Wajah Gunung Padang, Situs  yang Masih Menyisakan Kontroversi

Situs megalitik Gunung Padang (foto: Dok. Lutfi. Y)

PARBOABOA – Situs megalitik Gunung Padang di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, masih menyisakan kontroversi. Ada yang mengatakan ia sebuah piramida buatan manusia yang usianya bahkan lebih tua daripada Piramida Giza di Mesir yang dibangun 4 ribuan tahun lalu. Sebagian lagi menolak keras anggapan demikian karena menurut mereka Indonesia tidak pernah mengenal budaya piramida.

“Itu [Gunung Padang adalah piramid] bohong. Saya pernah menemukan fosil manusia di Gua Pawon yang usianya sekitar 12.000 tahun. Mereka masih hidup di gua-gua dengan baru mengenal alat batu sederhana. Jadi enggak mungkinlah manusia purba yang baru mengenal alat batu sederhana mampu membangun piramida yang katanya dibuat belasan ribu tahun silam itu,” kata arkeolog Jawa Barat Dr. Lutfi Yondri Yonri kepada penulis.

Baiklah, kita tidak akan membahas lebih dalam perdebatan para ilmuwan tersebut.

Tapi yang jelas sebuah penelitian soal situs Gunung Padang bertajuk Geo-archaeological prospecting of Gunung Padang buried prehistoric pyramid in West Java, Indonesia yang terbit di jurnal ilmiah Archaeological Prospection pada 20 Oktober 2023, telah ditarik oleh penerbit John Wiley & Sons pada 18 Maret 2024. Artikelnya hilang dari Wiley Online Library, basis data milik penerbit tersebut.

Dalam tulisan ilmiah itu disebutkan situs Gunung Padang sebagai piramida tertua di dunia berumur 16.000 tahun. Penelitian yang ditulis Danny Hilman Natawidjaja, seorang pakar paleotsunami dari BRIN, bersama timnya dianggap memiliki major error alias kesalahan besar.

Danny Hilman dkk. telah memprotes keputusan ini karena menganggap pencabutan tidak beralasan ilmiah.

“Pencabutan makalah ini tidak didasarkan kaidah ilmiah yang diajukan pihak ketiga yang anonim. Pihak ketiga yang tidak disebutkan ini tidak memberikan bukti konklusif atau alasan ilmiah yang cukup untuk mencabut makalah mereka berdasar dugaan kesalahan besar,” demikian bunyi pernyataan resmi mereka.

Bukan Temuan Baru

Sesungguhnya situs Gunung Padang pernah dicatat seorang arkeolog Belanda, N.J. Krom pada 1914. Namun setelah itu, tidak ada lagi ada perbincangan soal punden berundak megalitik ini. Sejumlah narasumber mayakini ketaktertarikan Krom melanjutkan penelitian karena dia kemungkinan berharap menemukan material berharga seperti emas; tapi itu tak ia jumpai di sana.

Kegiatan ekskavasi situs pada 1986 (foto: Dok. Lutfi. Y)

Pada 1979 ketika tiga warga lokal [Endi, Soma, dan Abidin] yang hendak menebang pohon di sana kembali menemukan tinggalan ini. Mereka lalu melaporkan situs purbakala seluas 3.094,59 m2 di puncak bukit ini kepada pihak pemerintah.  Barulah setelah itu ada kajian arkeologi, sejarah, dan geologi terhadap situs ini.

“Dulu, tempat ini kan banyak pohon. Ketiga warga itu meminta izin kepada kepala desa untuk menebang pohon di sana. Kayunya akan digunakan untuk merenovasi sekolah yang roboh diterjang badai. Mereka akhirnya tahu ada punden berundak dan melaporkan situs ini,” kata Zainal, warga lokal yang kerap mendampingi pengunjung.

Masyarakat desa sesungguhnya telah lama mengetahui bahwa ada ‘sesuatu’ di sana. Mereka menganggap situs Gunung Padang sebagai tempat keramat. Setidaknya itulah yang disampaikan secara turun temurun oleh kakek buyut dan  leluhur lain mereka. Dan karena dianggap keramat maka orang-orang menjadi segan untuk mengunjungi tempat itu.

“Jadi, begitu dibilang ini tempat keramat, langsung ada jarak di masyarakat untuk tidak ke tempat ini. Tempat ini terlindungi karena pesan orang tua,” imbuh Kang Rus, ketua masyarakat adat setempat.

Lengang

Perjalanan ke Gunung Padang dari Kota Bogor dapat ditempuh dengan menumpang kereta api. Rutenya: naik KA Pangrango jurusan Bogor-Sukabumi, lanjut numpak sepur slot jalur Sukabumi-Cipatat. Setelah melewati dua stasiun dan menembus Terowongan Lampegan sepanjang 686 meter, kita akan tiba di stasiun Lampegan, lokasi terdekat ke situs Gunung Padang. Jarak dari stasiun ini ke situs megalitik Gunung Padang sekitar 8 kilometer.

Sekadar tambahan informasi, stasiun kecil ini dibangun sudah sedari era pemerintah Belanda. Keberadaannya digunakan untuk mengawasi pembangunan Terowongan Lampegan pada 1879-1882, yang merupakan terowongan pertama di Jawa Barat. Kini Lampegan menjadi stasiun andalan bagi siapa pun yang hendak mengunjungi situs Gunung Padang.

Siang itu, tak tampak ada penumpang lain yang turun di stasiun mungil ini. Suasananya sepi dan nyaris tak berpengunjung. Bahkan kedai kecil untuk ngopi dan sekadar bertanya-tanya pun tak tersedia. Petugas yang ada hanya beberapa orang saja. Itu pun duduk di balik kaca penjualan tiket. Ruang tunggu penumpang kosong melompong. Mungkin juga karena jadwal kedatangan dan keberangkatan kereta cuma ada tiga kali sehari: pagi, siang, dan malam.

Tampak dari kejauhan (foto: Dok. Lutfi. Y)

Saat tengah mengambil gambar di stasiun, seseorang menghampiri.

“Mau ke Gunung Padang ya, Mbak?”

Hmmm, kok dia tahu? Mungkin karena wajah ini terlihat asing serta gembolan tas backpack yang sesak sehingga dia yakin tujuannya ke Gunung Padang.

Si Akang ini ternyata pengemudi ojek pangkalan. Dia lalu menyebut tarif sekali jalan, yakni Rp. 50.000. Untuk jarak 8 kilometer, harga itu terasa sangat pantas. Dan lagi pula tidak ada pilihan transportasi lain selain menumpang ojek si Akang.

Perjalanan ke lokasi menempuh waktu sekitar 30 menit. Meski sudah pukul 12.00 siang, udara masih terasa sejuk. Apalagi sepanjang perjalanan mata dimanjakan pemandangan hamparan kebun teh nan hijau. Sesekali terlihat pasangan berseragam SMA bemesraan di kelokan pinggir kebun teh. Jalan yang berliku, naik turun lembah, menambah sensasi perjalanan.

Sampai di lokasi, si Akang menawari apakah sore nanti mau dijemput untuk diantar ke stasiun Lampegan. Tentu saja, ya jawabnya. Kami pun janjian untuk bertemu kembali di pelataran ini tepat pukul 16.30 supaya dapat mengejar KA Siliwangi ke Cipatat, Padalarang pukul 17:20.

Ancient Apocalypse

Setiba di pelataran situs Gunung Padang, serombongan orang berkendaraan motor besar bersiap pulang. Mereka rupanya sedang tour dan baru selesai ngopi di sebuah kedai yang banyak berjajar di depan loket penjualan tiket masuk. Selintas mendengar percakapan mereka, perjalanan akan mereka lanjutkan ke Bogor.

Penulis pun memilih satu warung untuk makan siang. Tidak banyak pilihan menu, yang tersedia hanya nasi goreng. Soal rasa, sebaiknya tidak mematok ekspektasi terlalu tinggi misalnya membandingkannya dengan nasi goreng legendaris Guan Tjo favorit kami di Bogor. Sekadar untuk mengganjal isi perut, bolehlah.

Saat sedang mengamati lokasi karena ini merupakan kunjungan pertama, sejumlah orang termasuk pengurus masyarakat adat tengah ngariung (berhimpun) di pelataran information center yang berada dekat booth penjualan tiket masuk. Di sana sudah ada Kang Zaenal, Widodo, dan Kang Rus yang kemudian menjamu penulis dengan secangkir kopi robusta tanpa gula olahan masyarakat sekitar. Kopi Gunung Padang, kata mereka bangga.

Sketsa imajiner Ir. Pon S Purajatmika tentang situs Gunung Padang, Mei 2013 (foto: Dok. Lutfi. Y)

Saat sedang duduk-duduk, nampak sepasang turis asing dan seorang pria bule baru selesai membeli tiket. Dari petugas penjual tiket diperoleh informasi mereka adalah turis Jerman dan seorang lagi katanya orang Yahudi.

Setengah bercanda, mereka mengatakan tertarik mengunjungi situs ini, “karena siapa tahu nenek moyang mereka berasal dari daerah ini,” demikian petugas menirukan pernyataan mereka.

Kemungkinan besar para turis asing ini mendapat info seputar Gunung Padang dari tayangan film dokumenter di Netflix berjudul Ancient Apocalypse yang dirilis pada 2022. Film yang dibawakan jurnalis Graham Hancock ini membahas Gunung Padang pada episode pertama.

Di tayangan itu Graham ditemani Danny Hilman yang juga seorang geolog. Seperti telah disebutkan di awal, Danny adalah seorang peneliti yang kerap menyebut bahwa hasil penelitiannya menunjukkan Gunung Padang berpotensi menjadi piramida tertua di dunia.

(Bersambung)

Editor: Rin Hindrayati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS