ada kandungan emas berton-ton terkubur di dalam Gunung Padang. Majalah Tempo edisi 27 Agustus-2 September 2012 sampai perlu mengangkat topik ini sebagai liputan utama dengan tajuk, Mimpi Emas di Gunung Padang.

Era Pemerintahan SBY berakhir, begitu juga aktivitas tim terpadu tadi. Pada 20 Oktober 2014, Joko Widodo resmi dilantik sebagai presiden ke-7. Sejumlah ilmuwan lain kemudian menyampaikan keprihatinan mereka atas aktivitas penggalian masif yang berlangsung di Gunung Padang.

Sebelumnya para ahli termasuk arkeolog, geologis, serta sejarawan menggelar seminar nasional bertema ‘Situs Gunung Padang dan Permasalahannya”, di Aula Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat pada 7 Oktober 2024.

Kesimpulan mereka antara lain Situs Gunung Padang murni punden berundak dan tidak ada piramida di bawahnya. Mereka juga menilai adanya pelanggaran Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya oleh Tim Terpadu Riset Mandiri (TTRM). Solusinya, para ahli ini akan menyampaikan usulan agar penelitian TTRM dihentikan karena dianggap merusak situs.

Dan, penghentianlah yang terjadi hingga kini.

Baru-baru ini penulis bercakap dengan Hilmar Farid. Dia seorang sejarawan, aktivis, sekaligus Direktur Jenderal Kebudayaan yang menjabat sejak Desember 2015. Situs Gunung Padang sebagai cagar budaya harus dijaga kelestariannya. Begitu pendapatnya.

Tim peneliti yang memercayai situs ini bukan sekadar situs megalitik biasa, menuntut proses ekskavasi yang sangat intensif. Menurut mereka itu perlu dilakukan agar dapat mengungkap misteri warisan budaya beyond imagination.

Menurut Fay, begitu Dirjen Kebudayaan akrab disapa, yang diinginkan para geolog itu adalah memberikan kesempatan kepada mereka untuk membuktikan semuanya.

“Jadi pertanyaan saya, how? How are you going to do that? Kalau non invasif ...itu bisa bicara dengan BRIN. I'm more than happy to support that,” katanya saat berbicara virtual via zoom.

Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid (foto: PARBOABOA/P Hasudungan Sirait)

Lutfi Yondri, arkeolog yang sudah puluhan tahun meneliti kearkeologian khususnya di Jawa Barat, mengatakan seharusnya penelitian yang dilakukan di Gunung Padang bukan untuk mencari sesuatu yang baru berdasarkan asumsi.

“Tapi bagaimana penelitian itu dilakukan untuk mendukung pelestarian Gunung Padang. Itu punden berundak seperti yang kita lihat sekarang, bukan piramida,” imbuhnya.

Debitnya Tetap

Tiba di situs megalitik Gunung Padang sudah pukul 12.00 pas. Meski tak ada aturan jam berapa sebaiknya naik ke bukit punden berundak itu, Kang Zaenal – pemandu wisata yang orang lokal – menyarankan sebaiknya pukul 14.00 saja. Pertimbangannya agar saat tiba di puncak suasana sudah lebih teduh. 

Ada dua treck yang dapat dipilih untuk mencapai puncak Gunung Padang. Pertama, jalur lama yang merupakan undak-undakan berbatu dengan kemiringan cukup curam, namun lebih pendek dari segi jarak. Sedangkan yang satu, lintasannya lebih landai dan jauh. Rute ini relatif baru. Jalan beton selebar 1 meter dibangun pada 2014 menjelang kunjungan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ibu Negara Ani Yudhoyono pada 25 Februari 2014. Jalur landai ini diperuntukkan khusus buat Ibu Ani dan rombongan.

“Mau pilih trek yang mana? Kalau yang itu [sambil menunjuk rute sebelah kanan] lebih landai tapi lebih jauh,” tanya Kang Zaenal sambil tersenyum.

Penuh percaya diri, penulis memilih jalur utama, yakni tangga berbatu dengan sekitar 300-an anak tangga. Sambil bercanda ia mengingatkan agar jangan terlalu bersemangat dulu karena tenaga perlu dihemat sebelum sampai ke puncak.

Dalam hati, penulis berujar: “Ah masak sih seberat itu!. Kelihatannya dekat saja.”

Jadi kembali teringat saat SBY hendak naik ke puncak pada Februari 2014. Tim kesehatannya sampai perlu mengecek tekanan darah presiden RI ke-6 itu. SBY kemudian memimpin peregangan otot yang diikuti seluruh rombongan. Lalu dilanjutkan dengan memimpin doa.

“Semoga niat baik kita diridhoi Allah,” katanya seperti diwartakan Kompas.com.

Sebelum menapaki tangga pertama, ada mata air di sebelah kiri. Lubangnya kecil saja, berdimensi lebar 50 cm dan panjang 100 cm. Airnya tak berlimpah tapi bening. Dapat dikonsumsi langsung, kata Kang Zainal.

“Obat awet muda juga,” ujarnya sembari tersenyum lagi. Berusia 45 tahun, pemandu wisata senior ini memang ramah. “Air di situ debitnya segitu-gitu aja. Kelihatan sedikit tapi tidak pernah habis.”

Masyarakat setempat menyebutnya Cikahuripan yang artinya air untuk kehidupan. Dinding mata air ini merupakan susunan batu-batu andesit. Selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari air ini kerap digunakan para peziarah.

Ada kejadian unik pada 2013 terkait mata air ini. Tiba-tiba saja airnya susut drastis. Penyebabnya menurut Asep, juru kunci yang sudah generasi ke-3, karena banyak penduduk setempat yang mengkomersialkannya. Mereka menempatkannya di botol-botol kemasan untuk dijual.

“Leluhur nggak suka.” Saat mengisahkannya Asep duduk santai di teras 5 yang merupakan tempat paling suci.

Percaya tidak percaya, setelah masyarakat tak lagi menjual, debitnya kembali normal.

Ngos-ngosan

Satu demi satu anak tangga mulai penulis tapaki. Backpack masih menggelayut di punggung. Di pertengahan jalan, Kang Zainal beberapa kali menawarkan diri membantu membawakan tas ransel itu. Gengsi, penulis pun menolak halus tawaran itu.

“Baiklah,” katanya.

Semakin tinggi anak tangga rupanya semakin curam posisinya. Nafas mulai terasa berat dan ngos-ngosan.

Kang Zaenal terus menyemangati dan mengingatkan untuk sesekali istirahat sejenak: tarik nafas dalam-dalam dan jangan memaksa, begitu pesannya. Pada anak tangga kira-kira yang ke 200, akhirnya penulis dengan malu hati meminta tolong membawakan tas ransel demi mengurangi beban agar dapat sanggup mencapai puncak.

Saat istirahat sejenak kami pun bercakap. Pernah, katanya, ada orang yang pingsan sebelum sempat mencapai puncak. “Dia harus dievakuasi ke bawah. Tapi aman kok, tak pernah ada kejadian fatal. Umumnya mereka akan siuman setelah cukup istirahat.”

Perjalanan pun kami lanjutkan dengan menapaki kembali tangga demi tangga. Kali ini langkah kaki tak secepat saat baru naik. Selain mulai keletihan, posisi tangga pun semakin tinggi dan curam. Meski sudah terlihat sebagian pelataran teras pertama, nyatanya jarak itu tak sedekat penampakannya.

“Ayo semangat, sedikit lagi!” kata Kang Zaenal menyemangati.

Setelah sekitar 30 menit, akhirnya kami tiba di pelataran pertama Situs Gunung Padang, punden berundak terbesar di Asia Tenggara.

Wow, menakjubkan sekali! Itulah perasaan pertama yang terbesit dalam benak penulis. Segala rasa lelah pun pupus. Silir angin yang berdesir lembut makin menyejukkan suasana hati. Berada di teras ini perasaan terasa tenang. Barangkali sugesti saja. Siang itu terlihat ada beberapa pengunjung yang sedang ber-swafoto.

Kang Zaenal pun mengarahkan ke spot foto yang baik sebagai latar.

Di teras pertama inilah balok-balok batu andesit ukuran besar berserakan. Jumlah batuan vulkanik berbentuk persegi panjang ini paling banyak dijumpai di sini. Ukurannya kelihatannya tidak sama; berupa bongkahan-bongkahan saja. Ada pula posisi balok yang berdiri membentuk gerbang-gerbang seperti pertanda untuk memasuki sebuah bangunan.

Man Made?

Sebagian batu-batu ini tersusun rapi pada dinding-dinding yang menanjak mengarah ke pelataran teras kedua.

Pertanyaan berikut yang langsung muncul di kepala, bagaimana mungkin balok-balok batu andesit ukuran besar ini bisa ada di atas bukit? Apakah ini murni fenomena alam atau buatan manusia? (Bersambung)

Editor: Rin Hindrayati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS